Sabtu, 29 April 2017

apakah tujuan hidup?


Manunggalitas: apakah tujuan hidup?


Oleh: Hendra Hendarin

Manunggalitas, proses manunggal (menjadi tunggal) dengan Yang Maha Tunggal, kerapkali dianggap sebagai tujuan mutakhir (ultimate) dari perjalanan hidup manusia dan merupakan tahap akhir dari "perjuangan" hidup di bumi. Berbagai cara dilakoni manusia, dengan maksud untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam pandangan beberapa penganut agama Islam, manunggal ini disebut juga sebagai ma'rifat; dan bagi yang sejalan dengan konsep dari Syech Siti Jenar, 'manunggaling Gusti' juga dianggap sebagai esensi dari tujuan hidup.

 Manunggal adalah suatu fenomena ketika jiwa/sukma/consciousness kita melebur kembali dengan ruh/spirit semesta -yang mana pada hakikatnya adalah roh Yang Maha Tunggal.

 Proses manunggal dapat terjadi melalui, umumnya, dua hal: pertama adalah ketika kita *meninggal/*passing away;...
  
*Dalam peristilahan meninggal/passing away inipun disiratkan bahwa fenomena yang terjadi adalah jiwa 'meninggal'kan jasad; dan dalam istilah bahasa luar, 'passing away' juga menyiratkan hal yang sama. Jadi istilah 'mati' atau 'dead' adalah isitlah yang sangat berperspektif 'duniawi', karena 'hidup'/'ruh' kita tidak akan pernah 'mati'.
  
...yang kedua adalah kita melakukan meditasi, hingga pada fase tertentu, sehingga jiwa kita 'transporting home'. keadaan ini, konon, dan saya percaya, dapat dicapai oleh para waskita. Ia hanya 'berkelana' sebentar, dan dapat kembali ke jasadnya.

 Dengan demikian, manunggalitas adalah suatu proses yang 'alamiah' dan selalu berulang (reinkarnatif). Ia seperti waktu dari jam 00:00 kembali ke jam 00:00; 'from zero to zero'; dengan kalimat lain, tanpa dijadikan tujuan hidup-pun, manunggalitaas adalah suatu "keharusan" untuk dilalui dalam perputaran "hukum alam".

Jadi apakah keliru jika manunggal dijadikan sebagai 'goal' hidup kita?

 Dalam perspektif lain, mungkin tidak.
  
Dalam perspektif lain, manunggalitas kadang diartikan juga sebagai pencapaian tertinggi dari nilai-nilai spiritualitas manusia, yang semakin mendekati sifat-sifat Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini, yang dimaksud manunggalitas adalah lebih kepada ascension atau kenaikan tingkat spiritualisme ruh. Namun untuk mencapai tingkat ini, tidak bisa dicapai dengan hanya sekali inkarnasi. Kita harus melalui sangat banyak proses reinkarnasi, mungkin ribuan kali, entah mungkin lebih.


Sebelum itu, baiknya kita pahami terlebih dahulu bahwa pada hakikatnya, ruh juga adalah merupakan "enerji"; dan enerji tidak pernah hilang; ia hanya bisa bertransformasi dari satu bentuk enerji ke bentuk enerji lainnya. Dengan dasar pemikiran seperti ini, tentu sulit untuk diterima bahwa jiwa manusia hanya mengalami satu kali inkarnasi saja -yang umurnya mungkin rata-rata sekitar 80 tahun saja: lalu sisa waktunya (yang lamanya tak terbatas) "kita" habiskan dimana?


Tingkatan Ruh


Kembali ke isu asensi, atau "kenaikan tingkat", oleh karena untuk mencapai (secara teoritis) tingkat tertinggi diperlukan sangat banyak fenomena reinkarnasi, berdasarkan dasar pemikiran tersebut, tentu juga agak sulit untuk diterima bahwa tujuan hidup manusia adalah manuggal (dalam perspektif ini). Karena dari tingkatan manusia, tidak lantas satu langkah langsung "menjadi Tuhan". Sebelumnya, mungkin kita harus melalui tahap menjadi dewa dulu dalam berbagai hirarki dan struktur ("manunggal" dengan berbagai struktural dan hirarkis dewa sebelum tingkatan yang lebih atas lagi).
  
Itu juga jika kita "lulus", karena bisa saja kita "tidak lulus" dan malah "turun tingkat" menjadi tingkatan ruh yang lebih rendah, misal menjadi binatang (yang juga memiliki tingkatan, misal menjadi kecoa tentu berbeda tingkat dengan menjadi misal gajah).

 Pola pemikiran ini, saya mengerti, bagi banyak orang sulit untuk dimengerti. Namun ketika anda menerima konsep bahwa Manusia adalah satu ruh dengan Maha Pencipta, dan ruh Maha Pencipta melingkupi segala hal, maka anda akan harus menerima juga bahwa ruh Tuhan juga mencakup segala sesuatu dari mulai tumbuhan, gunung, planet, kecoa, tikus, badak dll. Dan konsekuensinya, jika ruh Tuhan mencakup semua itu, mengapa kita -yang satu ruh dengan Tuhan, tidak mungkin mengisi jasad selain manusia.

 Berbicara tentang hirarki tingkatan ruh, manusia juga memiliki berbagai tingkatan. Ada yang lahir menjadi pengemis buta yang hampir sepanjang hidupnya relatif melarat, ada juga yang lahir dari bangsawan kaya dan terhormat, rupawan serta banyak dipuja orang. Tanpa konsep reinkarnasi, akan sulit untuk menerima bahwa alam adalah adil -ketika kita membandingkan dua kondisi manusia yang sangat berbeda ini. Mau tidak mau kita harus menerima, bahwa kita akan sulit untuk menghormati bangsawan terhormat dengan rasa hormat yang sama dengan kita menghormati maling dan pemerkosa. Ini sebabnya ajaran Hindu lebih realistis dalam hal ini dengan konsep Kasta-nya. Manusia melakoni karmanya, berdasarkan apa yang telah diperbuatnya dalam hidup sebelumnya. Dan kita menaruh respek pada setiap orang berbeda, tergantung dari apa yang dicapainya (terlepas dari bahwa kita harus mengasihi semuanya)


Menjadi Manusia


Menjadi manusia adalah anugerah yang paling baik yang dialami oleh fenomena ruh. Karena dengan menjadi manusia, kita memiliki kesempatan yang lebih baik untuk "berbakti" kepada Maha Pencipta. Bahkan para dewa pun banyak yang ingin turun kembali ke bumi. Karena hidup di bumi seperti permainan yang mengasyikan, sekaligus banyak "door price" dan hadiah lainnya. Oleh karena hidup di dunia ini menjadi dambaan setiap ruh, mengapa kita ingin cepat-cepat "naik kelas"? Mari kita nikmati saja permainan ini, dan berterimakasih serta bersyukur, dengan cara berbakti melalui tingkah laku perbuatan, ucapan dan niat yang positif dan memberkati manusia lain.


Life is beautiful, all you need is love.


Syalom, Wassalaam, Namaste.


Ahung...
Aum...
Om...
M...

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar