Kamis, 22 September 2016

TAJI MANUSA

SUmber  : ncepborneo.wordpress.com


Taji Manusa
Sejarah singkat:
Dahulu kala Bangsa La-Murya Purba yg merupakan leluhur bangsa Nusantara, mereka tidak menggunakan bahasa lisan sebagai bahasa komunikasinya, mereka menggunakan bahasa hati dengan bantuan daun sebagai media penghantar aura jiwanya, karena pada daun terdapat zat clorofil yang berpungsi menyerap cahaya matahari saat proses potosintesa, maka cahaya aura Bangsa Murya yang sudah barang tentu aura yang terpancar dari jiwanya saat berkomunikasi menggunakan kekuatan jiwanya adalah aura cahaya matahari karena bangsa La-Murya Purba juga dikenal dengan Bangsa Mata Hari, oleh karena itu mereka juga dikenal dengan bangsa TiMU Raya (Bangsa Timur) dan oleh karena itu pula arah terbitnya mata hari disebut arah timur. Karena bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasa aura atau bahasa cahaya maka bahasa mereka disebut bahasa Sunda : Sun (San) Da (De/Di) => Sande kala / sandi, lihat juga kenapa gambar hati yang sekarang menjadi ikon cinta itu menyerupai gambar daun, karena hati lah yang secara batiniyyah dapat menerima sinyal aura yang terpancar saat komunikasi bangsa La-Murya berlansung, dan daun lah yang secara lahiriyyah sebuah media yang dapat menyerap cahaya yang terpancar dari mata hari.
Selain bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi, mereka juga sudah mengenal bahasa pesan (sandi) sebagai bentuk bahasa perintah, larangan atau aturan tidak lansung, contoh: jika suatu kawasan adalah area terlarang maka mereka akan membuat semacam tanda tertentu dengan menggunakan batu yang ditumpuk misalnya, atau ranting pohon yang disilangkan, atau dengan sandi rumput yang diikatkan..dll, oleh karena mereka hidup di pedalaman dan pegunungan, oleh karena itu mereka menggunakan media yang tersedia di alam untuk sandi yang mereka buat. Tapi karena sandi sandi dengan menggunakan media tersebut mudah rusak entah karena perubahan alam seperti hujan dan angin, atau bisa saja terinjak hewan yang lewat sehingga batu yang sudah sengaja ditumpuk menjadi berantakan, begitupun dengan ranting dan rerumputan dapat saja berantakan karenanya, maka mereka menggunakan media lain supaya pesan sandi bisa bertahan lama, oleh karena itu mereka menorehkannya di kulit pohon atau di atas batu dengan menggambarkan sandi yang dimaksud, misalnya: sandi batu bertumpuk dengan gambar sebuah garis datar dengan titik satu, titik dua atau tiga di atasnya (seperti huruf TA, TSA, NUN..dll yang kini jadi tulisan ‘arab) sandi rumput: dengan goresan menyerupai rumput (seperti huruf hanacaraka atau Kaganga Sunda sekarang) sandi ranting: dengan goresan menyerupai ranting pohon atau daun (seperti huruf kanji)….dll sementara Sandi aura (cahaya) kemudian dikenal dengan morse yang pada awalnya digunakan dengan media lain yaitu api (suar), baru kemudian dengan bunyi not (suara), maka setelah itu dikenal lah istilah hak swara (haksara / aksara).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar