Sabtu, 29 April 2017

"ngaHYANG"

"ngaHYANG"

Sewakadarma.

Disusun seorang pertapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang.
Sewakadarma  ajaran pribumi atau  “agama pribumi”, ‘pengabdian atau kebaktian terhadap darma’.

Tahta kahiyangan, bertaut dengan kalöpasan ‘kelepasan, moksa’ yang menekankan;
penggunaan bayu ‘tenaga’,
sabda ‘ucapan’, dan
hêdap ‘tekad’

Sesuai tuntutan dan petunjuk darma ke dalam dua bagian.
Pertama ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib.  Melukiskan peristiwa maut secara indah dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang kelepasan” bagi jiwa.
Kedua melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjara”nya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi.

Buyut Ni Dawit melukiskan tempat yang dilalui jiwa dalam perjalanannya menuju gerbang surga menunjukkan bahwa ia sangat akrab dengan suasana pegunungan yang mungkin menjadi tempat tinggalnya selama hidup bertapa.
Tumbuhan, satwa, bukit, lembah, jembatan, pancuran, dataran tinggi adalah suasana pegunungan dikhayalkannya menjadi suasana daerah pinggiran surga:


/35/ tuluy ñorang bönang ñayu
tajur pinang
kumara sinar hanjuang
sasipat mata handölöm
salaput böhöng tatali kayu waduri
manara döng kêmbang bulan
wera tumpang wera lancar
kêmbang soka

/35/ Lalu menempuh tempat yang diperindah
pohon pinang
kemilau sinar hanjuang
handölöm segaris mata
widuri setinggi leher
lantana dan bunga bulan
wera tumpang wera lancar
bunga soka

Daerah perbatasan surga itu penuh dengan berbagai jenis serangga penghasil madu untuk persediaan makanan para dewa:
bangbara tunggul,
bangbara kumbang,
engang,
tiwuan,
siröpön, dan
töwöl.

Di surga pun ada tangga pada tiap ujung jalan seperti tangga yang terpasang pada pintu pagar yang mengelilingi dusun, hanya bahannya berbeda. Surga berlapis-lapis menurut derajat penghuninya.
SewakaDarma  menyebutkan kedudukan mata angin dan bahan baku bangunan kahiyangan nya menurut warna masing-masing:
Di atas kahiyangan kelima (Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa) terletak kahiyangan;
Sari Dewata dengan
Ni Dang Larang Nuwati
sebagai penghuninya, yang saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun ikrarnya sebenarnya terdorong oleh kesedihan karena cintanya tidak berbalas sehingga karenanya dia tidak dapat menempati surga tertinggi.

/58/ ... liwat saundak döi ti iña
datang ka sari dewata
gösan wirumananggay
döngöng pwa langkawang tidar
pwa sêkar dewata
döng bagalna
ni dang larang nuwati
katyagian papa hêdapna cawene
möyötan maneh mo lakian
na hêntö dyasangrahakön
hantö dipikatrêsna
diña kasorgaanana

/58/ ... Lewat setingkat lagi dari situ
tiba ke Sari Dewata
tempat Wirumananggay
dan Pwah Langkawang Tidar
Pwah Sekar Dewata
dan tunangannya
Ni Dang Larang Nuwati
yang ingkar derita karena tekad perawan
berikrar tidak akan bersuami
karena bertepuk sebelah tangan
tidak dicintai
dalam kebahagiaannya

Setingkat di atas kahiyangan Nuwati, terletak kahiyangan Bungawari, di situlah tempat tinggal;
Pwah Sanghiyang Sri (dewi padi),
Pwah Naga Nagini (dewi bumi), dan
Pwah Soma Adi (dewa bulan)
yang menghuni jungjunan bwana ‘puncak dunia’.
Di situlah batas kehidupan surgawi. Sang Atma ‘Jiwa’ yang telah lepas dan kungkungannya singgah di setiap tingkat surga. Namun jiwa yang mantap karena gemblengan ajaran Sewa ka darma tidak akan berlama-lama di situ. Ia akan terus naik mencari lapisan yang layak bagi “dirinya”.

Dari Bungawari masih ada tangga emas untuk naik ke lapisan lebih tinggi. Untuk masuk ke situ tidak akan ada ajakan atau undangan. Jiwa yang sempurna menjalankan Sewa-ka-darma akan mampu memasukinya. Ia akan tiba di bumi kancana ‘dunia emas’; di situlah terletak jatiniskala ‘kegaiban yang sejati’. Keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Jiwa telah sampai ke ujung perjalanan karena di situlah terletak keabadian. Ia telah lepas dan melampaui para dewa dan para hyang. Itulah kebahagiaan sejati digambarkan sebagai:

/64/ ... suka tanpa balik duka
warêg tanpa balik lapar
hurip tanpa balik pati
sorga tanpa balik papa
hayu tanpa balik hala
nohan tanpa balik wogan
moksa löpas tanpa balik wulan

/64/ ... Suka tanpa mengenal duka
kenyang tanpa mengenal lapar
hidup tanpa mengenal mati
bahagia tanpa mengenal nestapa
baik tanpa mengenal buruk
pasti tanpa mengenal kebetulan
moksa lepas tanpa mengenal ulangan hidup

Moksa atau ngHYANG memiliki arti ‘tertiup habis’.
Maksudnya, telah padam segala hasrat dan nafsu.
Jiwa dalam keadaan bebas.
Rucita karma dalam Sewakadarma menggambarkan Jiwa yang mencapai moksa itu berada dalam suasana dunia yang:

/65/ ... twatwag kajatiniskala
luput ti para dewata
löpas ti sang hyang
tan hana kara
lêñêp añara cintya
kena rampes tanpa denge
kena suwung tanpa wastu
ka nu lêngis tanpa kahanan
döng alitan dan lembut
(...) (...)
sarwa tunggal wisesa


/65/ ....Tiba pada kegaiban murni
lepas dari para dewata
lepas dari sanghyang
tak ada rintangan
meresap merasuk alam pikiran
sebab utuh tanpa dengar
sebab hampa tanpa wujud
kepada yang halus tanpa kurungan (wadah)
döng alitan dan lembut
(...) (...)
serba tunggal kuasa

Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan
Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan dapat diartikan ‘aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma.
Sanghyang Siksa:
bagian pertama disebut Dasakrêta sebagai kundangön urang reya ‘pegangan orang banyak’,
bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Walaupun Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan menyebutkan dirinya karêsyan, isinya tidak hanya berkenaan dengan kehidupan kaum agamawan. Bahkan lebih banyak yang berkaitan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan cukup menarik karena pada bagian akhirnya menyebutkan sang sewaka darma sebagai sumber pegangan akhlak.

Berdasarkan darma itulah Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan menampilkan pandangan yang berbeda mengenai moksa sebagaimana yang tersurat dalam Sewakadarma khas bersifat keagamaan. Perbedaan itu terdiri atas:
Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing.
bila tuntutan darma terpenuhi dengan sem-puma, tercapailah krêta ‘kesejahteraan dunia’.
keberhasilan dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus menjadi “pendeta” dulu.

Paparan kahiyangan para dewa lokapala ‘pelindung dunia’ (Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa) dalam SSKK didasarkan pada rucita ajaran Siwa--sidhanta. Paparan lokasi kahiyangan itu menurut warna dan kedudukan mata angin, dan terdapat pada bagian pertama (Dasakrêta):

/3/ ... lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima dina bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaraña: purba, daksina, pasima, utara, madya.
Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupaña;
daksina, kidul, kahanan Hyang Brahma, mirah rupaña; pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning rupaña;
/4/ utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hirêng rupaña;
madya, têngah, kahanan Hyang Siwah, aneka warna rupaña. Ña mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana ‘

Kalau terpahami semua Sanghyang Wuku Lima di bumi, tentulah akan (tampak) menyenang-kan (keadaan) semua tempat. Tempat-tempat itu disebut purwa,
daksina, pasima, utara, dan madya.
Purwa, timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya.
Daksina, selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya.
Pasima, barat, tempat Hyang Mahadewa, kuning warnanya.
/4/Utara,  utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya.
Madya, tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.
Ya sekian itulah Sanghyang Wuku Lima di bumi’.

Dalam pada itu, paparan mengenai suasana kahyangan atau kalanggêngan dalam Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan ternyata hampir tidak berbeda dengan paparan SD, dan terdapat pada bagian kedua (Darmapitutur):

/25/ ... Ña mana kitu ayöna, na janma ingêt di Sanghyang Darmawisesa, ñaho di karaseyan ning janma. Ya ta sinangguh janma rahaseya ngaranna. Lamun pati ma, eta atmana manggihkön sorga rahayu. Manggih rahina tanpa balik pêtêng, suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta sinangguh parama Iêñêp ngaranna.

Manusia yang teringat Sanghyang Darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia; itulah yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Jika meninggal, sukmanya akan menemukan kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa menderita, indah tanpa keburukan, kepastian tanpa kebetulan, gaib tanpa nyata, hilang tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa. Itulah yang disebut parama-lênyêp (kesadaran utama)’

Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahiyangan, yang dengan tegas membedakan surga (tempat dewa) dengan kahiyangan (tempat hyang). Masuk surga disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa atau luput:

/28/ …Ini kahayang janma: yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suka, ma ngaranna hayang purna, mumul köna ku sarba kasakit; yun suka ma ngaranna hayang bönghar, mumul kantunan ku drabya; yun munggah ma ngaranna hayang sorga, mumul manggihkön bwana; yun luput ma ngaranna hayang mokta, mumul kabawa ku para sorga. Ña mana sakitu kahayang janma sareyana ‘

Inilah keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, dan yun luput. Maksudnya, yun suda adalah ingin sempurna, tidak mau terkena segala macam penyakit; yun suka adalah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah adalah ingin surga, tidak mau menemui dunia, dan yun luput adalah ingin mencapai moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah semua keinginan manusia’.

Uraian itu memberikan gambaran yang terbalik dari Sewakadarma, karena dalam Sewakadarma jiwa yang moksa dikatakan menempati alam lebih tinggi daripada kahiyangan.


Jatiniskala

Jatiniskala dari kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan.

/2/ ... ujar sanghyang acikumara, ja cumiri, cakrawati, muku eta löwih lain ja eta niskala, aing alit alit aing, bihöng bihöng aing, hantö hantö aing, tan hana tan hana aing, yata sira manggih ning bumi kumirincing, disada tataböhan, di aci bumi kumirincing, kumarêncang, kumarêncog, rari ti nu rari aci kwaswaran, pêndang pênding narawangsa ...’ Kata Sanghyang Acikumara, “

Karena menjadi tanda kekuasaan, hal itu tidak akan terlalu menjadi berlebihan. Karena kaIanggêngan itu, yang mungil adalah kemungilanku, yang mungkin adalah kemungkinanku, yang tidak adalah ketidakanku, yang tiada adalah ketiadaanku. Demikianlah jika kita menemukan dunia yang gemerincing, gemerencang, kerabat muda dari yang lebih muda adalah inti dari segala yang lebih rendah. Alunan suara tarawangsa ...’ Sementana itu digambarkan bahwa dalam perjalanan menuju kalanggêngan seseorang akan bertemu dengan sejumlah pohaci dan apsari yang semuanya berada dalam “kurungan”:

/4/ ... ujar sang acilarang aduh anakku acikumara, hapu ka madyana, lamun sakitu maan talatah aing akini: lamun mumul ma mula disukah, da lurusan, lamun daek mah baana, döng hiji anak mulah salah tuduhan, aja epwagan, pitu pwah tunjung herang, pwah sri tunjung lenggang pwah sri tunjung hnah pwah sri tunjung manik, pwah sri tunjung putih, pwah sri tunjung bumi, pwah sri tunjung bwana, mangkukurungan, nam, maan aksari kalih, ngaranna aksari tunjung naba, aksari tunjung mabra, aksari tunjung syang, aksari tunjung kuning, aksari nagawali, aksari naga nagini, selan, sagini, pwah sri sarinanawati, döng pwah aksari manikmaya, aksari mayalara, aksari atasti lana, aksari madongkap, aksari nikasi, aksari mayati, aksari padingin, aksari kudya kêling, aksari tuwana, aksari janalwaka, aksari manwa hirêng, aksari madwada, aksari kunti, aksari titisari, aksari kindya manik, aksari madi pwaka, aksari pata, aksari jabun, aksari galentwar, aksari warawati, aksari rumawangi, aksari kinasihan, aksari kamwawati, aksari kêmang, aksari jatilawang, pwah bentang kukus, aksari ratnakusumah aksari hning hinis jati, aksari nwantwaña nika, aksari gêng aksari kalasan aksani kagadipi, aksari endah patala, aksari seda jati, aksari imbit jati, aksari jlijlag sabumi, aksari /5/ mlar, aksari gwada bancana, aksari sareseh sane ... ‘

Kata Sang Acilarang, “Duhai anakku Acikumara, berangkatlah kau, jika demikian dengan membawa amanatku ini: Rasa malas janganlah kausukai, karena memicikkan. Sebaliknya, kemauan haruslah kaubawa. Lagipula ada satu hal, Anakku. Janganlah kau sampai salah arah, janganlah menyeleweng. Ada tujuh pohaci, yaitu;
  1. Pwah Sri Tunjungherang,
  2. Pwah Sri Tunjunglenggang,
  3. Pwah Sri Tunjunghnah,
  4. Pwah Sri Tunjungmanik,
  5. Pwah Sri Tunjungputih,
  6. Pwah Sri Tunjungbumi, dan
  7. Pwah Sri Tunjungbuwana.

Semuanya berada dalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari yaitu;
  • Aksari Tunjungmaba,
  • Tunjungmabra,
  • Tunjungsiang,
  • Tunjungkuning,
  • Nagawali, dan
  • Naganagini.

Kemudian, agak terselang, Pwah Sri Sarinyanawati.

