Sumber : http://dongeng-uing.blogspot.co.id/
Pada jaman dahulu kala, di sebuah negri yang kaya dan
makmur di perintah oleh seorang Raja
yang adil bijaksana. Sayangnya sang Raja belum di karuniai keturunan.
Suatu hari sang Raja menitahkan Patih untuk membuat sayembara, mengobati sang
Permaisuri agar mendapatkan keturunan dengan hadiah uang salaksa dinar dan
Banyak peserta sayembara tapi tak satupun berhasil.
Kangjeng Raja sangat bingung, berdoa kepada yang Maha
Suci.
Pada suatu malam
sang Raja mendengar suara, “Keinginan kamu oleh yang Maha Suci bakal
dikabul, tapi bukan kebahagian seorang anak laki-laki, tapi akan di beri
seoreang anak perempuan”.
Sejak saat itu sang Raja memiliki putra yang di beri
nama Putri Éndang Mayang.
Kebahagian Kangjeng Raja tiada terhingga, dan
mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam dan mengundang semua pohaci
pelindung negri.
Semua parapangagung nagara termasuk parapohaci, datang
memberi selamat.
Tidak tahu bagaimana, Kangjeng Raja lupa mengundang Nyi
Rara Demit.
Walau tidak di undang, Nyi Rara Demit datang
menghadiri pesta dengan maksud membalas
Kangjeng Raja karena merasa tidak di hargai.
Saat upacara memotong rambut bayi, niat Nyi Rara Demit
diketahui oleh Pohaci Wiru Mananggay. Pohaci
Wiru Mananggay bersembunyi di dalam bokor berisi air untuk membasahi ubun-ubun bayi.
Saat upacara pohaci mendengarkan harapan agar Nyi
Putri menjadi perempuan yang paling cantik dan di sayang semua orang.
Saat giliran Nyi Rara Demit, katanya , “bayi ini ada
pada kincir tinun; nanti bila sudah sawawa, saatnya remaja putri, bakal tergores
tangannya oleh kincir dan tidak akan bisa di obati.”
Semua tamu yang hadir menjadi kaget, tak menyangka Nyi
Rara Demit bakal mengucapkan seperti itu.
Kangjeng Raja tak bisa mengatakan apa-apa, pucat
karena kaget.
Tak lama, tampaklah Pohaci Wiru Mananggay yang
bersembunyi dalam bokor dan berucap,”Semuanya jangan kaget, jangan rémpan, saya
yang belum meneteskan cirasa kepada bayi ini. Cirasa ini kapaliasan, akan
menghapus segala bahaya, tapi ampuhnya kata-kata Nyi Rara Demit, pati Nyi Putri tidak bisa di
hilangkan, hanya bisa di ganti oleh tidur selam seratus tahun.
Jadi, di mana Nyi Putri tergores kincir, tidak akan wafat, hanya kapiuhan saja,
terus tertidur lelap selama seratus tahun, bila sudah genap akan di bangunkan
oleh putra Raja yang tampan dan pintar tiada tandingan.
Mendengar
ucapan Pohaci Wiru Mananggay, Kangjeng Raja dan seluruh hadirin merasa lega. .
Tujuh belas tahun kemudian, Putri Éndang Mayang tumbuh menjadi putri yang
cantik dan baik hati.
Pada suatu hari, Putri, Éndang Mayang sedang
berjalan-jalan di luar keraton, di depan sebuah rumah kecil sederhana Putri
Éndang Mayang mendengar suara yang di rasa nya aneh. Putri Éndang Mayang penasaran dan permisi memasuki rumah kecil.
Di lihat nya seorang nenek sedang memutar kincir,
Putri Éndang Mayang terpana melihat kincir karena aru
pertama kali melihat.
“Sedang apa, Nini?” kata Putri.
“Sedang
ngincir, Cantik, mengulung benang untuk menenun!”
“Bolehkan saya mencoba ngincir, boleh tidak Nini?”
“Silahkan, cantik!” kata nenek itu sambil beringsut.
Putri Éndang Mayang memegang kincir, baru satu putaran
tangan Putri Éndang Mayang tertusuk oleh
pinggiran kincir yang sudah rusak.
Putri Éndang Mayang langsung jatuh pingsan. Putri
Éndang Mayang
Tak lama kemudian Kangjeng Raja dan permaisuri datang.
Kangjeng Raja melihat wajah Putri Éndang Mayang tidak pingsan, tapi tetidur
lelap. Tergiang ucapan Nyi Rara Demit.
“Sekarang lebih baik Putri Éndang Mayang di bawa ke karaton, jangan di tangisi, sebab sudah tiba
waktunya ucapan Nyi Rara Demit; Putri Éndang Mayang bukan pingsan tapi sedang
tidur pulas”.
Di selimuti sutra déwangga, pakaian nya di ganti, di
jaga para dayang.
Tak lama
kemudian datanglah Pohaci Wiru Mananggay yang sakti. Melihat Putri Éndang
Mayang hening , “Nanti bila saatnya genap seratus tahun, Putri Éndang Mayang bangun, supaya
tidak bingung pada saat bangun, harus ada yang dikenalnya. Oleh sebab itu seluruh negri ini termasuk
Kangjeng Raja dan Permaisuri “ku kula arék disirep” supaya tidur seratus tahun lamanya, termasuk
keraton dan semua isi nya. Nah
silahkan sekarang Kangjeng Raja sdan Praméswari, berangkat saja dari sini membuat
negara baru.
Pohaci Wiru Mananggay melafalkan “sirepna”, sakabéh seisi
negri tertidur saat itu juga. Kangjeng Raja dan Permaisuri menuruti ucapan Pohaci Wiru Mananggay, meninggalkan
negri. Keraton yang di tinggalkan saat
itu juga di pagar dengan pohon besar dan akhirnya di sebut “Leuweung Larangan”.
Puluhan tahun berlalu, tempat itu menjadi hutan
berburu.
Pangéran Lingga Wisésa yang tampan dan suka berburu.
Pada suatu hari Pangéran Lingga Wisésa berburu
di “Leuweung Larangan”. Semua pengiringnya tak ada yang berani masuk ke dalam
hutan, karena hutan itu terkenal sangat angker, di jaga dedemit dan siluman.
Rasa penasaran masuk ke dalam “Leuweung Larangan”, membuat pangeran tak
bisa tidur. Esok harinya dengan pakaian prajurit lengkap dan membawa pedang
pusaka, Pangéran Lingga Wisésa berangkat ke ““Leuweung Larangan”, Si Barong, kuda
kesayangannya.
Tiba di sisi
Leuweung Larangan, Pangéran Anom “ngawatek
ajianana”, terbukala jalan. Pangéran Anom masuk ke dalam Leuweung Larangan; tampaklah karaton yang sangat besar. Tapi semua nya tertidur
lelap.
Pangéran Anom masuk ke dalam karaton, tampak para
dayang tertidur di lantai,....
Pangéran Anom hatinya tersentuh, mendekati putri yang
sedang tertidur lelap.
Semilir angin bertiup lembut Nyai Pohaci Wiru
Mananggay, memeriksa keadaan karena sudah tiba saat nya “supata” Nyi Rara
Demit.
Putri Éndang Mayang terbangun, saat menengok ke kanan
di lihat nya seorang laki-laki tertidur di disisi ranjang sambil memegang tangannya. Putri Éndang Mayang tidak
kaget karena Nyai Pohaci Wiru Mananggay sudah memberi tahu dalam mimpi bahwa
pria itu adala Putra Raja yang bakal menjadi suaminya.
Pangéran Anom terbangun, menatap Putri Éndang Mayang dan saling jatuh cinta.