Sabtu, 11 November 2017

Kandang Wesi

Sekilas Sejarah Kandang Wesi

Penulis : Moch Dadi Ali 

Suntingan.

Wilayah Kandang Wesi sudah ada sejak zaman dahulu sebagai daerah tertua dengan sebutan puseur bumi yang memiliki beberapa keunikan sebuah rahasia (nyireupeun). 
Dalam babad atau sejarah lisan menyebutkan bahwa budaya Kandang Wesi berkembang dengan berbagai ilmu pengetahuan seperti ahli ilmu  nujum(astronomi.astrologi) dan kanuragan(tingkat spiritual untuk tingkat dimensi 4 s/d 9), serta beberapa empu pembuat perkakas(paledang) yang dikenal  para Raja untuk membuat  pusaka/alat perang. 
Pada masa itu  terbentuk para santana-santana (juru obor) sebagai penunjuk jalan dalam mengirim persenjataan (cacandrang) dan pasokan perkakas rumah tangga serta alat-alat pertanian. 
Dalam  perjalanan itu tidak sedikit para empu yang sengaja berpindah hingga menetap dibeberapa daerah sebagai tukang Panday (pembuat besi).

Di ceritakan Pada awal “Nyamune Asekan” terbukanya daerah Kandang Wesi yang disilokakan sebagai “Buni Nagara Selop Pandan”  diartikan sebuah Negara tersembunyi tanpa kekuasaan atau pada patakonan carita buhun Kandang Wesi dimulai dengan  terlahirnya dari ”sakureun” (sepasang) yang bernama Aki Banteng Alas dan Nini Banteng Alas. pada ramalanpun dikenal sebagai “pangeling jaman” menyebutkan jaman yang dibagi menjadi lima bagian diantaranya:

  • Jaman Tirta (ditandai tingginya pepohonan mencapai 100 deupa). Digambarkan awal berdirinya dunja sehingga hamparan bumi banyak digenangi air.
  • Jaman Kerta (ditandai tingginya pepohonan mencapai 80 deupa). Terbentuknya daratan dan terlahirnya manusia pertama yang dikenal sebagai Nabi Adam dan Siti Hawa.
  • Jaman Dupara (ditandai tingginya pepohonan mencapai 50 deupa)
  • Jaman Kadi (ditandai tingginya pepohonan mencapai 30 deupa)
  • Jaman Sanggara (ditandai tingginya pepohonan mencapai 10 deupa) dilakonkan sebagai awal terjadinya kerusakan bumi yang menyudahi kehidupan dalam bumi.


Dimasa Kerajaan Pajajaran

Menjelang berdirinya kerajaan  Pajajaran, Kandang Wesi  menjadi bagian kekuasaan Pajajaran. Kandang Wesi memberikan andil besar dalam penyediaan perkakas perang  prajurit Pajajaran. 

Pada akhir tenggelamnya kekuasaan Pajajaran dimana pada naskah babad diceritakan terhadap sejumlah “Ratu Rujuh” diantaranya,;

  • Cirebon Hilir, 
  • Cirebon Girang, 
  • Cirebon Tengah, 
  • Mataram, 
  • Solo, 
  • Mekah, 

Kandangwesi yang dimotori Prabu Borosngora atau di Kandangwesi dikenal dengan nama Iwung Bitung dan Haur Cengkup melakukan pertemuan yang digelar di Batu Tujuh sebuah tempat di hutan belantara yang menjorok kearah laut sebelah selatan. 
Dalam isi babad Kandangwesi maupun makna silokanya  pertemuan itu bertujuan membahas tentang misi kesundaan dan sikap yang akan diambil termasuk dalam merahasiakan beberapa kebendaan. dan isi ketetapan itu adalah :

·       Mengembalikan status wilayah Kandangwesi sebagai Bumi Nagara Selop Pandan Negara tersebunyi tanpa kekuasaan serta sebuah wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya para penguasa kesundaan termasuk dalam penyelamatan rahasia maupun tujuan akhir pengabdian.
·       Penyamaran dengan cara mengganti nama mereka serta gelar sebagai tokoh yang pernah berkuasa.
·       Menetapakan Panca Kalima sebagai teuteukon hukum Kandangwesi
·       Menentukan sepuluh syarat Kesatria Pawestri atau pada ramalan kandangwesi sebagai generasi penerus ; cikal bakal kemunculan Ratu kedelapan (rat nusa jawa kabeh)
·       Peralihan Kejaman Mataram

Tragedi penyusutan kerajaan Padjajaran mengawali beralihnya kemasa kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Sinopati anak angkat kesultanan Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang diwaktu itu sebagai kerajaan pengganti paska terjadinya gejolak yang melumpuhkan kerajaan Demak. 
Besar dan berkembangnya kekuasaan Mataram dengan pesat disokong oleh kekuatan Islam yang telah menyebar kebeberapa wilayah, pengaruh Kasunanan Cirebon dapat dirasakan di Jawa Barat.

Maka dalam perluasan wilayahnya sekitar Tahun 1602 sejumlah prajurit dari kesultanan Cirebon masuk ke wilayah KadangWesi dan  berhasil mendirikan Padaleman Kandangwesi dibawah kepemimpin Prabu Sembah Dalem Drava Yuda yang mengangkat dua kepatihan yaitu Santana Jiwa dan Parana Jiwa. 
Selama kepemimpinannya Drava Yuda banyak dibantu oleh Syeik yang lebih dulu menetap sebagai pandita pertapa yang memiliki julukan Sembah Dalem Sireupeun. 
kepemimpinan Drava Yuda memerintah selama 50 Tahun (1603-1650) yang kemudian Kadipaten Kandangwesi dilanjutkan oleh Hyang Jatuna

Dalam konflik perlawanan Mataram ke Batavia maka terjadinya perpindahan pengiriman upeti yang semula ke Cirebon menjadi ke Sukapura, dengan maksud untuk memudahkan jalur pengiriman dan dari kesetiaannya maka tertoreh dua kali KandangWesi mendapatkan piagam berupa “Goong” yang dikenal sebagai Goong Bojoeng. 
Ditengah situasi tersebut ditambah mulai masuknya para saudagar 
Belanda yang melirik pembangunan perkebunan di Kandangwesi melumpuhkan pengaruh Mataram.  

Berdasarkan sumber lain dikatakan pada 24 September 1665 atau bisa juga dimaksudkan sebagai tindaklanjut dari misi terdahulu Prabu Borosngora maka terulangnya sebuah pertemuan besar yang kali ini diselenggarakan oleh sejumlah bupati di sekitar Cianjur, Sukabumi dan Garut, mereka mengadakan musyawarah di Gunung Rompang (bagian dari pegunungan Beng-breng), Desa Loji, perbatasan antara Ciemas dan Palabuhanratu. 
Sejumlah Dalem menyempatkan hadir dalam pertemuan tersebut, seperti,:

  • Sang Hyang Panai-tan (Adipati Sukawayana), 
  • Adipati Lumaju Gede Nyilih dari Cimapag, 
  • Dalem Nalama-ta dari Cipamingles, 
  • Dipati Jayaloka dari Cidamar, 
  • Hyang Jatuna dari Kandangwesi Garut, 
  • Dipati Krutuwuna dari Parakanulu, dan 
  • Hyang Manda Agung dari Kerajaan Sancang.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, yaitu mengangkat Dalem Cikundul/ Aria Wiratanu I sebagai pemimpin dengan gelar Raja Gagang (Raja Pegunungan). 
Catatan mengenai Raja Gagang ini tercantum dalam buku De Priangan jilid dua dari Degregister Belanda tertanggal 14 September 1666 Masehi. 
“Dalam buku itu diterangkan bahwa Raja Gagang menyerahkan surat kepada Sersan Scipio, serdadu Belanda yang tengah melakukan pengukuran terhadap daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Isi suratnya menyatakan bahwa Kerajaan Pegunungan (Raja Gagang) tidak tunduk kepada siapa pun,  sikap antinya itu yang ditunjukan melalui gerakan persekutuan secara grilyawan telah menarik simpati sejumlah penguasa yang beberapa diantara kekuasaannya sudah melemah. 
Setelah peristiwa itu, kiprah Raja Gagang tidak terdengar lagi. Akan tetapi, baginya, hal itu merupakan bukti sikap anti dan perlawanan terhadap penjajah.

Akhirnya berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan.

Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu.


Kemudian menetapakan wilayah distrik Kandang Wesi dengan batas “Pasir Garu” atau 5 Bukit besar sebagai perbatasan distrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar