Sumber : http://sunda.andyonline.net/
NEMBANG.
Tradisi merupakan adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, dan aturan-aturan perilaku, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Takdir atau hidup dan mati sebuah tradisi sangat bergantung dan ditentukan oleh dua faktor. Pertama, pengguna atau pemakai tradisi (masyarakat). Kedua, pihak yang berkuasa atau pemerintah.
Untuk faktor pertama (pengguna tradisi), kita ambil saja contoh tradisi lokal yang pernah ada di sekitar Desa Babakan Panjang, Kec. Nagrak, Kab. Sukabumi. Tradisi yang pernah ada di sana salah satunya adalah tradisi yang berkaitan dengan pertanian. Dari dulu sampai sekarang para petani di desa tersebut membajak sawahnya dengan menggunakan kerbau, karena kondisi areal persawahannya yang tidak rata tidak memungkinkan untuk menggunakan tenaga mesin traktor. Akan tetapi, tradisi nembang saat berada di sawah, kini tidak akan pernah ditemukan atau didengar kembali.
Tembang yang dilagukan berkaitan dengan pertanian di sekitar Desa Babakan Panjang, di antaranya, pertama, tradisi membangunkan kerbau. Orang-orang dulu pemilik kerbau sering membangunkan kerbaunya pada jam dua dini hari dengan tembang: / Ki Panganten geura gugah / Bisi kasiangan nyawah / Gobang pontrang di tunjangeun / Jeleker sora pecut dipecutkeun. (/ Sang Pengantin - sepasang kerbau - segera bangun / Takut kesiangan membajak sawah / Gobang pontrang adalah metafora dari cambuk, yang ada di sampingmu / Jeleker suara cambuk yang dilesatkan /).
Kedua, tradisi nembang waktu membajak sawah. Pembajak sawah yang duduk di atas singkal atau garu, dengan memegang cambuk, mulut mereka pun menembang: / Hur-hur / Kia-kia / Jalan aing, jalan sia / Tapak aing, tapak sia / Aing lempeng, sia lempeng / Aing mengkol, sia mengkol /. (/ Hur-hur / Kia-kia / jalan saya “pembajak” jalan kamu “kerbau” / Bekas saya, bekas kamu / Saya lurus, kamu pun lurus / saya belok, kamu juga harus belok /).
Ketiga, tradisi nembang menunggui padi yang sudah menguning. Para petani yang padinya siap panen, biasanya menunggui padi miliknya itu di dalam gubuk dan menggerakkan orang-orangan sawah dengan memakai benang. Agar burung-burung tidak memakan padi, pak tani pun mengeluarkan “mantra” yang berbunyi: / Sieuh-sieuh / manuk ka ditu, ka dayeuh / di dieu sagala euweuh / sia moal bisa seubeuh / da aya anu nga geugeuh /. (/ Sieuh-sieuh padanan katanya “Hus-hus”/ burung ke sana, ke kota /di sini tidak ada apa-apa / kamu takkan bisa kenyang / sebab ada yang menunggu /).
Sekali lagi, tradisi-tradisi nembang seperti yang telah ditulis itu, tidak akan pernah ditemukan atau didengar kembali pada saat sekarang.
Tradisi lainnya yang mati di sana adalah tradisi metemeyan, yakni tradisi syukuran panen. Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen padi, juragan sawah biasanya memakai pakaian bagus yang ia miliki. Lalu ia pergi ke sawah dan memberikan sedekah berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya kepada para pegawai yang berada di sawah. Para pegawai pada saat sebelumnya telah menyiapkan alat tatabeuhan (bunyi-bunyian) berupa kentungan, kendang atau dog-dog, dan gong kecil. Alat tersebut ditabuh pada saat juragan sawah memberikan sedekah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar