SUNDA
(Pikukuh Kenegaraan, Kebangsaan,
Kemasyarakatan, & Kemanusiaan)
by LQ Hendrawan on Sunday, 22 April 2012
at 15:46 ·
(Nuhun, kang...)
Sudut Pandang Pikukuh Sunda Tentang
Proses Penciptaan & Dinamikanya
Bumi Dega 21 April 2012
Sampurasun
1. Pitutur para sepuh tentang proses
terjadinya Sunda & Planet Bumi
Awalnya Yang Maha Kuasa membentuk “Jagat
Suwung”, yaitu ‘sesuatu’ yang gelap, kosong, hening. Tidak ada barat, timur,
utara, selatan, singkatnya... sebuah keadaan yang sulit terciptakan (cipta =
pikir).
Tahap selanjutnya Yang Maha Kuasa
menghadirkan suatu suara seperti “Tawon Laksaketi”(berjuta-juta tawon) yang
berbunyi “Huuuung...”. Dunia ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Suara
Kosmik”.
Dari pusat suara munculah jentik-jentik sinar
cemerlang “Hyang Putih / Ingyang Putih”sebesar ‘sayap nyamuk’. Dalam bahasa
ilmu pengetahuan modern model ini disebut “molekul cahaya”. Semakin lama
semakin menggumpal, membesar dan terus membesar.
Gumpalan, kumpulan molekul (atom ?) itu
semakin lama semakin besar dan memadat maka jadilah “Sang Hyang Tunggal”,
sebuah sumber cahaya gemilang yang agung dan suci serta tidak ada bandingnya.
Atas kehendaknya (Yang Maha Kuasa ?),
Sang Hyang Tunggal memecah dirinya menjadi beberapa bagian dan menyebar di Jagat
Suwung. Ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai “Big Bang”, istilah itu
dipelopori oleh Stephen Hawking.
Pecahan dari Sang Hyang Tunggal menyebar
mengisi Jagat Suwung dan kembali menjadi jentik-jentik sinar yang berpencar.
Saat ini kita mengenalnya dalam tiga (3) kelompok : Kartika(Bintang), Surya
(Matahari), Chandra (Bulan) atau sering disebut sebagai susunan “Tata Surya”.
Salah satu dari milyaran tata surya
pengisi Jagat Suwung adalah Matahari kita yang dikelilingi oleh planet-planet,
dan planet-planet tersebut pun hasil pemisahan (ledakan) dari Matahari itu
sendiri.
Maka, Matahari kita itu merupakan putra
dari Sang Hyang Tunggal dan atau cucu dari Hyang Putih.
Matahari dikenal sebagai Sang Hyang
Manon atau lebih populer disebut Batara Guru yang artinya adalah “yang
senantiasa memberikan / menyampaikan penerang sebagaicahaya kehidupan
(*gerak)”.
2. Arti Kata “Sunda”.
Matahari adalah “api sejati yang sangat
besar” dan dituliskan dalam susunan kata SU(sejati) – NA (api / geni / agni) –
DA (agung / besar / gede) atau sering disebut sebagaiSUNDA.
Kita dapat menemukan istilah “Sunda”
dalam beberapa penamaan seperti; Gunung Sunda (+Purba), Selat Sunda, Sunda-Ra,
Kepulauan Sunda Besar – Sunda Kecil, dst. Bahkan seorang filsuf Yunani, Plato
menyebutnya sebagai Sunda-Lan atau Ata-Lan atau boleh jadi artinya sama dengan
Atlan (Atlantis).
Maka, Sunda sama sekali bukan nama
sebuah ras atau suku pun etnis, apalagi hanya berupa batas wilayah sebesar
Jawa-Barat. Sebab, Sunda merupakan tatanan besar yang berlandas kepada
nilai-nilai filosofis “ke-Matahari-an”.
Betul bahwa pusat “Sunda” itu ada di
Jawa Barat hal tersebut karena keberadaan Gunung Sunda Purba / Gunung Matahari
/ Gunung Batara Guru / Gunung Cahaya, dalam bahasa Yunani kuno disebut sebagai
Gunung Olympia (Olympus = Cahaya) dikenal sebagai tempat tinggal para dewa. Hal
ini pula yang menyebabkan mayoritas wilayah di Jawa-Barat menggunakan istilah
“Ci” artinya “Cahaya”. Istilah ”Ci” tentu tidak sama dengan “Cai” yang berarti kemilau yang dipantulkan dari
permukaan tirta / banyu / apah / air.
3. Sang Guru Hyang & Da Hyang Sumbi
Dari cerita Wayang Purwa dikisahkan
bahwa
Batara Guru jatuh cinta kepada Batari
Uma / Dewi Uma.
Batari Uma berobah menjadi Batari Durga
& dikawini oleh Batara Kala.
Arti kata “Guru” adalah yang selalu
bersinar / senantiasa menerangi / pemberi kebenaran. Sedangkan arti kata
“Batara” ialah “yang menyampaikan (yang menyinari) gerak kehidupan”.
Dalam pikukuh Sunda keluhuran
budi-pekerti & dharma bakti agung pada diri seseorang menyebabkan ia layak
(disetarakan) sebagai sosok “Guru”. Adapun derajat yang tertinggi dan paling
sepuh disebut Sang Guru Hyang (Sang Guriang) yang artinya adalah Saka Guru(Guru
yang Tertinggi / Puncak tertinggi dari segala Guru / Cahaya) dan itu sama
denganMatahari disisi lain hal tersebut maknanya sama dengan “Sunda”.
Batari Uma (Ma / Umi / Ambu / Ibu / Umbi
/ Bumi) sesungguhnya merupakan pecahan dari Matahari (Batara Guru / Sunda),
didapat dari hasil ledakan besar yang kemudian bergerak mengeliling Matahari
menjadi bagian dari Tata-Surya (Solar System).
Batari Uma atau Dewi Uma pada mulanya
bersinar terang seperti halnya Batara Guru, namun lama-kelamaan sinarnya
semakin padam dan permukaannya berobah menjadi tanah yang bergelombang. Tentu
saja hal tersebut akibat ia menjauh dari Matahari (Batara Guru), kejadian itu
diumpamakan sebagai “kutukan” Batara Guru kepada Dewi Uma yang kemudian berobah
nama menjadi Batari Durga yang buruk rupa.
Setelah Dewi Uma kehilangan cahaya dan
menjadi Batari Durga maka ia dikawini oleh Batara Kala, yang artinya ialah
terkena hukum “waktu” maka terjadilah peristiwa waktu & ruang di planet
Bumi.
Waktu (Kala) ditentukan oleh Matahari
Ruang (Pa) ditentukan oleh Bumi
Namun demikan, walaupun Dewi Uma telah
menjadi Batari Durga ia masih mengandung putra dari Batara Guru dan saat ini
kita menyebutnya sebagai “Magma” (api yang ada di perut Bumi) yang kelak
melahirkan berbagai jenis batuan serta unsur-unsur lainnya sebagai penunjang
kehidupan para penduduk Bumi.
Peristiwa tersebut dalam Pikukuh Sunda
diabadikan dengan sebutan Bua-Aci (‘buah’-aci) atau lebih dikenal sebagai Sang
Hyang Pohaci, yang senantiasa memberikan kesuburan (*kehidupan)kepermukaan
tanah. Dari sebutan atau ungkapan tersebut pada saat sekarang membuat kita
mengenal istilah “buah” (*phala / pala / pahala) serta istilah “Bua-na” yang
kelak berobah menjadiBanua (Benua).
Perobahan dari Dewi Uma menjadi Batari
Durga (*karena tertutup tanah) menyebabkan perut Bumi harus dapat mengeluarkan
panas Bumi (magma), maka lahirlah sebuah “cerobong raksasa” yang disebut
sebagai Gunung Sunda (Gn. Batara Guru).
Pada dasarnya Dayang Sumbi itu berasal
dari kata Da-Hyang - Su-Umbi , yang artinya :
Da = Agung / Besar
Hyang = Moyang / Eyang / Biyang /
Leluhur / Buyut.
Su = Sejati
Umbi = Ambu / Ibu
Dayang Sumbi mengandung makna: Leluhur
Agung Ibu Sejati atau setara dengan sebutan Buana / Ibu Pertiwi / Bumi / Earth.
Maka jika disimpulkan, kisah / legenda
Sang Guru Hyang & Da Hyang Su Umbi itu lebih kurang memaparkan tentang
kejadian / hubungan antara Matahari & Bumi, keberadaan “Waktu & Ruang” (Kala & Pa) dan
khususnya berceritera tentang “awal kehidupan manusia di muka Bumi” yang
intinya menyatakan bahwa “waktu & ruang merupakan hukum kehidupan”.
4. Situmang = Trisula Naga-Ra
Dalam kisah Sang Guru Hyang
diceriterakan bahwa Dayang Sumbi pada akhirnya kawin (bersanding) dengan
Situmang, yaitu seekor anjing jelmaan dewa yang membantu membawakan gulungan benang yang
terjatuh ketika Dayang Sumbi sedang menenun. Perkawinan mereka menghasilkan
sosok Sangkuriang (Sang Guru Hyang).
‘Sangkuriang’ atau sebut saja Sang Guru
Hyang yang ke II ini maknanya adalah kelahiranNegeri Matahari (Dirgantara)
sebagai pusat Keratuan / Keraton Dunia, atau kelahiran pola ketata-negaraan
yang pertama di dunia yang ditandai oleh Gunung Sunda Purba atau Gn. Matahari /
Gn. Batara Guru. Saat ini tersisa sebagai Gn. Tingkeban Pa-Ra-Hu, dan sekarang
kita menyebutnya sebagai Gn. Tangkuban Parahu.
Setelah keberadaan wilayah beserta
penduduknya, bentuk kemasyarakatan diawali dengan adanyaTata / Aturan / Hukum
yang berupa Tri Su La Naga-Ra (Tiga Kesejatian Hukum pada sebuahNegara), atau
dalam silib & siloka SITUMANG yaitu terdiri dari :
- Rasi / Datu berkedudukan sebagai pengelola
kebajikan, wilayahnya disebut “Karesian / Kadatuan atau Kedaton”.
- Ratu berkedudukan sebagai pengelola
kebijakan, wilayahnya disebut Keratuan / Keraton.
- Rama berkedudukan sebagai pembentuk
kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut“karamat” atau sering disebut
sebagai “kabuyutan” atau wilayah para leluhur / luhur / gunung (*?) = (tanah
suci).
- Hyang merupakan sumber ajaran
kebijakan dan kebajikan, wilayahnya disebut Pa-Ra-Hyang.
Adapun sosok binatang “anjing” merupakan
metafora atau perumpamaan dari watak “kesetiaan”. Simbolisasi tersebut tentu
sangat sesuai dengan kenyataan yang berlaku dan layak dipergunakan sebagai pola
tanda seperti halnya Sang Hyang Gana (Ganesha) yang mempergunakan siloka
“gajah”, ataupun konsep pemerintahan yang dilambangkan dalam bentuk “harimau”
(mang / hitam – ang/merah – ung/putih =
maung).
5. Awal Kenegaraan Dunia “Layang Saloka
Domas & Saloka Nagara”
Secara logika tentu awal keberadaan
sebuah negara harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : kepastian hukum,
keberadaan wilayah, masyarakat, aparatur pemerintahan, serta pengakuan. Tanpa
salah-satunya terpenuhi maka tidak layak disebut sebagai sebuah negara.
Maka demikian pula dengan kelahiran
pemerintahan ditatar Sunda yang konon (*berdasarkan catatan sejarah yang ada
hingga saat ini) diawali dengan adanya sebuah Keratuan yang
bernama“Salokanagara / Salakanagara”. Tentu ‘kerajaan’ tersebut mustahil ada
jika tidak diawali oleh adanya “nilai-nilai ajaran” yang menjadi sebuah
peraturan / hukum. Itu sebabnya masyarakat kita mengenal istilah “Layang Saloka
Domas” yang artinya :
- La = Hukum
- Hyang = Leluhur
- Sa = Esa / Tunggal / Satu
- Loka = Tempat / Wilayah
- Domas = Tidak Terhingga / invinity /
8
Arti keseluruhannya ialah : Kesatuan Wilayah Hukum Leluhur (yang) Tidak
Terhingga.
Adapun Saloka Nagara pada dasarnya
merupakan wilayah kekuasaan hukum yang sangat besar.Sa-Loka Naga-Ra (*Salaka
Nagara ?) artinya adalah :
–
Sa = Esa / Tunggal / Satu
–
Loka = Tempat / Wilayah
–
Naga = *...lambang penguasa darat & laut (samudra).
–
Ra = Matahari
Saloka Naga-Ra berarti : Kesatuan
Wilayah Kekuasaan Darat & Laut (negeri) Matahari.
6. Aki ‘Tirem’
Menyentuh jaman Saloka Nagara tentu
tidak terlepas dari keberadaan Aki Tirem yang mempunyai makna sebagai berikut;
–
Aki = Leluhur / Kokolot / Sesepuh / Tohaan / Tuhaan (‘Tuhan’).
–
‘Tirem’ = (............beberapa kemungkinan arti) :
Tarum / Taru-Ma (Kalpataru / pohon hayat
/ kehidupan).
Ti-Rum / Rumuhun
Ti-Ram / Rama
Jika “Tirem” itu adalah kata lain dari
“Taru-Ma” (*taru = tree / pohon, dan ma = uma / bumi / ambu / ibu) maka istilah
“Aki Tirem / Taruma” bisa mengandung makna sebagai “Pohon keluarga para leluhur
Bumi”.
Tabe Pun, Rahayu Sagung Dumadi _/|\_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar