Nganjang Ka Pageto
by : Richadiana Kartakusuma
at 19:06 on 03 October 2009
Sewakadarma
Sewakadarma (SD) berbahasa
Sunda Buhun (Perpustakaan Nasional, Br. 408. SD) tentang ajaran (Sang)
Sewakadarma ‘pengabdian atau kebaktian terhadap darma’ ditulis pada helaian
daun nipah 37 lempir (74 halaman); tapi yang ditulisi 67 halaman. SD disusun
seorang pertapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni
Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Tidak mengherankan jika SkD menguraikan
mengenai gisa ‘lesung’ dengan istilah-istilah yang khas untuk perempuan,
sepenti dikasayan, dyangiran, dan dipêsekan. Juga uraian mengenai pakaian
bidadari.
SkD menampilkan “agama pribumi”
- unsur Hiyang yang bertahta di kahiyangan, bertaut dengan kalöpasan
‘kelepasan, moksa’ yang menekankan kepada penggunaan bayu ‘tenaga’, sabda
‘ucapan’, dan hêdap ‘tekad’ sesuai tuntutan dan petunjuk darma ke dalam dua bagian.
Pertama ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut
sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Melukiskan peristiwa maut secara indah
dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang kelepasan” bagi jiwa.
Kedua melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjara”nya yang berupa
jasad dan kehidupan duniawi
Cara penulis melukiskan tempat
yang dilalui jiwa dalam perjalanannya menuju gerbang surga menunjukkan bahwa ia
sangat akrab dengan suasana pegunungan yang mungkin menjadi tempat tinggalnya
selama hidup bertapa. Tumbuhan, satwa, bukit, lembah, jembatan, pancuran,
dataran tinggi adalah suasana pegunungan dikhayalkannya menjadi suasana daerah
pinggiran surga:
/35/ tuluy ñorang bönang ñayu
Lalu menempuh tempat yang
diperindah
tajur pinang
pohon pinang
kumara sinar hanjuang
kemilau sinar hanjuang
sasipat mata handölöm
handölöm segaris mata
salaput böhöng tatali kayu
waduri
widuri setinggi leher
manara döng kêmbang bulan
lantana dan bunga bulan
wera tumpang wera lancar
wera tumpang wera lancar
kêmbang soka
bunga soka
Daerah perbatasan surga itu
penuh dengan berbagai jenis serangga penghasil madu untuk persediaan makanan
para dewa: bangbara tunggul, bangbara kumbang, engang, tiwuan, siröpön, dan
töwöl. Di surga pun ada tangga pada tiap ujung jalan seperti tangga yang terpasang
pada pintu pagar yang mengelilingi dusun, hanya bahannya berbeda. Surga
berlapis-lapis menurut derajat penghuninya. SkD menyebutkan kedudukan mata
angin dan bahan baku bangunan kahiyangan nya menurut warna masing-masing:
Di atas kahiyangan kelima (Isora,
Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa) terletak kahiyangan Sari Dewata dengan Ni Dang
Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang saat hidup di dunia telah berikrar
tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun ikrarnya sebenarnya
terdorong oleh kesedihan karena cintanya tidak berbalas sehingga karenanya dia
tidak dapat menempati surga tertinggi.
/58/ ... liwat saundak döi ti
iña
Lewat setingkat lagi dari situ
datang ka sari dewata
tiba ke Sari Dewata
gösan wirumananggay
tempat Wirumananggay
döngöng pwa langkawang tidar
dan Pwah Langkawang Tidar
pwa sêkar dewata
Pwah Sekar Dewata
döng bagalna
dan tunangannya
ni dang larang nuwati
Ni Dang Larang Nuwati
katyagian papa hêdapna cawene
yang ingkar derita karena tekad
perawan
möyötan maneh mo lakian
berikrar tidak akan bersuami
na hêntö dyasangrahakön
karena bertepuk sebelah tangan
hantö dipikatrêsna
tidak dicintai
diña kasorgaanana
dalam kebahagiaannya
Setingkat di atas kahiyangan
Nuwati, terletak kahiyangan Bungawari, di situlah tempat tinggal Pwah
Sanghiyang Sri (dewi padi), Pwah Naga Nagini (dewi bumi), dan Pwah Soma Adi
(dewa bulan) yang menghuni jungjunan bwana ‘puncak dunia’.
Di situlah batas kehidupan
surgawi. Sang Atma ‘Jiwa’ yang telah lepas dan kungkungannya singgah di setiap
tingkat surga. Namun jiwa yang mantap karena gemblengan ajaran Sewa ka darma
tidak akan berlama-lama di situ. Ia akan terus naik mencari lapisan yang layak
bagi “dirinya”. Dari Bungawari masih ada tangga emas untuk naik ke lapisan
lebih tinggi. Untuk masuk ke situ tidak akan ada ajakan atau undangan. Jiwa
yang sempurna menjalankan Sewa-ka-darma akan mampu memasukinya. Ia akan tiba di
bumi kancana ‘dunia emas’; di situlah terletak jatiniskala ‘kegaiban yang
sejati’. Keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Jiwa telah sampai ke
ujung perjalanan karena di situlah terletak keabadian. Ia telah lepas dan
melampaui para dewa dan para hyang. Itulah kebahagiaan sejati digambarkan
sebagai:
/64/ ... suka tanpa balik duka
Suka tanpa mengenal duka
warêg tanpa balik lapar
kenyang tanpa mengenal lapar
hurip tanpa balik pati
hidup tanpa mengenal mati
sorga tanpa balik papa
bahagia tanpa mengenal nestapa
hayu tanpa balik hala
baik tanpa mengenal buruk
nohan tanpa balik wogan
pasti tanpa mengenal kebetulan
moksa löpas tanpa balik wulan
moksa lepas tanpa mengenal
ulangan hidup
Dalam gambaran mengenai moksa
itu kita menarik simpulan bahwa sekalipun ia berbicara tentang dewa-dewa Hindu,
berpijak pada rucita Budisma mengenai nirwana yang sebenarnya berarti ‘tertiup
habis’. Maksudnya, telah padam segala hasrat dan nafsu: Jiwa dalam keadaan
bebas. Rucita nirwana tidak memasukkan peranan tuhan ke dalamnya; hanya karma
yang menentukan. Rucita karma dalam Sewakadarma menggambarkan Jiwa yang
mencapai moksa itu berada dalam suasana dunia yang:
/65/ ... twatwag kajatiniskala
Tiba pada kegaiban murni
luput ti para dewata
lepas dari para dewata
löpas ti sang hyang
lepas dari sanghyang
tan hana kara
tak ada rintangan
lêñêp añara cintya
meresap merasuk alam pikiran
kena rampes tanpa denge
sebab utuh tanpa dengar
kena suwung tanpa wastu
sebab hampa tanpa wujud
ka nu lêngis tanpa kahanan
kepada yang halus tanpa
kurungan (wadah)
döng alitan dan lembut
(...) (...)
sarwa tunggal wisesa
serba tunggal kuasa
Sanghyang Siksa: Kanda ng
Karêsyan
Sanghyang Siksa: Kanda ng
Karêsyan (Perpustakaan Nasional Kr./Koropak 630). Naskah daun nipah itu ditulis
menggunakan (pisau) pangot, selesai ditulis dalam tahun Saka nora catur sagara
wulan (1440 S=1518 Masehi). Naskah itu terdiri atas dua bagian. Bagian pertama
disebut Dasakrêta sebagai kundangön urang reya ‘pegangan orang banyak’, bagian
kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan
yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia.
Uraian itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara. Walaupun SSKK menyebutkan dirinya karêsyan, isinya
tidak hanya berkenaan dengan kehidupan kaum agamawan. Bahkan lebih banyak yang
berkaitan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. SSKK
cukup menarik karena pada bagian akhirnya menyebutkan sang sewaka darma sebagai
sumber pegangan akhlak. Apakah tidak mungkin hal itu mengacu kepada ajaran yang
terkandung dalam naskah SD? Isi ajaran yang tersurat dalam SSKK sebagian besar
justru ditujukan kepada kelompok yang bukan resi, terutama dalam hal
pelaksanaan tugas hulun ‘rakyat’ bagi kepentingan raja.
Ditinjau dari isinya, kata
siksa kanda ng karêsyan mungkin dapat diartikan ‘aturan atau ajaran tentang
hidup arif berdasarkan darma.
Berdasarkan darma itulah SSKK
menampilkan pandangan yang berbeda mengenai moksa sebagaimana yang tersurat
dalam SkD khas bersifat keagamaan. Perbedaan itu terdiri atas: Pertama, SSKK
membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya
masing-masing. Kedua, bila tuntutan darma terpenuhi dengan sem-puma,
tercapailah krêta ‘kesejahteraan dunia’. Ketiga, keberhasilan dalam darma akan
membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus menjadi “pendeta”
dulu.
Paparan kahiyangan para dewa
lokapala ‘pelindung dunia’ (Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa) dalam SSKK
didasarkan pada rucita ajaran Siwa--sidhanta. Paparan lokasi kahiyangan itu
menurut warna dan kedudukan mata angin, dan terdapat pada bagian pertama
(Dasakrêta):
/3/ ... lamun pahi kaopeksa
sanghyang wuku lima dina bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh
ngaraña: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang
Isora, putih rupaña; daksina, kidul, kahanan Hyang Brahma, mirah rupaña;
pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning rupaña; /4/ utara, lor, kahanan
Hyang Wisnu, hirêng rupaña; madya, têngah, kahanan Hyang Siwah, aneka warna
rupaña. Ña mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana ‘
Kalau terpahami semua Sanghyang
Wuku Lima di bumi, tentulah akan (tampak) menyenang-kan (keadaan) semua tempat.
Tempat-tempat itu disebut purwa, daksina, pasima, utara, dan madya. Purwa yaitu
timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang
Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa, kuning
warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu
tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian itulah Sanghyang
Wuku Lima di bumi’. Dalam pada itu, paparan mengenai suasana kahyangan atau
kalanggêngan dalam SSKK ternyata hampir tidak berbeda dengan paparan SD, dan
terdapat pada bagian kedua (Darmapitutur):
/25/ ... Ña mana kitu ayöna, na
janma ingêt di Sanghyang Darmawisesa, ñaho di karaseyan ning janma. Ya ta
sinangguh janma rahaseya ngaranna. Lamun pati ma, eta atmana manggihkön sorga
rahayu. Manggih rahina tanpa balik pêtêng, suka tanpa balik duka, sorga tanpa
balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik
wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa.
Ya ta sinangguh parama Iêñêp ngaranna.
Manusia yang teringat Sanghyang
Darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia; itulah yang disebut manusia (yang
paham) rahasia. Jika meninggal, sukmanya akan menemukan kemuliaan dan
kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa
kenistaan, senang tanpa menderita, indah tanpa keburukan, kepastian tanpa
kebetulan, gaib tanpa nyata, hilang tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali
menjadi dewa. Itulah yang disebut parama-lênyêp (kesadaran utama)’
SSKK menyatakan bahwa moksa
adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahiyangan, yang dengan tegas
membedakan surga (tempat dewa) dengan kahiyangan (tempat hyang). Masuk surga
disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa atau luput:
/28/ …Ini kahayang janma: yun
suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suka, ma ngaranna
hayang purna, mumul köna ku sarba kasakit; yun suka ma ngaranna hayang bönghar,
mumul kantunan ku drabya; yun munggah ma ngaranna hayang sorga, mumul
manggihkön bwana; yun luput ma ngaranna hayang mokta, mumul kabawa ku para
sorga. Ña mana sakitu kahayang janma sareyana ‘
Inilah keinginan manusia: yun
suda, yun suka, yun munggah, dan yun luput. Maksudnya, yun suda adalah ingin
sempurna, tidak mau terkena segala macam penyakit; yun suka adalah ingin kaya,
tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah adalah ingin surga,
tidak mau menemui dunia, dan yun luput adalah ingin mencapai moksa, tidak mau
terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah semua keinginan manusia’.
Uraian itu memberikan gambaran
yang terbalik dari SD, karena dalam SD jiwa yang moksa dikatakan menempati alam
lebih tinggi daripada kahiyangan.
Jatiniskala
Jatiniskala (JN) - Perpustakaan
(Kr. 422.) dari kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan, diserahkan oleh Raden Saleh
kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Aca 1970:20),
mengingat tempatnya dalam peti yang sama dengan naskah-naskah Ciburuy yang lain
(peti no. 15).
