Selasa, 01 November 2016

Putri Leuweung Larangan

Sumber : http://dongeng-uing.blogspot.co.id/

Pada jaman dahulu kala, di sebuah negri yang kaya dan makmur di perintah oleh seorang  Raja yang adil bijaksana. Sayangnya sang Raja belum di karuniai keturunan.
Suatu hari sang Raja menitahkan  Patih  untuk membuat sayembara, mengobati sang Permaisuri agar mendapatkan keturunan dengan hadiah uang salaksa dinar dan

Banyak peserta sayembara tapi tak satupun berhasil.
Kangjeng Raja sangat bingung, berdoa kepada yang Maha Suci.
Pada suatu malam  sang Raja mendengar suara, “Keinginan kamu oleh yang Maha Suci bakal dikabul, tapi bukan kebahagian seorang anak laki-laki, tapi akan di beri seoreang anak perempuan”.
Sejak saat itu sang Raja memiliki putra yang di beri nama Putri Éndang Mayang.

Kebahagian Kangjeng Raja tiada terhingga, dan mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam dan mengundang semua pohaci pelindung negri.
Semua parapangagung nagara termasuk parapohaci, datang memberi selamat.
Tidak tahu bagaimana, Kangjeng Raja lupa mengundang Nyi Rara Demit.
Walau tidak di undang, Nyi Rara Demit datang menghadiri pesta dengan maksud membalas
Kangjeng Raja karena merasa tidak di hargai. 
Saat upacara memotong rambut bayi, niat Nyi Rara Demit diketahui oleh Pohaci Wiru Mananggay.  Pohaci Wiru Mananggay bersembunyi di dalam bokor berisi air untuk membasahi ubun-ubun bayi.
Saat upacara pohaci mendengarkan harapan agar Nyi Putri menjadi perempuan yang paling cantik dan di sayang semua orang.
Saat giliran Nyi Rara Demit, katanya , “bayi ini ada pada kincir tinun; nanti bila sudah  sawawa, saatnya remaja putri, bakal tergores tangannya oleh kincir dan tidak akan bisa di obati.”
Semua tamu yang hadir menjadi kaget, tak menyangka Nyi Rara Demit bakal mengucapkan seperti itu.
Kangjeng Raja tak bisa mengatakan apa-apa, pucat karena kaget.
Tak lama, tampaklah Pohaci Wiru Mananggay yang bersembunyi dalam bokor dan berucap,”Semuanya jangan kaget, jangan rémpan, saya yang belum meneteskan cirasa kepada bayi ini. Cirasa ini kapaliasan, akan menghapus segala bahaya, tapi ampuhnya kata-kata  Nyi Rara Demit, pati Nyi Putri tidak bisa di hilangkan, hanya bisa di ganti oleh tidur selam seratus tahun.
Jadi, di mana Nyi Putri tergores  kincir, tidak akan wafat, hanya kapiuhan saja, terus tertidur lelap selama seratus tahun, bila sudah genap akan di bangunkan oleh putra Raja yang tampan dan pintar tiada tandingan.
 Mendengar ucapan Pohaci Wiru Mananggay, Kangjeng Raja  dan seluruh hadirin merasa lega.  .

Tujuh belas tahun kemudian,  Putri Éndang Mayang tumbuh menjadi putri yang cantik dan baik hati.  
Pada suatu hari, Putri, Éndang Mayang sedang berjalan-jalan di luar keraton, di depan sebuah rumah kecil sederhana Putri Éndang Mayang mendengar suara yang di rasa nya aneh.  Putri Éndang Mayang penasaran  dan permisi memasuki rumah kecil.
Di lihat nya seorang nenek sedang memutar kincir,
Putri Éndang Mayang terpana melihat kincir karena aru pertama kali melihat.

“Sedang apa, Nini?” kata  Putri.
“Sedang  ngincir, Cantik, mengulung benang untuk menenun!”

“Bolehkan saya mencoba ngincir, boleh tidak  Nini?”

“Silahkan, cantik!” kata nenek itu sambil beringsut.
Putri Éndang Mayang memegang kincir, baru satu putaran tangan Putri Éndang Mayang tertusuk oleh pinggiran kincir yang sudah rusak.
Putri Éndang Mayang langsung jatuh pingsan. Putri Éndang Mayang
Tak lama kemudian Kangjeng Raja dan permaisuri datang. Kangjeng Raja melihat wajah Putri Éndang Mayang tidak pingsan, tapi tetidur lelap. Tergiang ucapan Nyi Rara Demit.
“Sekarang lebih baik Putri Éndang Mayang di bawa ke karaton, jangan di tangisi, sebab sudah tiba waktunya ucapan Nyi Rara Demit; Putri Éndang Mayang bukan pingsan tapi sedang tidur pulas”.
Di selimuti sutra déwangga, pakaian nya di ganti, di jaga para dayang.
 Tak lama kemudian datanglah Pohaci Wiru Mananggay yang sakti. Melihat Putri Éndang Mayang hening , “Nanti bila saatnya genap seratus tahun, Putri Éndang Mayang bangun,  supaya tidak bingung pada saat bangun, harus ada yang dikenalnya.  Oleh sebab itu seluruh negri ini termasuk Kangjeng Raja dan Permaisuri “ku kula arék disirep”  supaya tidur seratus tahun lamanya, termasuk keraton dan semua isi  nya. Nah silahkan  sekarang Kangjeng Raja sdan  Praméswari, berangkat saja dari sini membuat negara baru.
Pohaci Wiru Mananggay melafalkan “sirepna”, sakabéh seisi negri tertidur saat itu juga. Kangjeng Raja dan Permaisuri menuruti ucapan  Pohaci Wiru Mananggay, meninggalkan negri.  Keraton yang di tinggalkan saat itu juga di pagar dengan pohon besar dan akhirnya  di sebut “Leuweung Larangan”.

Puluhan tahun berlalu, tempat itu menjadi hutan berburu.
Pangéran Lingga Wisésa yang tampan dan suka berburu. Pada suatu hari Pangéran Lingga Wisésa  berburu di “Leuweung Larangan”. Semua pengiringnya tak ada yang berani masuk ke dalam hutan, karena hutan itu terkenal sangat angker, di jaga dedemit dan siluman.

Rasa penasaran masuk ke dalam  “Leuweung Larangan”, membuat pangeran tak bisa tidur. Esok harinya dengan pakaian prajurit lengkap dan membawa pedang pusaka, Pangéran Lingga Wisésa berangkat ke ““Leuweung Larangan”, Si Barong, kuda kesayangannya.
Tiba di sisi  Leuweung Larangan,  Pangéran Anom “ngawatek ajianana”, terbukala jalan. Pangéran Anom masuk ke dalam  Leuweung Larangan; tampaklah  karaton yang sangat besar. Tapi semua nya tertidur lelap.
Pangéran Anom masuk ke dalam karaton, tampak para dayang tertidur di lantai,....
Pangéran Anom hatinya tersentuh, mendekati putri yang sedang tertidur lelap.
Semilir angin bertiup lembut Nyai Pohaci Wiru Mananggay, memeriksa keadaan karena sudah tiba saat nya “supata” Nyi Rara Demit.

Putri Éndang Mayang terbangun, saat menengok ke kanan di lihat nya seorang laki-laki tertidur di disisi ranjang sambil  memegang tangannya. Putri Éndang Mayang tidak kaget karena Nyai Pohaci Wiru Mananggay sudah memberi tahu dalam mimpi bahwa pria itu adala Putra Raja yang bakal menjadi suaminya.
Pangéran Anom terbangun, menatap Putri Éndang Mayang  dan saling jatuh cinta.