Sumber: http://dongeng-uing.blogspot.co.id/
PUTRI AJAG
Maharaja
Nagara Girimandala di perintah oleh Sang
Prabu Jayéngbuana. Terkenal ratu adil palamarta,
wijaksana, welas asih kepada rakyat. Negara yang subur makmur, damai dan sejahtera.
Sang Patih Guriang Maréndra
“Gusti,” sahut
Patih, “Apakah yang membuat Gusti tampak
lesu?”
“Paman
Patih,” ucap Sang Raja, “Saya sedih
karena tidak memiliki anak. Siapa yang
akan menuruskan memerintah nagara?”
“Izinkanlah saya mengumpulkan dukun-dukun, siapa tahu
dapat memberikan petunjuk,” ucap Sang
Patih.
Dukun-dukun
dikumpkan tak krang dari empat puluh orang, di balé sawala, sibuk menggunakan
ilmu nya masing-masing sambil “ngarukus saparukuyan séwang”. Sampai penuh
dengan asap kemenyan.
“Parukuyan”
sudah padam, ajian sudah di gunakan. Mereka bermusyawarah.
“Hormat Mahapatih Guriang Maréndra,” kata Paing
Guringsang, dukun yang tertua.
“Sang Permaisuri
telah minum air “lahang “ sadapan Dampu
Pamatang.”
“Kayaknya
sadapan Dampu Pamatang? Dan Dampu Pamatang bukan tukang nyadap!”
“Hanya begitu
wangsit yang kami terima ,” kata Paing Guringsang.
Sesudah di
musyawarahkan oleh Patih dan paraponggawa karaton, tidak salah yang disebut ”lahang” adalah darah ajag/serigala, sebab Dampu Pamatang kerjanya
berburu serigala.
Benar saja,
setelah minum darah serigala, Permaisuri mengandung.
Setelah
sembilan bulan mengandung, lahirlah seorang putri yang cantik.
Sang Prabu
Jayéngbuana sangat bahagia, dan putri itu di beri nama Putri Éndang Purnama Gilang Manik. Pésta nagara,
selama empat puluh hari empat puluh malam.
Sang Putri yang
baik hati dan lemah lembut penuh welas asih kepada rakyat.
Tapi setelah
menginjak remaja, putri cantik ini sering bertindak seperti serigala.
Setahun
sekali di malam purnama bulan Sadacandra, tidak terperi keinginannya minm darah
manusia.
Bila timbul
keinginannya, kukunya mendadak panjang
dan tajam, keluar taring di kiri kanan seperti taring harimau. Pergilah keluar karaton, memburu di desa terpencil. Auuung … auuung, melolong
suaranya menakutkan.
Bila ada
yang lewat, langsung di sergap, mengisap darah korbannya.
Setelah itu
kembali seperti biasa menjadi Putri yang lemah lembut. Tak ada yang tahu kelakuan Sang Putri yang
sebanarnya.
Itulah yang
terjadi setiap tahun.
Pada suatu
saat di malam purnama bulan Sadacandra, timbul lagi sifat serigala nya.
Melolong
sepanjang jalanmencari mangsa.
Terpangku di
sisi Talaga Sagarasuta, tercium bau manusia.
Nyai Éndang
Sawati sedang bercengkrama dengan tunangan nya, Luang Sungsang, putra Adipati
Wadasguntur. Mereka akanmenikah sebulan lagi.
Luang
Sungsang diterkam, dan di hisap darahnya. Nyai Éndang Sawati pingsan melihat
tunangan nya di erkam serigala.
Ketika
sadar, mayat Luang Sungsang dirangkulnya
sambil menangis. Di bawa Guha Si Kalapeteng. Lalu betapa di situ sambil
memangku mayat tunangan nya.
Tiga tahun
kemudian rakyat Girimandala berbahgia,
mendengar kabar Putri Éndang Purnama Gilang Manik akan di nikahkan dengan Sanghyang
Marajasima, putra Maharaja Gugursamida.
Saat nya
mengantarkan Sang Putri dduduk di karéta
kancana, ditarik oleh seratus serigala.
Sang Prabu Jayéngbuana menunggang “munding
bulé pusaka nagara”.
Di batas
nagara di jemput oleh Sanghyang Marajasima dengan naik karéta kancana, ditarik oleh sepasang naga.
Sehari ...,
dua hari ..., tiga hari ... calon pengantin belum juga me nikah.
“Menanti Punduh Agung,” sahut orang-orang.
Tiba-tiba
angin bertiup kecang, ratusan ribu orang terpana, diam!.
Saat angin
berhenti terdengarlah suara seorang wanita menggema di udara, di bawah, di
dalam tanah, di depan dan di belakang, akhirnya di semua penjuru.
“Éndang Purnama Gilang Manik .... Kami datang mengembalikan
rasa sakit, .... bertahun-tahun kami hujan airmata, menangisi kekasih yang di
mangsa oleh andika …. Sekarang andika menangisi
dosa sampai pada akhirnya ….”
Semua orang
kaget terpana, merasa takut mendengar
suara gaib seperti itu.
Saat itu
masuklah ke Balé Agung, seorang putri yang cantik jelita.
Ternyata
Putri Éndang Sawati yang datang, mata Éndang
Purnama Gilang Manik mendadak liar, kukunya memanjang dan taring nya keluar,
berubah jadi Putri Serigala.
Putri Éndang
Sawati jatuh di pukul selendang.
Akhirnya
Éndang Sawati dinikahkan pada Sanghyang Marajasima, mengantikan Putri Serigala.
Putri Éndang
Purnama Gilang Manik pergi terlunta-lunta, masuk ke hutan. Menangis menanti hari akhir di
hutan di dalam pohon “gorda”.
Sampai
sekarang, bila angin berhembus terdengar suara tangis pilu Putri Serigala.