Selasa, 01 November 2016

Putri Serigala

Sumber: http://dongeng-uing.blogspot.co.id/
PUTRI AJAG
Maharaja Nagara Girimandala di perintah oleh  Sang Prabu Jayéngbuana. Terkenal  ratu adil palamarta, wijaksana, welas asih kepada rakyat. Negara yang subur makmur, damai dan sejahtera. Sang Patih Guriang Maréndra
“Gusti,” sahut  Patih, “Apakah yang membuat Gusti tampak lesu?”
“Paman Patih,” ucap  Sang Raja, “Saya sedih karena tidak memiliki  anak. Siapa yang akan menuruskan memerintah nagara?”
“Izinkanlah  saya mengumpulkan dukun-dukun, siapa tahu dapat memberikan petunjuk,” ucap  Sang Patih.
Dukun-dukun dikumpkan tak krang dari empat puluh orang, di balé sawala, sibuk menggunakan ilmu nya masing-masing sambil “ngarukus saparukuyan séwang”. Sampai penuh dengan asap kemenyan.
“Parukuyan” sudah padam, ajian sudah di gunakan. Mereka bermusyawarah.
 “Hormat  Mahapatih Guriang Maréndra,” kata Paing Guringsang, dukun yang tertua.
“Sang Permaisuri telah minum air “lahang “  sadapan Dampu Pamatang.”
“Kayaknya sadapan Dampu Pamatang? Dan Dampu Pamatang bukan tukang nyadap!”
“Hanya begitu wangsit yang kami terima ,” kata Paing Guringsang.
Sesudah di musyawarahkan oleh Patih dan  paraponggawa karaton, tidak  salah yang  disebut ”lahang” adalah darah  ajag/serigala, sebab Dampu Pamatang kerjanya berburu serigala.
Benar saja, setelah minum darah serigala, Permaisuri mengandung.
Setelah sembilan bulan mengandung, lahirlah seorang putri yang cantik.
Sang Prabu Jayéngbuana sangat bahagia, dan putri itu di beri nama  Putri Éndang Purnama Gilang Manik. Pésta nagara, selama empat puluh hari empat puluh malam.
Sang Putri yang baik hati dan lemah lembut penuh welas asih kepada rakyat.
Tapi setelah menginjak remaja, putri cantik ini sering bertindak seperti serigala.
Setahun sekali di malam purnama bulan Sadacandra, tidak terperi keinginannya minm darah manusia.
Bila timbul keinginannya,  kukunya mendadak panjang dan tajam, keluar taring di kiri kanan seperti taring harimau.  Pergilah keluar karaton,  memburu di desa terpencil. Auuung … auuung, melolong suaranya menakutkan.
Bila ada yang lewat, langsung di sergap, mengisap darah korbannya.
Setelah itu kembali seperti biasa menjadi Putri yang lemah lembut.  Tak ada yang tahu kelakuan Sang Putri yang sebanarnya.
Itulah yang terjadi setiap tahun.
Pada suatu saat di malam purnama bulan Sadacandra, timbul lagi  sifat serigala nya.
Melolong sepanjang jalanmencari mangsa.
Terpangku di sisi Talaga Sagarasuta, tercium bau  manusia.  
Nyai Éndang Sawati sedang bercengkrama dengan tunangan nya, Luang Sungsang, putra Adipati Wadasguntur. Mereka akanmenikah sebulan lagi.
Luang Sungsang diterkam, dan di hisap darahnya. Nyai Éndang Sawati pingsan melihat tunangan nya di erkam serigala.
Ketika sadar,  mayat Luang Sungsang dirangkulnya sambil menangis. Di bawa Guha Si Kalapeteng. Lalu betapa di situ sambil memangku mayat tunangan nya.
Tiga tahun kemudian rakyat  Girimandala berbahgia, mendengar kabar Putri Éndang Purnama Gilang Manik akan di nikahkan dengan Sanghyang Marajasima, putra Maharaja Gugursamida.
Saat nya mengantarkan Sang Putri dduduk di  karéta kancana, ditarik oleh seratus serigala.
 Sang Prabu Jayéngbuana menunggang “munding bulé pusaka nagara”.
Di batas nagara di jemput oleh Sanghyang Marajasima dengan naik  karéta kancana, ditarik oleh sepasang naga.
Sehari ..., dua hari ..., tiga hari ... calon pengantin belum juga me nikah.
 “Menanti Punduh Agung,” sahut orang-orang.
Tiba-tiba angin bertiup kecang, ratusan ribu orang terpana, diam!.
Saat angin berhenti terdengarlah suara seorang wanita menggema di udara, di bawah, di dalam tanah, di depan dan di belakang, akhirnya di semua penjuru.
 “Éndang Purnama Gilang Manik .... Kami datang mengembalikan rasa sakit, .... bertahun-tahun kami hujan airmata, menangisi kekasih yang di mangsa oleh andika …. Sekarang  andika menangisi dosa sampai pada  akhirnya ….”
Semua orang kaget terpana,  merasa takut mendengar suara gaib seperti itu.
Saat itu masuklah ke Balé Agung, seorang putri yang cantik jelita.
Ternyata Putri Éndang Sawati yang datang, mata  Éndang Purnama Gilang Manik mendadak liar, kukunya memanjang dan taring nya keluar, berubah jadi Putri Serigala.
Putri Éndang Sawati jatuh di pukul selendang.
Akhirnya Éndang Sawati dinikahkan pada Sanghyang Marajasima, mengantikan Putri Serigala.

Putri Éndang Purnama Gilang Manik pergi terlunta-lunta,  masuk ke hutan. Menangis menanti hari akhir di hutan di dalam pohon “gorda”.  
Sampai sekarang, bila angin berhembus terdengar suara tangis pilu Putri Serigala.