Di samping itu, ada;
  • Pwah Aksari Manikmaya,
  • Mayalara,
  • Atastilana;
  • apsari yang tiba, yaitu Aksari Nikasi,
  • Mayati,
  • Padingin,
  • Kuduakeling,
  • Mayutumawa,
  • Janaloka,
  • Manwahirêng,
  • Madwada,
  • Kunti,
  • Titisani,
  • Kindyamanik,
  • Kanyawati,
  • Kemang, dan
  • Jatilawang.
  • Kemudian ada lagi yang disebut;
  • pwah bintang kukus, yaitu Aksari Ratnakusumah,
  • Hening Hinisjati,
  • Nawang-tonya,
  • Gen,
  • Kalasan,
  • Kagadipi,
  • Rndahpatala,
  • Sedajati, dan
  • Imbitjati.


Kemudian ada lagi para apsari yang tugasnya berkelana di dunia, apsari yang mengembang, apsari yang suka menggoda dan mendatangkan bencana, dan apsari yang ramah ...’

Agar dapat memasuki kalanggêngan dan kembali, maka:

/7/ ... ñawana pêt mêcat sanghyang aci nistmên tina raga alit. Na raga ditunggwan ku bayu dewata hdap dewata sabda dewata. sakitu mana dipajarkön anggös cunduk puhun datang ka tangkal, katutuning bisa, katutuning durêg tan sida ka jati nistmên ya sida tan hana paran sida mwaksah tan patuduhan sira ta manggih tan parupa, tan pareka, tan pakatangan sanga tan bayu tan sabda tan hdap tan tutur tan swarga tan mwaksah tan lêpas tan hyang tan dewata tan warna tan darma ... ‘

Maka nyawa Sanghyang Acinistmên (=inti dari segala kebenaran) itu pun meninggalkan tubuh halusnya. Tubuhnya ditunggui oleh daya ketuhanan, oleh ujaran ketuhanan, oleh tekad ketuhanan. Demikian itulah yang dianggap sudah sampai ke pangkal, sampai ke batang.
Terkena racun, terkena dureg tidak mempan terhadap kesejatian yang sebenarnya.
Jadilah tiada tujuan untuk mencapai kelepasan tanpa petunjuk.
Ia pun bertemu (dengan sesuatu yang) tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa cerita yang sesungguhnya. Tanpa daya, tanpa ujaran, tanpa tekad, tanpa kisah, tanpa kebahagiaan, tanpa kelepasan, tanpa hyang, tanpa dewata, tanpa warna, dan juga tanpa darma ...‘


Kawih Paningkês
Kawih Paningkês atau Kawih Panikis; halaman terakhir yang ditulisi dengan kalimat (...) drêbya larang nusödahan mo-
langsung dengan kalimat, ..........luhur tan hana rahina wêngi,
nama pohaci dan istilah yang dikenal dalam kebudayaan “asli” Sunda: wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun .

Dalam KP terdapat gambaran bahwa pada waktu naskah dituliskan, ajaran pribumi rupanya “mengatasi” ajaran baik Hindu maupun Buda:

/19/ ... baruk da sang wiku lamun muja ka dêwata löngit kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkön katinöng sarwa dingan trisna trisna bala swarangan...

‘...Katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata, hilanglah kewikuan-nya. Jika pendeta bersamadi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri’

Kawih Paningkês ada peringatan yang menyatakan;

/22/ ... kitu urang janma ini ulah dek ingkah ti janma lamuntimu na janma mulah eta di- /23/ mana eta kana kilang mantuturkön jati swarangan nuturkön jalan nu bênêr hantö jalan dwa tilu nu trisna jalan sahiji tö aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas masana patêmönang hingan... ‘

Maka kita (sebagai) manusia janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah ditemukan manusia janganlah hal itu dijadikan alasan untuk me-nurutkan kesejatian sendiri. Mengikuti jalan yang benar, bukan dua atau tiga jalan ke-rinduan. Jalan yang tunggal, tidak ada belokan ke kiri ke kanan karena datar (lurus) menuju batang pohon bekas tempat yang tidak terbatas’ (kys:l7; 34-35)


Carita Parahyangan

Carita Parahyangan.
/14/ ... haywa dek nurutan agama aing, kena aing mrêtakutna urang reya ... ‘...

Janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak’ (Poerbatjaraka 1958:259).

Nampaknya sejak itu kedua agama tersebut bersama-sama berkembang, dan saling lengkapi serta saling isi bagian-bagian yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan. Dalam pada itu, pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ada embaran mengenai pedoman hidup

/19/ ... tan krêta ja lakibi dina urang reya, ja Ioba di sanghiyang siksa‘

Tidak merasa aman yang berkeluarga di lingkungan khalayak karena mereka yang melanggar Sanghyang Siksa’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar