Sabtu, 29 April 2017

Sejarah Kerajaan Pajajaran


Sejarah Kerajaan Pajajaran

SEJARAH DAN SILSILAH 

KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA.



SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN

Nama-nama Raja Pajajaran:

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513)
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5.Raga Mulya (1551 – 1579)

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).

Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura), memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang.

Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon.

Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran.

Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh uanya, Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon.

Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).

Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal).

2. Surawisesa (1513 – 1535)

Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.

Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela, wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka.

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:

“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.

Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai berikut (artinya saja):

"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)

“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
 (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543 – 1551)

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”.

Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.

5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)

Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan:

“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.

Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran.Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).

Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten.

6. Raga Mulya (1567 – 1579)

Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.

Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):

“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.

Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :

“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .

(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.

Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan diboyongnya Palangka tersebut, maka resmilah Sultan Maulana Yusuf menjadi penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah”, karena beliau juga adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

KESULTANAN BANTEN DAN SUNDA NUSANTARA

Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Kesultanan Banten merupakan pewaris ”sah” dari Kerajaan Sunda Nusantara, penerus dari Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara, yang wilayah kekuasaannya mendunia. 

Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten

1.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI (SUNAN GUNUNG JATI/JATI PURBA) (1513-1552). Beliau adalah raja kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah CUCU SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI, dari putrinya, NYAI RATU RARA SANTANG, setelah menikah dengan RAJA MESIR SYARIEF ABDULAH AL-MISRI (Keturunan RASULULLAH SAW ke-22). MENIKAH DENGAN KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN (PUTERI TERTUA MAHARAJA KESULTANAN DEMAK, SULTAN FATAH/ PUTERA TERTUA dari RAJA MAJAPAHIT, PRABU BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.

2.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/ MAULANA SABA KIN-KING (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban(Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).

3.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.

4.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI (1580-1596) -

5.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI (1596-1640)

6.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/ KYAI AGENG TIRTAYASA (1640-1651)

7.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/ SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan  menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional

8.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI (1675-1687)

9.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABU FADHL MOEHAMMAD YAHYA (1687 – 1690)

10.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI (1690-1733).

11.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL MISRI (1733-1747)

12.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NASAR MOEHAMMAD ZAINUL ASIKIN AL MISRI (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb., maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo

13.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALI’OEDDIN AL MISRI (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.

14.  SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
 
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Kerajaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah seteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluarha bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.
 
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan  tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
 
Ribuan ton emas dijarah sejak saat itu, yg digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.

Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.

15.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABDULAH AL MISRI.  Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.

16.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI.

17.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI.

18.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI. WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989.

19.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA  KANJENG GUSTI PANGERAN  HADIPATI HARYA RACHMATULLAH HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II/  HIS IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA  BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN EMPEROR SULTAN AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR  MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.

PENUTUP

Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.

Keberadaan Al Misri II di jaman Order Baru sangat di takuti keberadaannya. Kerena itu tidak heran jika beberapa anggota keluarga Al Misri II pernah mendekap di sel karena di curigai akan berbuat makar. Namun keberadaan mereka diakui dunia Internasional, maka penahanannya tidak lebih dari 2 hari. Di tempat yang sama Al Misri II melalui sekretaris pribadinya, menunjukkan CD (Corps Diplomatics). Dengan kartu CD yang isinya Simbol, bendera, keterangan, cap kerajaan, dan tanda tangan kaisar dapat dengan mudah dalam urusannya ke luar negeri. Karenanya, kata beliau, CD telah diuji kebenarannya saat dirinya membuat paspor Ke Brunei Darussalam. Diakuinya, hanya dalam waktu 3 jam semuanya telah selesai. Hal itu tak lain dari pengakuan hukum-hukum internasional yang mengakui keberadaan kekaisaran Sunda Nusantara.

Kesejahteraan seluruh bangsa rakyat Sunda Nusantara didaratan Sunda Nusantara-Sunda Melayu sampai saat ini di simpan di 93 Negara dalam bentuk assat-asset :

• Collaterals in federal reserve certificate of the united states America

• Bound Guarantee Redland Merchant Bank of Switzerland

• Obligation certificate of deposit credit Swiss Bank International

• Certificate of Swiss Bank Corporation

• Obligation treasure Bound National Bank of England Bank de Netherlands City Bank New Yorkand United Overseas Bank Singapore


Selain itu asset-asset ini juga berbentuk logam mulia, platinum, dan benda-benda berharga lainnya yang dikumpulkan oleh Raja-raja di seluruh Sunda Nusantara di daratan Sunda Melayu Nusantara Bangsa Sunda Nusantara di daratan Sunda Nusatara di kepulauan Sunda Besar-Sunda Kecil, Di samping itu masih tersimpan uang sebesar 4000 triliun poundsterling yang tersimpan di Negara Inggris. Dapat dibayangkan betapa besarnya asset-asset bangsa Sunda Nusantara yang hingga saat ini masih tersimpan dan tersebar di luar negeri yang di sebut the making of a super power danSunda Nusantara Dollar Trilion, milik pemerintah Negara Kerajaan Bangsa Sunda Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar