"ngaHYANG"
Sewakadarma.
Disusun
seorang pertapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni
Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang.
Sewakadarma
ajaran pribumi atau “agama pribumi”, ‘pengabdian atau kebaktian
terhadap darma’.
Tahta
kahiyangan, bertaut dengan kalöpasan ‘kelepasan, moksa’ yang menekankan;
penggunaan
bayu ‘tenaga’,
sabda
‘ucapan’, dan
hêdap
‘tekad’
Sesuai
tuntutan dan petunjuk darma ke dalam dua bagian.
Pertama
ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai
gerbang peralihan ke dunia gaib. Melukiskan
peristiwa maut secara indah dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang
kelepasan” bagi jiwa.
Kedua
melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjara”nya yang berupa jasad
dan kehidupan duniawi.
Buyut
Ni Dawit melukiskan tempat yang dilalui jiwa dalam perjalanannya menuju gerbang
surga menunjukkan bahwa ia sangat akrab dengan suasana pegunungan yang mungkin
menjadi tempat tinggalnya selama hidup bertapa.
Tumbuhan,
satwa, bukit, lembah, jembatan, pancuran, dataran tinggi adalah suasana
pegunungan dikhayalkannya menjadi suasana daerah pinggiran surga:
/35/
tuluy ñorang bönang ñayu
tajur
pinang
kumara
sinar hanjuang
sasipat
mata handölöm
salaput
böhöng tatali kayu waduri
manara
döng kêmbang bulan
wera
tumpang wera lancar
kêmbang
soka
/35/
Lalu menempuh tempat yang diperindah
pohon
pinang
kemilau
sinar hanjuang
handölöm
segaris mata
widuri
setinggi leher
lantana
dan bunga bulan
wera
tumpang wera lancar
bunga
soka
Daerah
perbatasan surga itu penuh dengan berbagai jenis serangga penghasil madu untuk
persediaan makanan para dewa:
bangbara
tunggul,
bangbara
kumbang,
engang,
tiwuan,
siröpön,
dan
töwöl.
Di
surga pun ada tangga pada tiap ujung jalan seperti tangga yang terpasang pada
pintu pagar yang mengelilingi dusun, hanya bahannya berbeda. Surga
berlapis-lapis menurut derajat penghuninya.
SewakaDarma
menyebutkan kedudukan mata angin dan
bahan baku bangunan kahiyangan nya menurut warna masing-masing:
Di
atas kahiyangan kelima (Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa) terletak
kahiyangan;
Sari
Dewata dengan
Ni
Dang Larang Nuwati
sebagai
penghuninya, yang saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk
mengabdikan diri kepada agama. Namun ikrarnya sebenarnya terdorong oleh kesedihan
karena cintanya tidak berbalas sehingga karenanya dia tidak dapat menempati
surga tertinggi.
/58/
... liwat saundak döi ti iña
datang
ka sari dewata
gösan
wirumananggay
döngöng
pwa langkawang tidar
pwa
sêkar dewata
döng
bagalna
ni
dang larang nuwati
katyagian
papa hêdapna cawene
möyötan
maneh mo lakian
na
hêntö dyasangrahakön
hantö
dipikatrêsna
diña
kasorgaanana
/58/
... Lewat setingkat lagi dari situ
tiba
ke Sari Dewata
tempat
Wirumananggay
dan
Pwah Langkawang Tidar
Pwah
Sekar Dewata
dan
tunangannya
Ni
Dang Larang Nuwati
yang
ingkar derita karena tekad perawan
berikrar
tidak akan bersuami
karena
bertepuk sebelah tangan
tidak
dicintai
dalam
kebahagiaannya
Setingkat
di atas kahiyangan Nuwati, terletak kahiyangan Bungawari, di situlah tempat
tinggal;
Pwah
Sanghiyang Sri (dewi padi),
Pwah
Naga Nagini (dewi bumi), dan
Pwah
Soma Adi (dewa bulan)
yang
menghuni jungjunan bwana ‘puncak dunia’.
Di
situlah batas kehidupan surgawi. Sang Atma ‘Jiwa’ yang telah lepas dan
kungkungannya singgah di setiap tingkat surga. Namun jiwa yang mantap karena
gemblengan ajaran Sewa ka darma tidak akan berlama-lama di situ. Ia akan terus
naik mencari lapisan yang layak bagi “dirinya”.
Dari
Bungawari masih ada tangga emas untuk naik ke lapisan lebih tinggi. Untuk masuk
ke situ tidak akan ada ajakan atau undangan. Jiwa yang sempurna menjalankan Sewa-ka-darma akan mampu
memasukinya. Ia akan tiba di bumi kancana ‘dunia emas’; di situlah terletak
jatiniskala ‘kegaiban yang sejati’. Keadaan serba cerah dalam keheningan yang
mutlak. Jiwa telah sampai ke ujung perjalanan karena di situlah terletak
keabadian. Ia telah lepas dan melampaui para dewa dan para hyang. Itulah kebahagiaan
sejati digambarkan sebagai:
/64/
... suka tanpa balik duka
warêg
tanpa balik lapar
hurip
tanpa balik pati
sorga
tanpa balik papa
hayu
tanpa balik hala
nohan
tanpa balik wogan
moksa
löpas tanpa balik wulan
/64/
... Suka tanpa mengenal duka
kenyang
tanpa mengenal lapar
hidup
tanpa mengenal mati
bahagia
tanpa mengenal nestapa
baik
tanpa mengenal buruk
pasti
tanpa mengenal kebetulan
moksa
lepas tanpa mengenal ulangan hidup
Moksa
atau ngHYANG memiliki arti ‘tertiup habis’.
Maksudnya,
telah padam segala hasrat dan nafsu.
Jiwa
dalam keadaan bebas.
Rucita
karma dalam Sewakadarma menggambarkan Jiwa yang mencapai moksa itu berada dalam
suasana dunia yang:
/65/
... twatwag kajatiniskala
luput
ti para dewata
löpas
ti sang hyang
tan
hana kara
lêñêp
añara cintya
kena
rampes tanpa denge
kena
suwung tanpa wastu
ka
nu lêngis tanpa kahanan
döng
alitan dan lembut
(...)
(...)
sarwa
tunggal wisesa
/65/
....Tiba pada kegaiban murni
lepas
dari para dewata
lepas
dari sanghyang
tak
ada rintangan
meresap
merasuk alam pikiran
sebab
utuh tanpa dengar
sebab
hampa tanpa wujud
kepada
yang halus tanpa kurungan (wadah)
döng
alitan dan lembut
(...)
(...)
serba
tunggal kuasa
Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan
Sanghyang
Siksa: Kanda ng Karêsyan dapat
diartikan ‘aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma.
Sanghyang
Siksa:
bagian
pertama disebut Dasakrêta sebagai kundangön urang reya ‘pegangan orang banyak’,
bagian
kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan
yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia.
Uraian itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara. Walaupun Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan
menyebutkan dirinya karêsyan, isinya tidak hanya berkenaan dengan kehidupan
kaum agamawan. Bahkan lebih banyak yang berkaitan dengan kearifan dan
kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan
cukup menarik karena pada bagian akhirnya menyebutkan sang sewaka darma sebagai
sumber pegangan akhlak.
Berdasarkan
darma itulah Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan menampilkan pandangan yang
berbeda mengenai moksa sebagaimana yang tersurat dalam Sewakadarma khas bersifat
keagamaan. Perbedaan itu terdiri atas:
Sanghyang
Siksa: Kanda ng Karêsyan membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia
dengan memahami darmanya masing-masing.
bila
tuntutan darma terpenuhi dengan sem-puma, tercapailah krêta ‘kesejahteraan
dunia’.
keberhasilan
dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus
menjadi “pendeta” dulu.
Paparan
kahiyangan para dewa lokapala ‘pelindung dunia’ (Isora, Wisnu, Mahadewa,
Brahma, Siwa) dalam SSKK didasarkan pada rucita ajaran Siwa--sidhanta. Paparan
lokasi kahiyangan itu menurut warna dan kedudukan mata angin, dan terdapat pada
bagian pertama (Dasakrêta):
/3/ ... lamun pahi kaopeksa sanghyang
wuku lima dina bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaraña: purba,
daksina, pasima, utara, madya.
Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih
rupaña;
daksina, kidul, kahanan Hyang Brahma,
mirah rupaña; pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning rupaña;
/4/ utara, lor, kahanan Hyang Wisnu,
hirêng rupaña;
madya, têngah, kahanan Hyang Siwah, aneka
warna rupaña. Ña mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana ‘
Kalau
terpahami semua Sanghyang Wuku Lima di bumi, tentulah akan (tampak)
menyenang-kan (keadaan) semua tempat. Tempat-tempat itu disebut purwa,
daksina,
pasima, utara, dan madya.
Purwa,
timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya.
Daksina,
selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya.
Pasima,
barat, tempat Hyang Mahadewa, kuning warnanya.
/4/Utara,
utara, tempat Hyang Wisnu, hitam
warnanya.
Madya,
tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.
Ya
sekian itulah Sanghyang Wuku Lima di bumi’.
Dalam
pada itu, paparan mengenai suasana kahyangan atau kalanggêngan dalam Sanghyang
Siksa: Kanda ng Karêsyan ternyata hampir tidak berbeda dengan paparan SD, dan
terdapat pada bagian kedua (Darmapitutur):
/25/ ... Ña mana kitu ayöna, na janma
ingêt di Sanghyang Darmawisesa, ñaho di karaseyan ning janma. Ya ta sinangguh
janma rahaseya ngaranna. Lamun pati ma, eta atmana manggihkön sorga rahayu.
Manggih rahina tanpa balik pêtêng, suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik
papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan,
mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta
sinangguh parama Iêñêp ngaranna.
Manusia
yang teringat Sanghyang Darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia; itulah
yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Jika meninggal, sukmanya akan
menemukan kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa
duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa menderita, indah tanpa keburukan,
kepastian tanpa kebetulan, gaib tanpa nyata, hilang tanpa wujud, menjadi hyang
tanpa kembali menjadi dewa. Itulah yang disebut parama-lênyêp (kesadaran
utama)’
Sanghyang
Siksa: Kanda ng Karêsyan menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang
berhasil memasuki kahiyangan, yang dengan tegas membedakan surga (tempat dewa)
dengan kahiyangan (tempat hyang). Masuk surga disebut munggah, sedangkan masuk
kahiyangan disebut moksa atau luput:
/28/ …Ini kahayang janma: yun suda, yun
suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suka, ma ngaranna hayang
purna, mumul köna ku sarba kasakit; yun suka ma ngaranna hayang bönghar, mumul
kantunan ku drabya; yun munggah ma ngaranna hayang sorga, mumul manggihkön
bwana; yun luput ma ngaranna hayang mokta, mumul kabawa ku para sorga. Ña mana
sakitu kahayang janma sareyana ‘
Inilah
keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, dan yun luput. Maksudnya,
yun suda adalah ingin sempurna, tidak mau terkena segala macam penyakit; yun
suka adalah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah
adalah ingin surga, tidak mau menemui dunia, dan yun luput adalah ingin
mencapai moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah semua
keinginan manusia’.
Uraian
itu memberikan gambaran yang terbalik dari Sewakadarma, karena dalam
Sewakadarma jiwa yang moksa dikatakan menempati alam lebih tinggi daripada
kahiyangan.
Jatiniskala
Jatiniskala
dari kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan.
/2/ ... ujar sanghyang acikumara, ja cumiri,
cakrawati, muku eta löwih lain ja eta niskala, aing alit alit aing, bihöng
bihöng aing, hantö hantö aing, tan hana tan hana aing, yata sira manggih ning
bumi kumirincing, disada tataböhan, di aci bumi kumirincing, kumarêncang,
kumarêncog, rari ti nu rari aci kwaswaran, pêndang pênding narawangsa ...’ Kata
Sanghyang Acikumara, “
Karena
menjadi tanda kekuasaan, hal itu tidak akan terlalu menjadi berlebihan. Karena
kaIanggêngan itu, yang mungil adalah kemungilanku, yang mungkin adalah
kemungkinanku, yang tidak adalah ketidakanku, yang tiada adalah ketiadaanku.
Demikianlah jika kita menemukan dunia yang gemerincing, gemerencang, kerabat
muda dari yang lebih muda adalah inti dari segala yang lebih rendah. Alunan
suara tarawangsa ...’ Sementana itu digambarkan bahwa dalam perjalanan menuju
kalanggêngan seseorang akan bertemu dengan sejumlah pohaci dan apsari yang
semuanya berada dalam “kurungan”:
/4/ ... ujar sang acilarang aduh anakku
acikumara, hapu ka madyana, lamun sakitu maan talatah aing akini: lamun mumul
ma mula disukah, da lurusan, lamun daek mah baana, döng hiji anak mulah salah
tuduhan, aja epwagan, pitu pwah tunjung herang, pwah sri tunjung lenggang pwah
sri tunjung hnah pwah sri tunjung manik, pwah sri tunjung putih, pwah sri
tunjung bumi, pwah sri tunjung bwana, mangkukurungan, nam, maan aksari kalih,
ngaranna aksari tunjung naba, aksari tunjung mabra, aksari tunjung syang,
aksari tunjung kuning, aksari nagawali, aksari naga nagini, selan, sagini, pwah
sri sarinanawati, döng pwah aksari manikmaya, aksari mayalara, aksari atasti
lana, aksari madongkap, aksari nikasi, aksari mayati, aksari padingin, aksari
kudya kêling, aksari tuwana, aksari janalwaka, aksari manwa hirêng, aksari
madwada, aksari kunti, aksari titisari, aksari kindya manik, aksari madi pwaka,
aksari pata, aksari jabun, aksari galentwar, aksari warawati, aksari rumawangi,
aksari kinasihan, aksari kamwawati, aksari kêmang, aksari jatilawang, pwah
bentang kukus, aksari ratnakusumah aksari hning hinis jati, aksari nwantwaña
nika, aksari gêng aksari kalasan aksani kagadipi, aksari endah patala, aksari
seda jati, aksari imbit jati, aksari jlijlag sabumi, aksari /5/ mlar, aksari
gwada bancana, aksari sareseh sane ... ‘
Kata
Sang Acilarang, “Duhai anakku Acikumara, berangkatlah kau, jika demikian dengan
membawa amanatku ini: Rasa malas janganlah kausukai, karena memicikkan.
Sebaliknya, kemauan haruslah kaubawa. Lagipula ada satu hal, Anakku. Janganlah
kau sampai salah arah, janganlah menyeleweng. Ada tujuh pohaci, yaitu;
- Pwah Sri Tunjungherang,
- Pwah Sri Tunjunglenggang,
- Pwah Sri Tunjunghnah,
- Pwah Sri Tunjungmanik,
- Pwah Sri Tunjungputih,
- Pwah Sri Tunjungbumi, dan
- Pwah Sri Tunjungbuwana.
Semuanya
berada dalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari yaitu;
- Aksari Tunjungmaba,
- Tunjungmabra,
- Tunjungsiang,
- Tunjungkuning,
- Nagawali, dan
- Naganagini.
Kemudian,
agak terselang, Pwah Sri Sarinyanawati.
Di
samping itu, ada;
- Pwah Aksari Manikmaya,
- Mayalara,
- Atastilana;
- apsari yang tiba, yaitu Aksari Nikasi,
- Mayati,
- Padingin,
- Kuduakeling,
- Mayutumawa,
- Janaloka,
- Manwahirêng,
- Madwada,
- Kunti,
- Titisani,
- Kindyamanik,
- Kanyawati,
- Kemang, dan
- Jatilawang.
- Kemudian ada lagi yang disebut;
- pwah bintang kukus, yaitu Aksari Ratnakusumah,
- Hening Hinisjati,
- Nawang-tonya,
- Gen,
- Kalasan,
- Kagadipi,
- Rndahpatala,
- Sedajati, dan
- Imbitjati.
Kemudian
ada lagi para apsari yang tugasnya berkelana di dunia, apsari yang mengembang,
apsari yang suka menggoda dan mendatangkan bencana, dan apsari yang ramah ...’
Agar
dapat memasuki kalanggêngan dan kembali, maka:
/7/ ... ñawana pêt mêcat sanghyang aci
nistmên tina raga alit. Na raga ditunggwan ku bayu dewata hdap dewata sabda
dewata. sakitu mana dipajarkön anggös cunduk puhun datang ka tangkal,
katutuning bisa, katutuning durêg tan sida ka jati nistmên ya sida tan hana
paran sida mwaksah tan patuduhan sira ta manggih tan parupa, tan pareka, tan
pakatangan sanga tan bayu tan sabda tan hdap tan tutur tan swarga tan mwaksah
tan lêpas tan hyang tan dewata tan warna tan darma ... ‘
Maka
nyawa Sanghyang Acinistmên (=inti dari segala kebenaran) itu pun meninggalkan
tubuh halusnya. Tubuhnya ditunggui oleh daya ketuhanan, oleh ujaran ketuhanan,
oleh tekad ketuhanan. Demikian itulah yang dianggap sudah sampai ke pangkal,
sampai ke batang.
Terkena
racun, terkena dureg tidak mempan terhadap kesejatian yang sebenarnya.
Jadilah
tiada tujuan untuk mencapai kelepasan tanpa petunjuk.
Ia
pun bertemu (dengan sesuatu yang) tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa cerita yang
sesungguhnya. Tanpa daya, tanpa ujaran, tanpa tekad, tanpa kisah, tanpa
kebahagiaan, tanpa kelepasan, tanpa hyang, tanpa dewata, tanpa warna, dan juga
tanpa darma ...‘
Kawih
Paningkês
Kawih
Paningkês atau Kawih Panikis; halaman terakhir yang ditulisi dengan kalimat (...) drêbya larang nusödahan mo-
langsung
dengan kalimat, ..........luhur tan hana rahina wêngi,
nama
pohaci dan istilah yang dikenal dalam kebudayaan “asli” Sunda: wirumananggay,
kahyangan, sanghyang, dan puhun .
Dalam
KP terdapat gambaran bahwa pada waktu naskah dituliskan, ajaran pribumi rupanya
“mengatasi” ajaran baik Hindu maupun Buda:
/19/ ... baruk da sang wiku lamun muja ka
dêwata löngit kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na
kapanditaan ja kassarkön katinöng sarwa dingan trisna trisna bala swarangan...
‘...Katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata,
hilanglah kewikuan-nya. Jika pendeta bersamadi (memuja) dewata, hilanglah
kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya)
sendiri’
Kawih
Paningkês ada peringatan yang menyatakan;
/22/ ... kitu urang janma ini ulah dek
ingkah ti janma lamuntimu na janma mulah eta di- /23/ mana eta kana kilang
mantuturkön jati swarangan nuturkön jalan nu bênêr hantö jalan dwa tilu nu
trisna jalan sahiji tö aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas
masana patêmönang hingan... ‘
Maka
kita (sebagai) manusia janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah
ditemukan manusia janganlah hal itu dijadikan alasan untuk me-nurutkan
kesejatian sendiri. Mengikuti jalan yang benar, bukan dua atau tiga jalan
ke-rinduan. Jalan yang tunggal, tidak ada belokan ke kiri ke kanan karena datar
(lurus) menuju batang pohon bekas tempat yang tidak terbatas’ (kys:l7; 34-35)
Carita
Parahyangan
Carita
Parahyangan.
/14/ ... haywa dek nurutan agama aing,
kena aing mrêtakutna urang reya ... ‘...
Janganlah
mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak’ (Poerbatjaraka
1958:259).
Nampaknya
sejak itu kedua agama tersebut bersama-sama berkembang, dan saling lengkapi
serta saling isi bagian-bagian yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan. Dalam
pada itu, pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ada embaran
mengenai pedoman hidup
/19/ ... tan krêta ja lakibi dina urang
reya, ja Ioba di sanghiyang siksa‘
Tidak
merasa aman yang berkeluarga di lingkungan khalayak karena mereka yang
melanggar Sanghyang Siksa’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar