Manunggalitas: apakah tujuan hidup?
Oleh: Hendra Hendarin
Manunggalitas, proses manunggal (menjadi tunggal) dengan Yang Maha Tunggal,
kerapkali dianggap sebagai tujuan mutakhir (ultimate) dari perjalanan hidup
manusia dan merupakan tahap akhir dari "perjuangan" hidup di bumi.
Berbagai cara dilakoni manusia, dengan maksud untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam pandangan beberapa penganut agama Islam, manunggal ini disebut juga
sebagai ma'rifat; dan bagi yang sejalan dengan konsep dari Syech Siti Jenar,
'manunggaling Gusti' juga dianggap sebagai esensi dari tujuan hidup.
Manunggal adalah suatu fenomena ketika jiwa/sukma/consciousness kita
melebur kembali dengan ruh/spirit semesta -yang mana pada hakikatnya adalah roh
Yang Maha Tunggal.
Proses manunggal dapat terjadi melalui, umumnya, dua hal: pertama adalah
ketika kita *meninggal/*passing away;...
*Dalam peristilahan meninggal/passing away inipun disiratkan bahwa fenomena
yang terjadi adalah jiwa 'meninggal'kan jasad; dan dalam istilah bahasa luar,
'passing away' juga menyiratkan hal yang sama. Jadi istilah 'mati' atau 'dead'
adalah isitlah yang sangat berperspektif 'duniawi', karena 'hidup'/'ruh' kita
tidak akan pernah 'mati'.
...yang kedua adalah kita melakukan meditasi, hingga pada fase tertentu,
sehingga jiwa kita 'transporting home'. keadaan ini, konon, dan saya percaya,
dapat dicapai oleh para waskita. Ia hanya 'berkelana' sebentar, dan dapat
kembali ke jasadnya.
Dengan demikian, manunggalitas adalah suatu proses yang 'alamiah' dan
selalu berulang (reinkarnatif). Ia seperti waktu dari jam 00:00 kembali ke jam
00:00; 'from zero to zero'; dengan kalimat lain, tanpa dijadikan tujuan
hidup-pun, manunggalitaas adalah suatu "keharusan" untuk dilalui
dalam perputaran "hukum alam".
Jadi apakah keliru jika manunggal dijadikan sebagai 'goal' hidup kita?
Dalam perspektif lain, mungkin tidak.
Dalam perspektif lain, manunggalitas kadang diartikan juga sebagai
pencapaian tertinggi dari nilai-nilai spiritualitas manusia, yang semakin
mendekati sifat-sifat Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini, yang dimaksud manunggalitas
adalah lebih kepada ascension atau kenaikan tingkat spiritualisme ruh. Namun
untuk mencapai tingkat ini, tidak bisa dicapai dengan hanya sekali inkarnasi.
Kita harus melalui sangat banyak proses reinkarnasi, mungkin ribuan kali, entah
mungkin lebih.
Sebelum itu, baiknya kita pahami terlebih dahulu bahwa pada hakikatnya, ruh
juga adalah merupakan "enerji"; dan enerji tidak pernah hilang; ia
hanya bisa bertransformasi dari satu bentuk enerji ke bentuk enerji lainnya.
Dengan dasar pemikiran seperti ini, tentu sulit untuk diterima bahwa jiwa
manusia hanya mengalami satu kali inkarnasi saja -yang umurnya mungkin
rata-rata sekitar 80 tahun saja: lalu sisa waktunya (yang lamanya tak terbatas)
"kita" habiskan dimana?
Tingkatan Ruh
Kembali ke isu asensi, atau "kenaikan tingkat", oleh karena untuk
mencapai (secara teoritis) tingkat tertinggi diperlukan sangat banyak fenomena
reinkarnasi, berdasarkan dasar pemikiran tersebut, tentu juga agak sulit untuk
diterima bahwa tujuan hidup manusia adalah manuggal (dalam perspektif ini).
Karena dari tingkatan manusia, tidak lantas satu langkah langsung "menjadi
Tuhan". Sebelumnya, mungkin kita harus melalui tahap menjadi dewa dulu
dalam berbagai hirarki dan struktur ("manunggal" dengan berbagai
struktural dan hirarkis dewa sebelum tingkatan yang lebih atas lagi).
Itu juga jika kita "lulus", karena bisa saja kita "tidak
lulus" dan malah "turun tingkat" menjadi tingkatan ruh yang
lebih rendah, misal menjadi binatang (yang juga memiliki tingkatan, misal
menjadi kecoa tentu berbeda tingkat dengan menjadi misal gajah).
Pola pemikiran ini, saya mengerti, bagi banyak orang sulit untuk
dimengerti. Namun ketika anda menerima konsep bahwa Manusia adalah satu ruh
dengan Maha Pencipta, dan ruh Maha Pencipta melingkupi segala hal, maka anda
akan harus menerima juga bahwa ruh Tuhan juga mencakup segala sesuatu dari
mulai tumbuhan, gunung, planet, kecoa, tikus, badak dll. Dan konsekuensinya,
jika ruh Tuhan mencakup semua itu, mengapa kita -yang satu ruh dengan Tuhan,
tidak mungkin mengisi jasad selain manusia.
Berbicara tentang hirarki tingkatan ruh, manusia juga memiliki berbagai
tingkatan. Ada yang lahir menjadi pengemis buta yang hampir sepanjang hidupnya
relatif melarat, ada juga yang lahir dari bangsawan kaya dan terhormat, rupawan
serta banyak dipuja orang. Tanpa konsep reinkarnasi, akan sulit untuk menerima
bahwa alam adalah adil -ketika kita membandingkan dua kondisi manusia yang
sangat berbeda ini. Mau tidak mau kita harus menerima, bahwa kita akan sulit
untuk menghormati bangsawan terhormat dengan rasa hormat yang sama dengan kita
menghormati maling dan pemerkosa. Ini sebabnya ajaran Hindu lebih realistis
dalam hal ini dengan konsep Kasta-nya. Manusia melakoni karmanya, berdasarkan
apa yang telah diperbuatnya dalam hidup sebelumnya. Dan kita menaruh respek
pada setiap orang berbeda, tergantung dari apa yang dicapainya (terlepas dari
bahwa kita harus mengasihi semuanya)
Menjadi Manusia
Menjadi manusia adalah anugerah yang paling baik yang dialami oleh fenomena
ruh. Karena dengan menjadi manusia, kita memiliki kesempatan yang lebih baik
untuk "berbakti" kepada Maha Pencipta. Bahkan para dewa pun banyak
yang ingin turun kembali ke bumi. Karena hidup di bumi seperti permainan yang
mengasyikan, sekaligus banyak "door price" dan hadiah lainnya. Oleh
karena hidup di dunia ini menjadi dambaan setiap ruh, mengapa kita ingin
cepat-cepat "naik kelas"? Mari kita nikmati saja permainan ini, dan
berterimakasih serta bersyukur, dengan cara berbakti melalui tingkah laku
perbuatan, ucapan dan niat yang positif dan memberkati manusia lain.
Life is beautiful, all you need is love.
Syalom, Wassalaam, Namaste.
Ahung...
Aum...
Om...
M...
.