JN digoreskan pada 14 lempir
daun nipah; setiap lempir ditulis pada kedua mukanya, kecuali lempir terakhir
yang hanya ditulisi satu muka, sedangkan lempir pertama rupanya ditulis lebih
kemudian karena bentuk aksaranya adalah aksara Jawa, sedangkan lempir yang lain
beraksara Sunda. Dengan demikian, dari ke-14 lempir itu naskahnya hanya terdiri
atas 25 halaman. Tulisan pada setiap lempir rata-rata empat baris, yang
keadaannya masih cukup baik dan utuh, kecuali beberapa aksara yang agak rusak.
Kalau memperhatikan bahwa kalimat terakhir naskah itu tidak diakhir dengan ciri
baca titik (.), harus dipertimbangkan adanya kemungkinan bahwa JN belum selesai
dituliskan.
Walaupun, berdasarkan keadaan
naskahnya sendiri dapat diketahui bahwa lempir terakhir itu memang hanya
bertuliskan satu muka. JN mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang
memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Bahkan, dalam JN
nama-nama pribumi itu jauh lebih banyak, dan mereka ada yang memperoleh derajat
sebagai apsari ‘makhluk kahiyangan, pendamping dewa’:
/2/ ... ujar sanghyang
acikumara, ja cumiri, cakrawati, muku eta löwih lain ja eta niskala, aing alit
alit aing, bihöng bihöng aing, hantö hantö aing, tan hana tan hana aing, yata
sira manggih ning bumi kumirincing, disada tataböhan, di aci bumi kumirincing,
kumarêncang, kumarêncog, rari ti nu rari aci kwaswaran, pêndang pênding
narawangsa ...’ Kata Sanghyang Acikumara, “
Karena menjadi tanda kekuasaan,
hal itu tidak akan terlalu menjadi berlebihan. Karena kaIanggêngan itu, yang
mungil adalah kemungilanku, yang mungkin adalah kemungkinanku, yang tidak
adalah ketidakanku, yang tiada adalah ketiadaanku. Demikianlah jika kita
menemukan dunia yang gemerincing, gemerencang, kerabat muda dari yang lebih
muda adalah inti dari segala yang lebih rendah. Alunan suara tarawangsa ...’
Sementana itu digambarkan bahwa dalam perjalanan menuju kalanggêngan seseorang
akan bertemu dengan sejumlah pohaci dan apsari yang semuanya berada dalam
“kurungan”:
/4/ ... ujar sang acilarang
aduh anakku acikumara, hapu ka madyana, lamun sakitu maan talatah aing akini:
lamun mumul ma mula disukah, da lurusan, lamun daek mah baana, döng hiji anak
mulah salah tuduhan, aja epwagan, pitu pwah tunjung herang, pwah sri tunjung
lenggang pwah sri tunjung hnah pwah sri tunjung manik, pwah sri tunjung putih,
pwah sri tunjung bumi, pwah sri tunjung bwana, mangkukurungan, nam, maan aksari
kalih, ngaranna aksari tunjung naba, aksari tunjung mabra, aksari tunjung
syang, aksari tunjung kuning, aksari nagawali, aksari naga nagini, selan,
sagini, pwah sri sarinanawati, döng pwah aksari manikmaya, aksari mayalara,
aksari atasti lana, aksari madongkap, aksari nikasi, aksari mayati, aksari
padingin, aksari kudya kêling, aksari tuwana, aksari janalwaka, aksari manwa
hirêng, aksari madwada, aksari kunti, aksari titisari, aksari kindya manik,
aksari madi pwaka, aksari pata, aksari jabun, aksari galentwar, aksari
warawati, aksari rumawangi, aksari kinasihan, aksari kamwawati, aksari kêmang,
aksari jatilawang, pwah bentang kukus, aksari ratnakusumah aksari hning hinis
jati, aksari nwantwaña nika, aksari gêng aksari kalasan aksani kagadipi, aksari
endah patala, aksari seda jati, aksari imbit jati, aksari jlijlag sabumi,
aksari /5/ mlar, aksari gwada bancana, aksari sareseh sane ... ‘
Kata Sang Acilarang, “Duhai
anakku Acikumara, berangkatlah kau, jika demikian dengan membawa amanatku ini:
Rasa malas janganlah kausukai, karena memicikkan. Sebaliknya, kemauan haruslah
kaubawa. Lagipula ada satu hal, Anakku. Janganlah kau sampai salah arah,
janganlah menyeleweng. Ada tujuh pohaci, yaitu
Pwah Sri Tunjungherang, Pwah
Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghnah, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri
Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, dan Pwah Sri Tunjungbuwana. Semuanya berada
dalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari yaitu Aksari Tunjungmaba,
Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali, dan Naganagini. Kemudian,
agak terselang, Pwah Sri Sarinyanawati.
Di samping itu, ada Pwah Aksari
Manikmaya, Mayalara, Atastilana; apsari yang tiba, yaitu Aksari Nikasi, Mayati,
Padingin, Kuduakeling, Mayutumawa, Janaloka, Manwahirêng, Madwada, Kunti,
Titisani, Kindyamanik, Kanyawati, Kemang, dan Jatilawang. Kemudian ada lagi
yang disebut pwah bintang kukus, yaitu Aksari Ratnakusumah, Hening Hinisjati,
Nawang-tonya, Gen, Kalasan, Kagadipi, Rndahpatala, Sedajati, dan Imbitjati.
Kemudian ada lagi para apsari
yang tugasnya berkelana di dunia, apsari yang mengembang, apsari yang suka
menggoda dan mendatangkan bencana, dan apsari yang ramah ...’
Agar dapat memasuki
kalanggêngan dan kembali, maka:
/7/ ... ñawana pêt mêcat
sanghyang aci nistmên tina raga alit. Na raga ditunggwan ku bayu dewata hdap
dewata sabda dewata. sakitu mana dipajarkön anggös cunduk puhun datang ka
tangkal, katutuning bisa, katutuning durêg tan sida ka jati nistmên ya sida tan
hana paran sida mwaksah tan patuduhan sira ta manggih tan parupa, tan pareka,
tan pakatangan sanga tan bayu tan sabda tan hdap tan tutur tan swarga tan
mwaksah tan lêpas tan hyang tan dewata tan warna tan darma ... ‘
Maka nyawa Sanghyang Acinistmên
(=inti dari segala kebenaran) itu pun meninggalkan tubuh halusnya. Tubuhnya
ditunggui oleh daya ketuhanan, oleh ujaran ketuhanan, oleh tekad ketuhanan.
Demikian itulah yang dianggap sudah sampai ke pangkal, sampai ke batang.
Terkena racun, terkena dureg tidak mempan terhadap kesejatian yang sebenarnya.
Jadilah tiada tujuan untuk mencapai kelepasan tanpa petunjuk. Ia pun bertemu
(dengan sesuatu yang) tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa cerita yang sesungguhnya.
Tanpa daya, tanpa ujaran, tanpa tekad, tanpa kisah, tanpa kebahagiaan, tanpa
kelepasan, tanpa hyang, tanpa dewata, tanpa warna, dan juga tanpa darma ...‘
Kawih Paningkês
Kawih Paningkês atau Kawih
Panikis (KP) Perpustakaan Nasional (Kr. 419. ) KP terdiri atas 40 lempir daun
nipah yang ditulisi kedua mukanya, kecuali lempir terakhir yang hanya ditulisi
bagian mukanya. Itu berarti bahwa KP terdiri atas 79 halaman; halaman terakhir
yang ditulisi dengan kalimat (...) drêbya larang nusödahan mo- mengesankan
bahwa sebenarnya naskah itu belum selesai ditulis. Namun, meng-ingat bahwa
penggal kalimat itu terdapat pada halaman muka lempir terakhir,
ketidakselesaian itu tidak dapat dianggap karena ada lempir-lempir tambahan
yang hilang atau belum ditemukan. Kenyataan itu justru memberikan petunjuk
bahwa nampaknya KP memang tidak terselesaikan, entah apa alasannya.
Sementara itu, jika kita
perhatikan lempir pertama KP yang langsung dengan kalimat, luhur tan hana
rahina wêngi, ada kesan bahwa seharusnya ada yang mengawali kalimat itu.
Apalagi jika diperhatikan bahwa lempir itu tidak diawali dengan ciri yang biasa
terdapat pada awal sebuah naskah, yaitu ciri baca pembuka, dugaan ini tentunya
lebih kuat. Dengan demikian, barangkali sekurang-kurangnya ada satu lempir
bagian awal naskah yang tidak ada: mungkin hilang, mungkin sudah demikian
rusaknya sehingga akhirnya juga “hilang” dari rangkaiannya.
KP nampaknya memuat embaran
mengenai ajaran agama yang memperlihatkan telah bercampurnya ajaran Hindu dan
Buda dengan ajaran pribumi. Nama-nama dewa dan istilah yang dikenal dalam
ajaran Hindu dan Buda seperti dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksah,
misalnya, ditemukan bersama-sama dengan nama pohaci dan istilah yang dikenal
dalam kebudayaan “asli” Sunda: wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun .
Dalam KP terdapat gambaran bahwa pada waktu naskah dituliskan, ajaran pribumi
rupanya “mengatasi” ajaran baik Hindu maupun Buda:
/19/ ... baruk da sang wiku
lamun muja ka dêwata löngit kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang
dewata hilang na kapanditaan ja kassarkön katinöng sarwa dingan trisna trisna
bala swarangan... ‘...Katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata,
hilanglah kewikuan-nya. Jika pendeta bersamadi (memuja) dewata, hilanglah
kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya)
sendiri’
Yang sangat menarik dalam KP
adalah peringatan menyatakan,
/22/ ... kitu urang janma ini
ulah dek ingkah ti janma lamuntimu na janma mulah eta di- /23/ mana eta kana
kilang mantuturkön jati swarangan nuturkön jalan nu bênêr hantö jalan dwa tilu
nu trisna jalan sahiji tö aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas
masana patêmönang hingan... ‘
Maka kita (sebagai) manusia
janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah ditemukan manusia janganlah
hal itu dijadikan alasan untuk me-nurutkan kesejatian sendiri. Mengikuti jalan
yang benar, bukan dua atau tiga jalan ke-rinduan. Jalan yang tunggal, tidak ada
belokan ke kiri ke kanan karena datar (lurus) menuju batang pohon bekas tempat
yang tidak terbatas’ (kys:l7; 34-35)
Sêrat Dewabuda atau Sewakadarma
Jawa Kuna
Sêrat Dewabuda (SDB) atau
Sewakadarma, koleksi Perpustakaan Nasional (milik Brandes, Br. 638). Dalam
koleksi naskah Perpustakaan Nasional dan berbagai tempat penyimpanan yang lain
dapat diketahui bahwa cukup banyak naskah yang bernama Sêrat Sewakadarma yang
umumnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Katalogus naskah berbahasa Jawa yang
kini merupakan khazanah bagian naskah lembaga di Belanda dan Eropa umumnya,
disusun oleh Pigeaud (1960—2), misalnya, memberikan gambaran kepada kita
bagaimana banyaknya naskah berbahasa Jawa dengan nama Sewakadarma itu.
Sewakadarma tidak terlalu
banyak ditemukan hanya ada tiga buah, yaitu Sewakadarma (Br. 408), Sêrat
Sewakadarma (Br. 637), dan Sêrat Dewabuda (Br. 638). SDB yang berbahasa Jawa
Kuna itu dituliskan pada daun nipah, terdiri atas 129 lempir, sedangkan
halaman-nya berjumlah 255 karena lempir pertama hanya ditulisi satu muka,
sedangkan lempir terakhir kosong dan lempir sebelum akhir ditulisi satu muka.
Dari kolofon-nya yang terdapat pada lempir 129-30, diperoleh embaran mengenai
waktu dan tempat penulisannya.
Berdasarkan kolofon itu dapat
diketahui bahwa SDB ditulis selama dua bulan, dimulai pada hari Selasa Kliwon
bulan ketujuh, dan selesai pada hari pasaran Pon bulan kesembilan tarikh Saka.
Walau tidak menyebutkan harinya embaran yang menyebutkan bahwa waktu
itu“menjelang purnama terbenam” dapat dijadikan ancar-ancar untuk
memperhitungkan bahwa naskah itu selesai ditulis sekitar tanggal 15 bulan
kesembilan itu. Menurut perhitungan tarikh Masehi, masa itu jatuh antara
bulan-bulan Januari-Pebruari (kapitu) dan Maret-April (kasanga). Tahun
penulisannya disebutkan tahun Saka 1357, bersesuaian dengan tahun Masehi 1435.
SDB ditulis di sebuah lembah bernama Argasela, terletak di tepi sungai Mulutu,
di antara dua gunung (Cupu dan Rantay) dan sebuah bukit (Talagacandana).
SDB termasuk yang mengandung
ajaran bagaimana pandangan, sikap, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat, serta ajaran agama yang dianut sekurang-kurangnya oleh
lingkungan yang menghasilkannya. Dari namanya diduga lingkungan yang
menghasilkan naskah itu dalam kehidupan sehari-harinya telah mencampurkan
ajaran-ajaran yang bersifat Hindu dengan yang bersifat Buda. Di samping
menyebutkan nama-nama dewa Hindu, SDB juga menyebut hal-hal yang khas ajaran
Buda . Dalam kaitannya dengan moksa ‘kelepasan’, SDB mencatatkan,
/55/ ... dlaha ilkaning mati
ata yan kapangguhênta ikeng kamoksan. an-panglinari sunyataya. Misra butasêt
myawayawa. Irikang aparamarta. ya ta sinangguh aparamarta ngaraña. ya moksa
lpas lingña. ikan sunyataya kinawruhan pwaya apan katon pweking aparamarta apa
ta menak nikan sêngguhênta moksa lawan kamoksan apan katon pwa ikan alilang
ahning nirawarana langgêng nira sraya kasparsa ikang aparamarta iken bayu
langgêng ndya ta matangyan moksa ika ...
Langgeng hingga ajal jika dapat
kautemukan kelepasan itu. Katakanlah sebagai sunyataya, bergabung yang hidup di
luar, ke dalam aparamarta ‘ketidak-benaran’. ltulah bertemu dengan
ketidakbenaran namanya, mencapai moksa lepas katanya, menuju sunyataya. Hal itu
diketahui, karena terlihat sebagai ketidak-benaran. Apakah merasa senang jika
kautemukan moksa dan kelepasan itu? Apakah terlihat tiba-tiba, hening dan suci,
kekallah kebebasan itu. Terasalah ketidakbenaran itu, udara yang kekal. Manakah
kemudian yang disebut moksa ...‘
Carita Parahyangan
Carita Parahyangan (CP)
merupakan sebagian Kr. 406 koleksi Perpustakaan Nasional. digoreskan pada 47
lempir daun nipah, setiap halaman bertuliskan empat baris. Berlainan dengan
kelima naskah yang berisi embaran tentang kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, dan
pengetahuan, CP lebih bersifat naskah sejarah, walaupun untuk menjadikannya
sebagai sumber sejarah masih memerlukan kajian yang teliti dan hati-hati.
Embaran CP berkenaan dengan kisah dan perkembangan kehidupan politik di wilayah
Parahyangan sejak masa awal (sekitar abad ketujuh) hingga keruntuhan kerajaan
Sunda tahun 1579. Naskah itu ditulis pada waktu unsur Islam sudah mulai masuk
ke dalam kehidupan masyarakat Sunda, dibuktikan antara lain dengan dikenalinya
dua patah kata Arab, dunya dan niat, di samping penyebutan Islam dengan sêlam
(Aca 1968:11).
Sehubungan dengan jangkauan
isinya itu, hingga saat ini pada umumnya para pengaji naskah bersepakat menduga
naskah CP ditulis dalam tahun 1580. Kepastian itu menjadi kian kuat setelah
ditemukan naskah Carita Parahyangan (4 jilid) karya Pangeran Wangsakerta
(Cirebon) yang menyebutkan bahwa karyanya itu didasarkan pada naskah CP yang
berbahasa Sunda. Hal yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan, antara lain
ditemukan pada bagian awal, ketika terjadi pergeseran agama pada masa
pemerintahan Sanjaya (723-32). Menjelang penyerahan kekuasaan kepada anaknya,
Rahyang Tamperan, Sanjaya menganjurkan agar anaknya beralih agama, karena
dengan agama yang dianutnya ketika itu, Sanjaya menyebabkan orang menjadi
takut:
/14/ ... haywa dek nurutan
agama aing, kena aing mrêtakutna urang reya ... ‘...
Janganlah mengikuti agamaku,
karena dengan itu aku ditakuti orang banyak’ (Poerbatjaraka 1958:259).
Nampaknya sejak itu kedua agama
tersebut bersama-sama berkembang, dan saling lengkapi serta saling isi
bagian-bagian yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan. Dalam pada itu, pada
masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ada embaran mengenai pedoman
hidup /19/ ... tan krêta ja lakibi dina urang reya, ja Ioba di sanghiyang siksa‘
Tidak merasa aman yang berkeluarga di lingkungan khalayak karena mereka yang
melanggar Sanghyang Siksa’
Cag-peun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar