Kamis, 27 Oktober 2016

Pejuang Indonesia berdarah asing.

Sumber : Wikipedia dan lainnya.


Pejuang Indonesia berdarah asing.

Rokus Bernardus Visser 
alias Mayor Mochammad Idjon Djanbi. 




Rokus Bernardus Visser 


Lahir Kanada Tahun 1915
Rokus Bernardus Visser atau Mayor Mochammad Idjon Djanbi
Komandan Kopassus pertama. Pengalaman Idjon Djanbi sebagai anggota pasukan komando pada Perang Dunia II telah menarik perhatian Kolonel A.E. Kawilarang untuk membantu merintis pasukan komando. 
Idjon Djanbi kemudian aktif di TNI dengan pangkat Mayor. Idjon segera melatih kader perwira dan bintara untuk menyusun pasukan.
Kemudian pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa tadi dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandannya. Pada tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Yang menjadi komandan adalah Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Selama tahun 1947 sampai akhir 1949 , Sekolah pimpinan Kapten Rokus Bernardus Visser terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia. Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Rokus BernardusVisser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau Belanda yang dikenal sangat kejam (Visser sendiri berbaret merah), tapi tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahanya yang baru saja merdeka. Akhirnya dia menetapkan keputusannya untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung , bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi.

Robert Earl 'Bob'
Robert Earl 'Bob' 
“One Man Indonesian Air Force”
 
Robert Earl 'Bob'
Kelahiran Kansas, Amerika Serikat ini tumbuh sebagai anak petani Yahudi.
Datang ke Indonesia pada 1946, bertemu Presiden RI pertama, Soekarno, dan memperkenalkan dirinya. ‘Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan?’," begitu seingat Soekarno, seperti tertuang dalam otobiografinya yang dituliskan Cindy Adams.
Direkrut TNI AU
Ketulusan Bob Freeberg dibalas perekrutannya ke Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) sebagai penerbang bayaran. Pesawat Dakota yang diberi nomor RI-002, jadi “senjatanya” untuk menyokong perjuangan republik.
Yang luar biasa, disebutkan pesawat itu dibelinya sendiri dari tabungannya. Beberapa misi pun sukses dilakukannya. Mulai dari menerjunkan personel tempur AURI di Kalimantan, hingga menembus blokade ekonomi Belanda.
Terbang malam selalu dilakukannya untuk mengelak dari sergapan pesawat-pesawat pemburu Koninklijke Luchtmacht (Klu) atau AU Belanda. Tapi sayang, Bob Freeberg tak bisa turut menikmati kebebasan Indonesia dari Belanda yang sebenar-benarnya, setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan republik pada 27 Desember 1949.
Pasalnya setahun sebelumnya, Bob Freeberg hilang secara misterius setelah pesawatnya jatuh di Lampung. Pagi 30 September 1948 adalah hari terakhir Bob Freeberg terlihat oleh para personel AURI.
Di hari itu pula, Freeberg bersama kopilot Bambang Saptoadji, kopilot cadangan Santoso, serta seorang teknisi, satu operator dan tujuh orang lainnya, lepas landas dari Pangkalan Maguwo, Yogyakarta untuk menuju Palembang dan Bukittinggi. Terakhir kali Pesawat Dakota RI-002 itu terlacak saat “mampir” ke Pangkalan Gorda dan Tanjung Karang.
Namun setelah itu, pesawat yang banyak disebutkan dalam berbagai literatur membawa sejumlah batangan emas, hilang kontak. Bangkai pesawatnya baru ditemukan tiga dekade kemudian.
Tewas Tertembak
Tepatnya pada 7 April 1978, Pesawat RI-002 ditemukan petani lokal di Gunung Panggur, Lampung. Sejumlah kargo yang dibawa, hilang. Begitu pun dengan jasad atau kerangka Bob Freeberg, meski beberapa kerangka kru lainnya ditemukan.
Kuat diduga, pesawat itu ditembak jatuh oleh pesawat Belanda. Tapi ketika otoritas AS menyelidiki hal ini dan meminta penjelasan, pemerintah Belanda mengaku tidak terlibat atas jatuhnya pesawat RI-002. Selain pihak keluarga dan otoritas AS yang menyesali insiden ini, Presiden Soekarno pun turut berduka.
“Dia mengalami kecelakaan saat aku mengirimnya ke Palembang untuk membawa uang demi membantu gerilya di Sumatera. Tak pernah aku akan melupakan kawanku orang Amerika, Bob Freeberg,” kenang Bung Karno.
Saat pihak keluarga tahu akan berita hilangnya Freeberg, dengan segera keponakannya, Marsha Freeberg Bickham, berusaha mencari tahu. Dia meyakini, pamannya tidak tewas seketika dalam kecelakaan itu. Melainkan dibunuh kala dalam tahanan Belanda.

Eduard Douwes Dekker.
Multatuli
Eduard Douwes Dekker (1860-1887)
Penuh sejarah, rumah itu dibangun sekitar 1790 dan merupakan monumen nasional. Pada 1820-an itu adalah rumah untuk kaum muda Multatuli, penulis paling terkenal Belanda. Anda dapat mengunjungi museum yang didedikasikan kepadanya beberapa jalan pergi di rumah kelahirannya dan patung besar dia di jembatan Torensluis di Terusan Singel.

Multatuli adalah nama samaran (dari tuli multa Latin, "Saya telah banyak menderita") dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Dia adalah seorang penulis Belanda yang terkenal untuk novel satir nya,
Max Havelaar (1860) di mana ia mengecam pelanggaran kolonialisme di koloni Hindia Belanda (Indonesia).

Ia lahir di dekatnya di Korsjespoortsteeg 20 (sekarang Museum Multatuli, terbuka pada hari Selasa dan Sabtu) dan pindah ke rumah di Binnen Brouwerstraat (sekarang Multatuli Apartment) pada usia 3 di mana ia tinggal selama beberapa tahun sebelum pindah ke Haarlemmerstraat . Pada tahun 1838 ia pergi ke Jawa dan memperoleh pos sebagai PNS. Setelah 18 tahun pelayanan sipil di Hindia Belanda, ia kembali ke Eropa pada tahun 1856 seorang pria kecewa. Cara pribumi diperlakukan oleh mereka sendiri maupun oleh penguasa Belanda tersinggung dia sehingga ia mengundurkan diri setelah konflik masyarakat. Dalam novelnya Max Havelaar ia mencatat pengalamannya. Buku ini diterbitkan pada tahun 1860 dan membuatnya sukses instan. Didorong oleh pujian publik ini, ia memutuskan untuk mengejar karir sebagai penulis. Ia menjadi semacam nurani nasional, inspirasi gerakan emansipatoris seperti pemikir bebas, sosialis dan anarkis. karir Multatuli sebagai penulis berlangsung tepat selama karirnya sebagai seorang pejabat: 18 tahun. Kemudian pada tahun 1877, setelah lebih mendalam kecewa, ia memutuskan untuk menyerah menulis dan berlindung di Jerman, di mana ia meninggal pada Februari 1887.
'Max Havelaar' sekarang digunakan sebagai label Fairtrade independen untuk menunjukkan produk yang dihasilkan dan diperdagangkan di bawah kondisi yang adil. Sejak diperkenalkannya label Max Havelaar pada tahun 1988, inisiatif Belanda ini telah disalin di lebih dari dua puluh negara. label sekarang dapat ditemukan di lebih dari 1.700 produk seperti teh, cokelat, anggur, gula, beras, semua jenis buah, kapas dan bahkan es krim.
Pada kesempatan ulang tahun keseratus kematian Multatuli, Ratu Beatrix meresmikan patung Multatuli di jembatan Torensluis pada kanal Singel di Amsterdam.
Pada bulan Juni 2002, Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (Society for Sastra Belanda) menyatakan Multatuli penulis Belanda yang paling penting dari semua waktu.



Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker
Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi


Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pahlawan nasional yang berjasa dalam dunia pergerakan nasional. Beliau adalah seorang pelopor nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, wartawan, Aktivis politik, penulis buku terkenal serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Douwes Dekker bernama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker dilahirkan pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Beliau anak ketiga dari empat bersaudara. Orang tuanya adalah Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (warga Belanda) dan Louisa Margaretha Neumann keturunan campuran dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Masa kecilnya tinggal di Pasuruan dan menempuh pendidikan dasar Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Ketika dibuang ke Eropa dimanfaatkan Douwes Dekker untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi.
Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalamKabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawahKementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Penghargaan
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Poncke Princen
Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen
Mengabdi Republik, berjuang untuk kemanusiaan
Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia. Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.

Jan Cornelis Princen (1925 – 2002) (Den Haag, Belanda, 21 November 1925 – Jakarta, 22 Februari 2002), atau dikenal dengan HJC Princen, bisa dibilang oposan sejati. Simak sepenggal cerita dalam kehidupan Princen sebagai seorang gerilyawan Siliwangi.



Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang. Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966).
Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Partai Komunis Indonesia (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden Sukarno dan rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru, menggantikan rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun.Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi ManusiaLPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar