Jumat, 21 Oktober 2016

Déwi Srangéngé Ibu Ratu Rorokidul

Zaman dahulu kala seorang Raja bernama Sang Prabu Munding Wangi, memiliki seorang putri  bernama Déwi Kadita   yang sangat cantik dan sering di sebut ,Déwi Srangéngé karena wajahnya bercahaya seperti matahari.
Déwi Srangéngé sangat di sayang oleh Sang Prabu.  
Walaupun begitu Sang Prabu berdoa memohon kepada  Hyang Déwata, termasuk batara-batari memohon dikaruniai seorang anak laki-laki.
Tak lama kemudian Sang Prabu di karunia seorang Putra yang lahir dari selir Déwi Mutiara.

Hati Déwi Mutiara iri melihat  Déwi Srangéngé yang tinggal di dalam karaton, karena ia hanya seorang selir tempat nya di luar karaton.
Akhirnya Déwi Mutiara menginginkan anaknya menjadi raja, ia ingin menjadi ibu suri.
Déwi Mutiara terus berpikir, walapun anaknya laki-laki, tapi selama masih ada Déwi Srangéngé dan permaisuri, anaknya tidak mungkin menjadi raja.
Akhirnya Déwi Mutiara menemui tukang tenung sakti bernama Nini Jahil, di dekat Gunung Parahu untuk  menyingkirkan permaisuri idan Déwi Srangéngé.

Déwi Mutiara menyampaikan niatnya menyingkirkan Déwi Srangéngé berserta  permaisuri.
Bagaimana sanggup?” kata Déwi Mutiara.
“Tai kuping itu mah,” jawab Nini Jahil.
“Tapi jangan di matikan,” katanya pula.
Jangan khawatir,” Nini Jahil meyakinkan.

Maksud Déwi Mutiara, adalah supaya praméswari dan Déwi Srangéngé,  ditenung supaya mukanya  rusak.
Pikirnya bila mukanya rusak pasti akan di usir oleh Kangjeng Raja.
.
Pada suatu malam saat seluruh penghuni  karaton tertidur nyenyak, Nini Jahil  masuk ke dalam  karaton.
Dasar tukang tenung sakti, tak seorangpun tahu, semuanya terkena élmu sirep Nini Jahil.
Ilmu tenung Nini Jahil sangat ampuh, saat itu juga muka praméswati penuh bisul sebesar kacang, yang mengeluarkan darah dan nanah yang berbau busuk.
Selesai menenung praméswari, giliran Déwi Srangéngé ditenung,
Sangat ampuh dalam sekejap Putri yang cantik
berubah menjadi buruk rupa penuh borok, bisul dan bau.
Nini Jahil keluar dari karaton, dan menghampiri  Déwi Mutiara.
Nini Jahil menceritakan pekerjaannya, membuat Déwi Mutiara sangat senang.


 Saat Déwi Srangéngé bangun mencium bau dan berkaca.
Déwi Srangéngé sangat dan sedih, dan langsung memasuki kamar ibunya  dan kaget melihat ibunya dalam keadaan yang sama dengan dirinya.
Mereka menangis dan keluar dari karaton sebelum di usir Kangjeng Raja.
Déwi Mutiara sangat senang mendengar berita kepergian permaisuri dengan anaknya meninggalkan karaton.
Ibu dan anak berjalan masuk hutan ‘leuweung geledegan, leuweung ganggong simagonggong,leuweung si sumenem jati. 
Hatinya sangat nelangsa.
Akhirnya mereka tiba di suatu tempat petapaan, bertemu dengan seorang pandita sakti, berilmu linuhung, weruh sadurung winarah.
Saya sudah melihat, kalian berdua adalah permaisuri raja dan putri, walaupun muka kalian sangat rusak, ujar pandita.
Permaisuri dan Déwi Srangéngé, dianggap dan  di angkat sebagai keluarga. 
“Nyai dan incu Éyang”, sekarang sedang mendapatkan cobaan yang berat kata Ki Pandita, tinggallah di sini.

Praméswari bersama Déwi Srangéngé, tinggal di  petapaan.
Ki Pandita berusaha mengobati penyakit mereka.
Tenung Nini Jahil sangat ampuh, Ki Pandita tidak bisa mengobatinya.

Kedua perempuan itu hidup sangat  prihatin, biasa tinggal di istana yang serba ada, sekarang tinggal di petapaann yang serba tidak ada dan akhirnya permaisuri meninggal di petapaan.
Ki Pandita melihat orang yang mengerjakan penyakit ini,  dan memerintahkan kepada harimau kembar untuk menghukum  Nini Jahil.
Maung kembar pergi dari petapaan ke Gunung Parahu.
Akhirnya Nini Jahil pun mati, muka dan badan nya rusak bekas di cakar harimau.

Ditinggal pergi ibunya, Déwi Srangéngé sangat sedih.
Akhirnya Déwi Srangéngé pergi dari petapaan  dan tiba di pesisir selatan.
Déwi Srangéngé tertidur di bawah pohon kelapa, dan  bermimpi seperti nyata.
Déwi Srangéngé bertemu dengan seorang kakek berpakaian serba putih.
Dan kakek itu berbicara: “Kasihan sekali cucu Aki, yang cantik harus mengalami hidup sengsara, bangunlah dan siram dengan air laut dan jangan kemana-mana karena akan ada satria yang mengajak nikah”.
Selesai kakek itu bicara, Déwi Srangéngé bangun dan tak melihat seorangpun.
Memandang lautan luas dan ombak serasa memangil, dan cepat-cepat menyiram tubuhnya dengan air laut.

 “Tadi tuh mimpi, petunjuk atau  riwan?”, dalam hati  Déwi Srangéngé.

Akhirya  Déwi Srangéngé tidak berpikir banyak dan langsung menceburkan diri ke laut, anehnya setiap mengusap wajahnya dengan air laut, wajahnya langsung bersih.
Ucapan kakek itu benar, mukanya kembali cantik berseri seperti cahaya matahari yang baru terbit.
Déwi Srangéngé sangat senang dan seakan tak percaya pada kejadian yang sangat aneh.
Wajahnya bersih bersinar,  tak terasa air mata mengalir karea bahagia.
Menuruti ucapan kakek-kakek dalam mimpinya, agar tidak pergi kemana-mana menunggu satria yang akan mengajaknya nikah.
Déwi Srangéngé percaya kepada ucapan kakek-kakek yang datang dalam mimpi.

Habislah sudah kesabaran Déwi Srangéngé menunggu Satria yang akan mengajaknya nikah dan merasa di bohongi oleh kake-kakek yang bertemu dalam mimpinya, Déwi Srangéngé merasa putus asa. Akhirnya menceburkan diri ke dalam  laut.
Anehnya air laut malah menepi, semua ikan kecil dan ikan besar seakan memberi jalan dan menyambut Sang Déwi Srangéngé , yang akhirnya di angkat jadi ratu di sagara kidul, tersebutlah  Nyai Ratu Roro Kidul.

Karena penasaran, air laut terus  diubek, niatnya mencari satria.
Itulah sebabnya laut kidul terkenal oleh gelombang nya yang besar karena terus  diubek-ubek oleh Ibu Ratu Nyi Roro Kidul.


Sampurasun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar