"Eyang dongkap ka Nyai, ngajarkeun ka Nyai kumaha cara hirup di dunya"
Gunung Terang, Metro
Lampung. 20 October 2016.
“Ngahaturkeun haturnuhun
sareng haturhormat nu saageng-agengna ka sakabeh Eyang anu aya di KaRaton
nagaRA goib Tatar Sunda”. 3x
“Ngahaturkeun haturnuhun
sareng haturhormat nu saageng-agengna ka
Ibu-Rama”.
“Ngahaturkeun haturnuhun
sareng haturhormat nu saageng-agengna ka murangkalih”.
“Ngahaturkeun haturnuhun
sareng haturhormat nu saageng-agengna ka sadayana, rai raka, dulur sarang
sanesna, nu parantos maturan di ziarah ieu”.
Menjalani kehidupan yang
sering ku sayang dan ku benci.
Masa kecil yang indah dan
masih terkenang dalam benak ini.
Seorang ayah dari Sei
Pinyuh Kalimantan berdarah Dayak Iban,
Mongol, dengan Ibu yang berdarah Cina, Sunda dan Padang.
Rasanya lengkaplah sudah di
temani seorang yang sangat menyayangiku
berdarah Minahasa dan Timor, kayaknya sih gado-gado Indonesiat banget.
Sampai gadisku
mengatakan,”Masakan di rumah teh seru banget, masakan Cina, Sunda, Padang,
Manado dan sayur daun singkong resep kakeknya yang ... wuih enaknya”.
Aku hanya tersenyum.
Masa kanak-kanak di jalan
Pasundan yang indah. Pohon Jambu klutuk di depan rumah tempat aku belajar dan
mengerjakan PR sekolah. Rantingnya membentuk kursi yang nyaman untuk aku duduk
dengan aman sambil mengintip jambu yang sudah matang.
Rumah akan sangat ramai di
kunjungi orang saat ayah melakukan upacara “potog lidah”, adat Dayak?.
Masih terbayang di
benakku, Tanteku sepupu ayah yang cantik dengan bola mata yang bewarna hijau,
atau saudara ayahku yang berkunjung ke Bandung dari kampung. Mereka memiliki
kuping yang sangat panjang. Mencapai
kursi saat di duduk. Anak kecil, hanya memperhatikan saja tanpa mengerti
apa-apa.
Serunya lagi, buyut ku
sibuk sendiri setiap hari Senin dan Kamis aku menemaninya menunggu si Mas
dengan sepeda ontelnya mengantar “rujakeun dan seupahan”.
Rujakeun terdiri dari
sepotong kelapa, pisang, asem Jawa dan gula merah.
Seupaheun terdiri dari
sirih, gambir, saga, cengkep, kapulaga, kapur dan tembakau.
Di tambah bunga tujuh rupa
yang harum baunya di taruh di dalam gelas dan di beri air, di lengkapi dengan pisang kapas.
Aku sering membantu
buyutku menyiapkan sesajen.
Di atas baki lengkaplah
sudah, segelas kopi pait, kopi manis dan air putih. Di sajikan di atas
pandaringan(tempat menyimpan beras”. Disajikan sebelum magrib tiba.
Dan di lanjutkan dengan
membakar “purupuyan”, yaitu arang kayu yang di bakar di anglo kecil sampai
“ruhay”. Bila api nya sudah padam yang ada hanya baranya saja, Nuyutku
menaburinya dengan sedikit-sedikit kemenyan...... dilanjutkan dengan
berkeliling ke semua ruangan menyabarkan bau semerbak dan asap putih. Setelah
selesai, “purupuyan" itu di simpannya di atas pendaringan bersama sesajen
yang tadi di tata. Pagi harinya, adalah jatahku minum segela air putih yang ada
di atas “pendaringan”. Buyutku yang mengambil gelas berisi air putih di atas
“pendaringan” dan ia komat-kamit membaca doa/mantra. (aku ngak tahu apa yang di
lafalkannya, karena ngak kedengeran, hanya melihat mulut nya saja yang
komat-kamit). Masih belum selesai.
Karena pisang kapas nyapun jatah untuk aku makan. Jadi sarapanku setiap
hari Selasa dan Jumat adalah segelas air putih dan pisang kapas hasil sesajen.
Dan itu
aku lakukan semasa buyutku masih hidup. Setelah beliau wafat.... saya
tidak pernah lagi menikmat segelas air putih dan pisang kapas yang enak.
Buyutku melanjutkan
ritualnya dengan menyiramkan kopi dan bunga tujuh rupa yang di sajikan didalam
gelas di pekarangan rumah, tetap sambil komat-kamit.
Selanjutnya ayahku sering
mengobati orang sakit. Membayangkannya saat ini, memang aneh juga cara
pegobatannya.
Satu blek miyak goreng di
panaskan dalam wajan besar sampai mendidih, dan di siramkan kepada si sakit dalam
keadaan panas mendidih dengan menggunakan bunga pinang jambe yang biasa di beli
di tukang “rampe”. Aneh memang, tidak ada luka bakar sedikitpun.
Karena acara itu sering
dilakukan, jadi rasanya menjadi hal yang biasa saja.
Dan ayah ku sering
menyuruhku mengambill lumut yang menempel di tembok sebagai obat.
Dan kalau kami pergi ke
Ciater kami mengumplkan lumut yang menempel di batu(mirip acara ritual yang
dilakukan di Baduy Kanekes).
Karena kami sekolah di
sekolah Kristen/Katolik yang memberitahukan dan mengajarkan kami sembahyang
kepada Tuhan Yesus sebagai juru selamat dari api neraka(asuransi kebakaran),
kami anak-anak meninggalkan semua
tradisi/ritus traditional orangtua kami. Yang kami sesali kemudian, setelah
tahu tentang doktrin terselubung dalam
ajaran agama.
Apalagi pada kenyataannya,
mitos atau legenda itu adalah kejadian yang sesungguhnya yang pernah
terjadi. Sekarang terlambat, ternyata
“nyuguh”, yang di lakukan buyut saya adalah hal positif sebagai ungkapan rasa hormat dan terimakasih
kepada alam dan leluhur.
Saya menyesal percaya
“ucapan”, ajaran agama yang mengatakan ritual sesajen “menyembah setan”.
Sekarang saat saya ingin
kembali, sudah terlambat.
Karena saya tidak pernah
minta untuk di ajarkan “komat-kamit” yang
di lafalkan buyut atau bertanya pada ayah upacara potong lidah itu
untuk apa dan bagaimana?. TERLAMBAT.
Semuanya telah pergi ke
alam lain.........
Menikah dengan seorang
pria berdarah Minahasa-Timor yang juga kental dengan tradisi leluhur
TONAAS/OPO-OPO, memiliki ritual yang tak berbeda jauh. (saya minta izin untuk mengambil foto ini).
Kembali lagi kepada
masalah agama, kami memutuskan
ber”agama” Katolik, kami meninggalkan semua tradisi orangtua kami.
Saat kami menghadapi
masalah yang agak aneh(ayah mertua muntah darah), adik-adiknya membawa ayah
mertua ke rumah sakit Carolus, dan kami berdua pergi ke patilasan Opo Dotulong
di Marunda, Cilincing Jakarta. Kami membawa bunga gladiol, suami saya bersimpuh
di ujung patilasan sambil berdoa.
Kami mendengar berita
bahwa ayah sudah tidak muntah lagi sebelum saya tiba di rumah.
Dalam hati saya terucap
rasa terimakasih dan hebat euy.....
Eyang Watu Wangi
Eyang Purbajaya,
Kami berteman baik dengan
juru kunci patilasan Eyang Wijaya Nata Kesuma, Aki Sula di daerah Cipanas Cianjur. Aki Sula membawa kami pergi ke Kutamaneuh di
kaki Gunung Guruh, Sukabumi. Menurut Aki Sula, Kutamaneh adalah pintu utama
KaRAton nagaRA goib Tatar Sunda. Hal
aneh di temui di sana. Suasana gelap gulita dan pamali untuk menyalakan
api/penerangan. Kami berjalan menyentuh batu???, saya tempelkan pipi ke
batu???, bukan batu!, ini adalah dingin logam.
Saat saya cerita sebagai laporan dan di sambut dengan ssstttt yang berati
diam!!. Saya hanya tersenyum.
Anak-anak kami tinggalkan
di rumah Aki di jaga oleh Nini. Saat kami pulang anak-anak lapor bahwa mereka
baru pulang bermain di dalam lautan???. Padahal mereka rmain bermain/berjebur
di kolam ikan di samping rumah Aki. Mereka di asuh berain di dasar laut.
Haturnuhun Ibu!. Hanya itu yang saya ucapkan dalam hati.
Jembatan kecil menuju
Istana Cipanas dari Mesjid di samping Istana di tutup. Saya sangat marah
dan membuang muka setiap saya lewati
Istana Cipanas. Baru beberapa meter, mobil yang kami tumpangi di stop polisi.
Polisi itu hanya menanyakan arah tujuan
kami. Kami jawab saja mau kerumah Aki. Yang anehnya adalah logat polisi itu berbicara dan
suaranya persis dengan suara Bung Karno, Presiden.
Sesampainya di rumah Aki, “Kenapa
marah-marah”, kata Bung Karno.
Saya ceritakan, saya marah
karena saya tidak bisa andi air panas lagi di istana. Mereka hanya tersenyum.
Aki mengatakan bahwa saya
dan suami saya seharusnya sudah meninggal, dan sekarang sedang “nilem”. Maaf kami tidak mengerti.
Seorang nenek-nenek yang
nyaris buruk rupa berjalan kelelahan. Kami memperhatikannya dan dia berjalan ke
arah kami. Dia bercerita bahwa ia sedang berjalan mau pulang kampung. Wawan,
suami saya langsung mengeluarkan semua uang ada di sakunya, Abah temannya melarangnya.
”Biasa itu mah cuma alasan”,
kata Abah.
Wawan tidak menghiraukannya.
Nenek itu bercerita,bahwa
kampungnya di daerah Karawang dekat rel kereta, desa Talaga Sari. Nenek itu
mengundang kami ke kampungnya. Pikir saya itu adalah hal yang mustahil, melihat
keadaan kami yang sedang prihatin. (pikiran manusia).
“Nyai.... itu suruhan
Eyang, sekejap matapun sudah tidak akan kelihatan”, ucap Ibu Nyi Mas Ayu
GandaSari dengan suara lembut. Haaahhhh.... terperangah.
Selang beberapa hari paman
ku dari Kerawang datang berkunjung, kami mengantarkan mereka pulang ke Karawang
kota. “Kita ke rumah Mang Bajing”, ajaknya bersemangat.
Mobil melaju menuju rumah
Mang Bajing..... melalui rel seperti yang di ceritakan nenek-nenek waktu itu.
Pos Desa Talaga Sari, saya terkesima membacanya. Sampailah kami di desa Talaga
Sari. Mang Bajing sedang tidak ada di rumah. Akhirnya Bibi sibuk memasak,
memotong ayam, memetik dedaunan untuk kami makan. Katanya sabil menunggu Mang
Bajing. Anak-anak kami biarkan bermain keliling kampung. Utu datang dengan
membawa sekeranjang peuh buah harum manis yang matang pohon, segar dan
besar-besar.
“dikasih siapa”, tanyaku.
“kakek itu mah, tadi
ketemu di jalan”, jawab Utu polos.
Tak sempat berpikir
banyak, akau hanya mengiyakan saja.
Sesampai nya di rumah, “besok
mau munggah puasa, makanya di hidangkan ayam untuk Nyai”, Ucap Ibu Ratu Nyi Mas
Ayu Gandasari lembut....... Haturnuhun.....
hanya itu yang dapat terucap!.
“Nyai itulah pintu Wetan
kaRAton nagaRA goib Tatar Sunda”, jelas nya lagi!.
Aku bingung tak mengerti
dan hanya bis mengucap “HATURNUHUN”.
Teman baik saya, tetangga
meminjam mobil untuk mngajak anak-anaknya berwisata ke pantai Carita. Saya dan
anak perempuan saya ikut serta. Kami diizinkan pergi asal yang nyupir Pak
Subur.
Sesampai nya di pantai
Carita, Keke nama anak kami langsung membeli serokan untuk mengambil ikan,
murah hanya lima ribu rupiah. Penjualnya seorang anak laki-laki.
Saya tidak terlalu
memperhatikan anak laki-laki itu. Ia datang kembali dengan botol kemasan air
minum bekas yang berisi ikan “nemo” warna kuning hitam, anak cumi dan beberapa
jenis ikan laut lainnya. Keke sangat gembira menerima pemberian itu. Riska merasa
ingin memiliki nya juga dan ia minta kepada anak penjual saringan itu, ikut
membeli saringan, “Nanti bayarnya kalau kamu sudah bawain aku yang kayak gitu”,
sambil menunjuk botol bekas air mineral berisi ikan hidup. Anak itu berlari
kecil.
Sore hari anak kecil itu
baru kembali menagih uang saringan yang belum di bayar Riska, dan tidak
membawa apapun.
Sesampainya di rumah, “karena
Nyai bawa anak kecil, yang gasuhnya juga anak kecil”.
Haaah..... saya
terheran-heran dan baru sadar bahwa anak kecil yang membawa botol bekas air
mineral berisi ikan-ikan cantik dan anak cumi itu bukan manusia biasa!!!. Saya
hanya bisa berucap “Haturnuhun”.
Berlibur ke Bandung dan
seakan belum lengkap kalau tidak pergi ke Lembang dan di teruskan ke Tangkuban
Parahu. Cuaca mendung di dekat kawah Ratu. Kami tidak berani turun dari mobil.
Tak lama kami di sana dan memutar arah balik ke Maribaya.
Pos loket Maribaya, smbil
menunggu saya melihat sekeliling, ukiran wajah raksasa di dinding dekat pintu masuk, saya tidak terlalu
memperhatikan detail.
Sesampainya di rumah.
“Nyai, siluman berkeliaran
di seputar Gunung Tangkuban Parahu dan Eyang menjaga supaya siluman itu tidak
keluar/turun gunung, karena belum di bayar. Bisa berbahaya bagi manusia”.
“Eyang hidup di dunia saat
kejadian itu, dan tadi Nyai melihat ukiran kepala raksasa di Maribaya?, itulah penjara nagaRA goib Tatar Sunda, dan
ada satu lagi!. Nanti bila tiba saat waktunya Nyai bakal tahu”, ucap Eyang Saka
Domas.... lembut.
Tak ada kata yang terucap
dari mulut saya, selain bengong tak mengerti!.
Perjalanan dari Bekasi ke
Bandung melalui Purwakarta ..... Wanayasa..... SagalaHerang!.
“Nyai bersihkeun hate!”, ujar Prabu Kian Santang.
Bingung!, kami Katolik.
Ritual di gereja adalah mendengarkan Pastur berkotbah, dan tidak pernah
teringat dalam pikiran saya ajaran untuk memberihkan hati!.
“Sing
loba nga “doa”, nga “doa” ngadeuketkeun hate ka Gusti”, papatah dari
Eyang Prabu Kian San Tang.
“Nyai
ucapkeun doa “Ngahaturkeun hatur nuhun sareng hatur
hormat nu sa ageng-agengna ka Gusti nu maha luhung”.
“Yaaa Allah yaa Gusti Nyuhun keun hampura na............”,
ajar Eyang Hasan Mughni.
Saya
berdoa seperti yang di ajarkan, saya berdoa “ngahampurakeun” orang-orang yang
membenci saya.
“tah
kitu Nyai sing bersih hate”, sapa Eyang
Prabu Kian San Tang.
Ooooo...
jadi maksud nya membersihkan hati adalah dengan memaafkan orang yang berbuat
jahat kepada kita, pikir ku sederhana saja.
“Nyai, hati bersih, hati bodas, hate caang!, Hate Urang Caang hirup
urang oge caang!. Hirup urang caang, SAGALA
HERANG!”,tambah Eyang
Prabu Kian San Tang.
Patitah,
papatah sareng Talatah yang adi ajarkan
Eyang PRAbu Kian Sang Tang Dipati Anom CakRADiningRAt.
Astagfirullah.......
Nyai... eta mah basa Arab,
basa Sunda na mah “Sukur, haturnuhun, hampura”, kata Eyang Wijaya Nata Kesuma.
Eyang Wijaya Nata Kesuma
hidup di saat Bupati Cianjur I, Eyang Aria Wirata Nu Datar, ayahanda dari Eyang Haji Surya Kencana.
“Nyai Eyang Haji bade dongkap, ayeuna Eyang Haji
nuju di Cirebon”, kata Eyang Haji Surya Asih yang baik.
Hanya dalam hitungan detik
Eyang Haji Sutyakencana sudah datang.
“Nyai nu kagungan rizki
mah ihwal ti Gusti nu Maha Luhung”.
“Barokah ti Eyang”,
kata Eyang Haji Suryakencana teh.
Haahh, tergagap bengong.
Hanya ucapan terima kasih yang terucap dalam hati.
“Nyai ulah sieun rizki
moal di putus”, kata Eyang Wijaya Nata Kesuma.
“Nyai ulah sieun ku duit”,
ujar Eyang Prabu Kian San Tang.
“Ulah nyalahkeun kolot”,
kata Eyang Prabu Kian San Tang.
“Sing tawakal Nyai“,kata Eyang
Maulana Malik Ibrahim.
“Sing sabar”, kata Eyang
SakaDomas.
“Hirup kudu di tata”, kata
Eyang Haji Surya Padang.
“nulungan ka jalma nu ngarti hatur nuhun”, kata Eyang Haji Surya
Padang.
“Sing bageur, ........”,
kata Ibu Ratu Prabu Galuh.
Eyang Nangka Beurit, “Eyang
ngawakilan Eyang nu kolot ti Tatar Sunda masihan barokah ka Nyai”.
Ibu Ratu Prabu Galuh, “Ibu
mewakili semua Ibu Ratu Prabu di Tatar Sunda, masihan barokah ka Nyai”.
Eyang Prabu
Ciung Wanara,”Nancepkeun paku bumi teu izin”. (Tol km 91 yang longsor terus).
Eyang Wijaya Nata Kesuma, “Eyang di Tatar Sunda aya 1122, urang Tatar
Sunda upami, 1 nya 1 upami 2 nya 2”. (maksudnya Orang Tatar Sunda Tegas dan
jujur).
Eyang Watu Wangi
Eyang Purbajaya,
Mbah Buyut Sentayam,
Eyang Jaga Paksa,
Eyang Jaga Riksa,
Eyang Jaga Raksa,
Eyang Jaga Lawang
Eyang Gajah Panamur, Eyang nu ngatur gunug-gunung di Tatar Sunda
Eyang Sakti
Eyang Prabu Sakti
Eyang Mancala Putra Mancala Putri
Eyang Raden Merah Putih
Eyang Hariang Bangga
Eyang Kidang Pananjung
Eyang Hariang Kancana
Eyang Sanghyang Boros Ngora
Eyang Ibu Ratu Ni Mas Ayu Gandasari
Eyang Ibu Ratu Nyi Roro Kidu, Eyang nu kagungan lauk
Eyang Hasan Mughni
Eyang Prabu Belang
Eyang Prabu Sancang V
Eyang Jaya
Eyang Sulaeman Jaya
Eyang Haji Gelang Kencana/Mbah Jalun/Eyang Sulaeman Patih, Eyang nu ngatur cai
Eyang Pandan Aran
Eyang Jubleg Putih
Eyang Pura-pura Kali
Di Gunuug Gede, sembilan Karuhun Tatar Sunda.
Eyang Haji Surya Kancana
Eyang Haji Surya Asih
Eyang SakaDomas
Eyang Prabu Ciung Wanara
Eyang Prabu Hariang Bangga
Eyang Raden Merah Putih
Eyang Pura-pura Kali
Eyang Jubleg Putih
Eyang Jabat Putih
Di Gunuug Gede, sembilan Karuhun Tatar Sunda.
Eyang Haji Surya Kancana
Eyang Haji Surya Asih
Eyang SakaDomas
Eyang Prabu Ciung Wanara
Eyang Prabu Hariang Bangga
Eyang Raden Merah Putih
Eyang Pura-pura Kali
Eyang Jubleg Putih
Eyang Jabat Putih
Ngahaturkeun haturnuhun ka sakabeh Eyang anu aya di kaRaton nagaRA goib
Tatar Sunda yang telah mendampingi saya ziarah di dunia fana ini.
“Nyai hirup di dunya mah ngan sakeudeung”, kata Eyang Wijaya Nata
Kesuma.
Sampurasun…………………….Terimalah sembah sujudku.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar