Kami berharap kisah/cerita/fakta sejarah dapat diungkap dengan proporsional karena selama ini saya dan juga bangsa Indonesia lainnya merasa telah “tertipu” oleh politik yang menyembunyikan fakta sejarah yang sebenarnya. Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa Sanjaya pendiri Mataram Kuno adalah seorang putra Sunda? Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya seorang putera Sunda? Demikian pula dengan sejarah Majapahit, kenapa tidak pernah pula disebutkan bahwa Raden Wijaya raja pertama Majapahit adalah seorang putera Sunda?
Mudah-mudahan kejadian “penipuan sejarah” tidak terulang lagi dimasa yang akan datang, terlepas dari keuntungan politik yang akan diperoleh, walau bagaimananpun juga masyarakat tentu akan lebih menghargai informasi yang jujur.
Awal Kerajaan Pajajaran Purba
di SUNdaland.
Periode Sebelum Masehi s/d awal
berdirinya Kerajaan Pajajaran
Menurut cerita yang beredar di
kalangan para sesepuh Sunda, runtutan para Buyut dan Rumuhun
(Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah
Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan
Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang
(Padang) pada periode 100.000 – 74.000 Sebelum Masehi. Pada masa tersebut para
Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana”
atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis,
dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat
luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat
meletusnya gunung tersebut.
Masa berganti cerita berubah,
pusat kebudayaan bangsa Sunda yang disebut dengan mandala Hyang bergeser ke
arah Selatan ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau
(Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada
konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan
sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara
Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan
Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami
metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”. Puncak Pertala di Buana
Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar
Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang.
Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa,
perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan
berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan
sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar
dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).
Kembali kemajuan disegala
bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung
Ka-Ra-Ka-Twa), daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa), dan
mengakibatkan banjir besar dan berakhirnya zaman es pada sekitar 15.000 SM.
Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang dan tenggelam. Paska
peristiwa banjir besar tersebut, bangsa Sunda kembali membangun peradabannya
hingga menurut cerita dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sindhu (Sang
Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang
kemudian mengajarkan kepercayaan Sundayana (Sindu Sandi Sunda). Ajaran tersebut
kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Perjalanan Prabu Sindu ke
wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto, ajaran Surya (matahari),
bahkan ajaran tersebut kemudian dijadikan bendera bangsa. Perjalanan penyebaran
ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah
aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan
Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus),
tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa
sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang
memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan
sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang. Ajaran Prabu Sindu yang
selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana,
yang hingga kini masih tersisa di wilayah Nusantara ada di daerah Bali
sekarang, serta agama Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta
Alam sebagai panutan hidup, dan bila dikaji lebih mendalam ajaran ini merupakan
ajaran ”Monotheism” atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kebudayaan bangsa Sunda yang
berlokasi di sekitar Gunung Sunda (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), dibuktikan dengan
ditemukannya fakta sejarah, dan penemuan arkeologis yang ada daerah Sumatera
bagian Tengah dan Jawa bagian Barat, sebagai berikut:
1. Kota Barus di pesisir Barat
Sumaetara
Merupakan satu-satunya kota di
Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh
literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah,
Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan
Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang
dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang
berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di
pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus)
yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang
diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar
5.000 tahun sebelum Masehi.
2.. Kerajaan Melayu Tua di
Jambi
Meliputi : kerajaan Kandis yang
terletak di Koto Alang, wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau. Kerajaan ini
diperkirakan berdiri pada periode 1 Sebelum Masehi. Di samping itu, di daerah
Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu: Koying, Tupo, dan Kantoli.
Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan
Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri
ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812)
dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao.
Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000
li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah
selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama
P’u-lei atau Pulau.
3. Kerajaan Salakanagara.
Kerajaan ini dianggap sebagai
kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada
Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah
Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari
kata Salaka. Tidak diketahui pasti sejak kapan berdirinya kerajaan
Salakanagara, namun berdasarkan catatan sejarah India, para cendekiawan India
telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa
sekitar 200 SM, yang tidak lain adalah Salakanagara. Naskah Wangsakerta
menyebutkan bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan
kerajaan Salakanagara di Jawa Barat. Salakanagara (kota Perak) pernah pula
disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun
150 M. Kerajaan Salaka Nagara, memiliki raja bernama Dewawarman (I – VIII),
yang menjadi asal muasal kemaharajaan Sunda Nusantara.
4. Situs Gunung Padang,
Cianjur.
Merupakan situs prasejarah
peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan
Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada
ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai
kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Menurut legenda dan cerita
para leluhur, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala
(kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Dan ada juga
yang mengatakan bahwa situs ini merupakan tempat penobatan para raja yang ada
di dalam wilayah kemaharajaan Sunda Nusantara. Saat ini situs ini juga masih
dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda (Sunda Wiwitan) untuk melakukan
upacara. Berdasarkan Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan adanya
suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang
Sunda) di hulu Ci Sokan, yang tidak lain adalah situs ini.
Diduga situs gunung Padang
sesungguhnya bukanlah gunung, melainkan bangunan berbentuk mirip dengan
piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik, sehingga terlihat seperti
gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. Di dalam situs gunung padang dipercaya
memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah. Dalam situs gunung
padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang
pada bagian atasnya. Jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan
bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari
batu itu dapat dimainkan dengan benar.
Laboratorium Beta Analytic
Miami, Florida, Amerika Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari
Situs Gunung Padang, sebagai berikut:
1). Pada lapisan tanah urug di
kedalaman 4 meter (diduga man made stuctures /struktur yang dibuat oleh
manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras
5 pada Bor -2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Fantastis!! Usia bangunan ini
jauh lebih tua dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM.
2). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman
sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini sangat
mengejutkan!! Artinya situs gunung padang ini telah ada sebelum peristiwa
banjir besar (berakhirnya zaman es). Kontroversi merebak setelah Tim
Katastropik Purba merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang.
"Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada
ruang-ruang,". "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade."
Kecurigaan ini berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki
jika dilihat dari Utara
SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA
NUSANTARA
KERAJAAN SALAKANAGARA
1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
4. Dewawarman IV
5. Dewawarman V
6. Dewawarman VI
7. Dewawarman VII
8. Dewawarman VIII
KERAJAAN TARUMANAGARA
1. Jayasingawarman (358 – 382)
dia adalah menantu dari Dewawarman VIII
2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434 – 455)
5. Indrawarman (455 – 515)
6. Candrawarman (515 – 535)
7. Suryawarman (535 – 561)
Tahun 526 menantu Suryawarman
yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di wilayah Timur (dekat Nagreg
Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan
kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh.
8. Kertawarman (561 – 628)
9. Sudhawarman (628 – 639)
10. Hariwangsawarman (639 –
640)
11. Nagajayawarman (640 – 666)
12. Linggawarman (666 – 669)
Anak Linggawarman yang bernama
Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan
kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang
kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena
Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka
Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan
yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya
kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya
ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali,
Saunggalah).
KERAJAAN
SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN
1. Tarusbawa (670 – 723)
2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan
Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari Kalingga sedangkan
ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit dari
Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan
Tarusbawa yang bernama Tejakancana.
3. Rakeyan Panabaran/Tamperan
Barmawijaya (732 – 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Sanjaya
sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih berkedudukan di
Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa Sanjaya
(mulai 732)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 –
819)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan
Wuwus (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10. Windusakti Prabu Dewageng
(895 – 913)
11. Rakeyan Kemuning Gading
Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu
Wanayasa (916 – 942)
13. Prabu Resi Atmayadarma
Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (954 – 964)
15. Prabu Munding Ganawirya
(964 – 973)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan
Wulung Gadung (973 – 989)
17. Prabu Brajawisesa (989 –
1012)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012
– 1019)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019
– 1030)
20. Prabu Detya Maharaja Sri
Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan
putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri
menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21. Raja Sunda XXI
22. Raja Sunda XXII
23. Raja Sunda XXIII
24. Raja Sunda XXIV
25. Prabu Guru Dharmasiksa
26. Rakeyan Jayadarma, istri
Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka,
Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah
anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.
27. Anak Rakeyan Jayadarma
dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal
dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah
Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah
Singamurti dan anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya
menjadi Raja Majapahit pertama.
28. Prabu Ragasuci (1297 –
1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa
seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang
menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
29. Prabu Citraganda (1303 –
1311)
30. Prabu Lingga Dewata (1311 –
1333)
31. Prabu Ajigunawisesa (1333 –
1340) menantu Prabu Lingga Dewata
32. Prabu Maharaja Lingga Buana
(1340 – 1357), dijuluki Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
33. Prabu Mangkubumi
Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
34. Prabu Raja Wastu/Niskala
Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi). Istri
pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang
Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri
keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora
memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar
Prabu Dewaniskala.
Setelah Prabu Raja Wastu
meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama,
Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala
menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata,
mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian
menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja
Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri
Prabu Susuktunggal.
Pada tahun 1482 Prabu
Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata),
demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada
menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh
dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan nama Prabu
Siliwangi.
SampuRA..SUN......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar