Sejarah Kerajaan Pajajaran
SEJARAH DAN SILSILAH
KEMAHARAJAAN SUNDA
NUSANTARA.
SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
Nama-nama Raja Pajajaran:
1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu
Siliwangi (1474 – 1513)
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami
kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5.Raga Mulya (1551 – 1579)
1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu
Siliwangi (1474 – 1513).
Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh
pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39
tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali,
yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu
Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika
ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa
ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal
dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630
sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan
kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti
saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana
(kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan
tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul)
waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang
beragama Islam).
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat
kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di
perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi
Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana,
sebagai berikut:
“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir
berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani
menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur
tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa
negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran
Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena
itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah
menurut penuturan orang Sunda”.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya
(Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah
satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut
(artinya saja):
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka
selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan
ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare
dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara
agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan
diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan”
(ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak
tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,
“upeti”, “panggeureus reuma”.
Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah
Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh
carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng
timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak
dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra”
(Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus
dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu,
memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung”
(ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa
“piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan
pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung
Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan,
desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan
juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat
sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan.
Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal
dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran
sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan
negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda
Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi
menjadi Jakarta yang sekarang.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan
sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat
kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka
adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan
Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai
1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya
cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan
Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam
bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga
ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila
hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya
dalam jaman Pajajaran.
Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak
dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang
Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda)
keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara
di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama
Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura), memiliki 3 orang anak
yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang.
Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti
serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang
diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung
Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda
tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau
belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya
Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan
Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi
dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan
oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar
Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota
Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama
Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL
MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang
dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon.
Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai
menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana
Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu
Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya
tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya Subang Larang
beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan
menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak
dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran.
Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I
sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun
1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan
raja (penguasa) Cirebon oleh uanya, Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu
membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita
(pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga
masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima
oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati
Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu
ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan.
Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan
terhadap Kerajaan Cirebon.
Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat
Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan
antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika
terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan
dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin
berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk
meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih
dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan
kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut
Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta
pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan
bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).
Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan
selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang tidak lama
menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai
ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai
kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada
Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga
cucu Prabu Susuktunggal).
2. Surawisesa (1513 – 1535)
Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan
Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon
adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana
(dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah
Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran”
(perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia
melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang
berkaitan dengan hal ini.
Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat
pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang
berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan
mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang
datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai
dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang
dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap
bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip
Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in
dubbel, waarvan elke partij een behield”.
Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat
mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan
Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan
juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi
kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah
pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah
menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan
memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah
dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih
terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak
Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden
Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya
Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan
Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini
telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran
Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan
pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak.
Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota
Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief
Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon.
Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan
Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas
di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur.
Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak
dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena
Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa
di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di
Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju
Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan
dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao
pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa
Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin
Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui
perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa
sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak,
kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.
Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela,
wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon
sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak,
kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun
lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani
turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan.
Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran
Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak
tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya
menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara
seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka
lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula
Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh
Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada
tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak
ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi
pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya
dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang
menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon
merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik
dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak
berdiri sebagai negara merdeka.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan
peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil
memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang
kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya,
beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati
Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga
yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:
“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan
untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana
dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran.
Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra
Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan
berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena
Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi
astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan
sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu,
sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia
materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal
dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya,
Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit
Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun
Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun
lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya,
ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya
dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan”
Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu
Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang
perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama.
Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa
pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang
”vegetarian”.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa
pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan
musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih
beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15
kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu
menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan
peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus
gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu
Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan
Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah
berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan
parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri
Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai
berikut (artinya saja):
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu
membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju
ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa
(perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan
agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat
isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut
upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang
Kerajaan Pajajaran"
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini
dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di
Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa
kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa,
menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah
dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan
setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah
dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis
Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira
kabalik pupuasaan”
(Maka
berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat
bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi
kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta”
(begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk
mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia
bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita
Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti
lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan
keraton tanpa rasa malu sama sekali”.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu
mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah
bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya
yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta
sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah
tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita
Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan
tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila
tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan
telah berjangkit.
Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini,
dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti
diceritakan dalam Carita Parahyangan:
“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama
gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan,
tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan
tingkat kekayaan).
Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk
membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman
dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian
membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi
bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam
aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus
menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas
dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat
sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang
diandalkannya menolak musuh.
Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat
penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan
Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga
Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran.Serangan
Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf.
Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring
kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi
ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya
(menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga
Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi
di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari.
Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat
bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya
diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan
pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya
saja):
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima
kosong satu”.
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan
Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun
kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru
hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan
jatuh pada hari Sabtu.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi
I/2 :
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa
Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang
bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy
Dalam dan Baduy Luar.
Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan
baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng
Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah
saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki
Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng
terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579).
Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala
seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan
Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke
Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama,
dengan diboyongnya Palangka tersebut, maka resmilah Sultan Maulana Yusuf
menjadi penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah”, karena beliau juga adalah cicit
dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
KESULTANAN BANTEN DAN SUNDA NUSANTARA
Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka
selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk
kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan
wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah
(1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana
Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan
Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan
wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Kesultanan Banten merupakan pewaris ”sah” dari
Kerajaan Sunda Nusantara, penerus dari Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara,
yang wilayah kekuasaannya mendunia.
Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan
Banten
1. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI (SUNAN GUNUNG
JATI/JATI PURBA) (1513-1552). Beliau adalah raja kesultanan Cirebon yang
melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga
Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah CUCU SRI BADUGA MAHARAJA PRABU
SILIWANGI, dari putrinya, NYAI RATU RARA SANTANG, setelah menikah dengan RAJA
MESIR SYARIEF ABDULAH AL-MISRI (Keturunan RASULULLAH SAW ke-22). MENIKAH DENGAN
KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN (PUTERI TERTUA MAHARAJA KESULTANAN DEMAK, SULTAN
FATAH/ PUTERA TERTUA dari RAJA MAJAPAHIT, PRABU BRAWIJAYA V). Wilayah
kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah
kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.
2. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/ MAULANA
SABA KIN-KING (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan
dari Charuban(Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).
3. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI (1570-1580).
Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah,
ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala
seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.
4. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI (1580-1596)
-
5. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI
(1596-1640)
6. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/
KYAI AGENG TIRTAYASA (1640-1651)
7. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/
SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan
Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap
Belanda (VOC), dan menolak perjanjian
monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional
8. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI (1675-1687)
9. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABU FADHL MOEHAMMAD YAHYA (1687 – 1690)
10. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI (1690-1733).
11. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL
MISRI (1733-1747)
12. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NASAR MOEHAMMAD ZAINUL ASIKIN AL MISRI
(1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan
Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku
Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb., maka pada dasarnya
kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup
wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari
Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah,
Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar
Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo
13. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALI’OEDDIN AL MISRI
(1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya
dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan
Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi
karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu
Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa
Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada
pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan
pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan
Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama
AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di
Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.
14. SERI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI (1802-1810-1811). Berkedudukan
di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan.
Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10
Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa
syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad
mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Kerajaan Inggris, Thomas
Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda
Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah seteru
dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili
kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad,
karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang
dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah
memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan
membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluarha bangsawan De’Orange, sepupu
keluarga Buckingham.
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal
sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan
pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan
tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan
Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat
Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles
menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan
Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan
(Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan
Belanda (sahabat kerajaan Inggris) yang diwakili oleh Herman William Daendels
di Semarang.
Ribuan ton emas dijarah sejak saat itu, yg
digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara
jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst).
Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip
(bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian
besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di
Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah
sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia
tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.
Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau
Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa
Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai
diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.
15. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABDULAH AL MISRI. Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat
1860.
16. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI.
17. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI.
18. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI
AL MISRI. WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989.
19. SRI
BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG GUSTI
PANGERAN HADIPATI HARYA RACHMATULLAH
HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II/ HIS
IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA
BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN EMPEROR SULTAN
AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR
MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II. Lahir di Jakarta 30
september 1963 (Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign Emperor of the
Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the
Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in
the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was
Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.
PENUTUP
Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja
Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan
Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata
masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan
Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia
Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993,
1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan
Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial
Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada
pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran
di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al –
Misri II.
Keberadaan Al Misri II di jaman Order Baru
sangat di takuti keberadaannya. Kerena itu tidak heran jika beberapa anggota
keluarga Al Misri II pernah mendekap di sel karena di curigai akan berbuat
makar. Namun keberadaan mereka diakui dunia Internasional, maka penahanannya
tidak lebih dari 2 hari. Di tempat yang sama Al Misri II melalui sekretaris
pribadinya, menunjukkan CD (Corps Diplomatics). Dengan kartu CD yang isinya
Simbol, bendera, keterangan, cap kerajaan, dan tanda tangan kaisar dapat dengan
mudah dalam urusannya ke luar negeri. Karenanya, kata beliau, CD telah diuji
kebenarannya saat dirinya membuat paspor Ke Brunei Darussalam. Diakuinya, hanya
dalam waktu 3 jam semuanya telah selesai. Hal itu tak lain dari pengakuan
hukum-hukum internasional yang mengakui keberadaan kekaisaran Sunda Nusantara.
Kesejahteraan seluruh bangsa rakyat Sunda
Nusantara didaratan Sunda Nusantara-Sunda Melayu sampai saat ini di simpan di
93 Negara dalam bentuk assat-asset :
• Collaterals in federal reserve certificate of
the united states America
• Bound Guarantee Redland Merchant Bank of
Switzerland
• Obligation certificate of deposit credit Swiss
Bank International
• Certificate of Swiss Bank Corporation
• Obligation treasure Bound National Bank of
England Bank de Netherlands City Bank New Yorkand United Overseas Bank
Singapore
Selain itu asset-asset ini juga berbentuk logam
mulia, platinum, dan benda-benda berharga lainnya yang dikumpulkan oleh
Raja-raja di seluruh Sunda Nusantara di daratan Sunda Melayu Nusantara Bangsa
Sunda Nusantara di daratan Sunda Nusatara di kepulauan Sunda Besar-Sunda Kecil,
Di samping itu masih tersimpan uang sebesar 4000 triliun poundsterling yang
tersimpan di Negara Inggris. Dapat dibayangkan betapa besarnya asset-asset
bangsa Sunda Nusantara yang hingga saat ini masih tersimpan dan tersebar di
luar negeri yang di sebut the making of a super power danSunda Nusantara Dollar
Trilion, milik pemerintah Negara Kerajaan Bangsa Sunda Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar