Sabtu, 15 Oktober 2016

"BADUY", tidak tersentuh globalisasi


Sumber : https://ncepborneo.wordpress.com


foto http://www.bantenwisata.com
“Urang Sunda Kanekes” , atau suku Baduy penganut Agama & Kapercayaan.
Sunda Wiwitan. Wiwitan memliki arti permulaan, awal, pokok, jati.   
Nama  Pangeran:
Sang Hiyang Keresa (Nu Maha Kuasa),
Nu ngersakeun (Yang Maha Menghendaki).
Sebutan lainnya adalah :Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa),
Batara Jagat (Tuhan Penguasa Alam),
Batara Seda Niskala (Tuhan Yang Maha Gaib).

Tempat Pangeran: Buana Nyungcung semua dewa dalam  konsep agama Hindu (Brahmana, Syiwa, Wisnu, Indra, Yama,jrrd) tunduk pada Batara Seda Niskala.

Konsep Alam menurut  mitologi atau kosmologi “Urang Sunda Kanekes” ada tiga:
1.Buana Nyungcung, tempat bersemayam  Sang Hiyang Keresa, tertinggi.
2.Buana Panca Tengah, tempat mahluk hidup.
3.Buana Larang , neraka, terendah.

Antara Buana Nyungcung dan  Buana Panca Tengah, ada 18 lapisan.
Lapisan tertinggi, namanya Buana Suci Alam Padang, disebut Alam Kahiyangan atawa Mandala Hiyang, tempat bersemayam  Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan  Sunan Ambu.
Sang Hiyang Keresa memiliki tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana:
Batara Cikal, dianggap leluhur “Urang Sunda Kanekes (Baduy).
Sang Hiyang Keresa: Wisawara, Wisnu dan Brahma.

Buana Panca Tengah di bagi menurut kesuciannya
1.Sasaka Pusaka Buana, dianggap paling suci, setara Sasaka Domas (Salaka Domas), sebagai pusat dunia.
2.Kampung Jero, Pusat lingkungan Desa Kanekes
3.Kampung Luar/panamping/penyangga/bumper, Desa Kanekes, jadi pusat Banten
4.Banten, jadi pusat Sunda
5.Tanah Sunda
6.Luar Tanah Sunda
Aturan Hidup: Papatah, Papatah dan talatah.
Ritual/Upacara: ngukus/sesajen, muja, ngawalu, ngalaksa.

Muja

Muja diadakan  di Sasaka Pusaka Buana dan  Sasaka Domas pada waktu yang berbeda.
Di Sasaka Pusaka Buana satu tahun  sekali, selama tiga hari pada tanggal 16, 17, 18 bulan Kawolu (bulan kalima numutkeun sistim kalender Urang Kanekes.).
Muja dipimpin oleh Puun Cikeusik.:

  • Hari pertama rombongan upacara berangkat ke “ranggon”.  
  • Pagi hari, mandi dan keramas terus berangkat ke Sasaka Pusaka Buana  dar arah Utara. Upacara muja dilakukan pada  undakan pertama, menghadap bukit sampai tengah hari. Terus membersihkan badan dambil merapikan palataran undakan. Setelah itu mencuci tangan dan kaki di batu Sang Hiyang Pangumbahan.
  • Terus naik ke puncak pasir/bukit. Di situ  rombongan mengambil lumut/komala/permata yang nempel pada batu yang  dipercaya bisa mendatangkan berkah.

Buyut/Pamali/Tabu ada dua jenis:
1.Buyut Adam Tunggal
2.Buyut Nuhun

Pamali/tabu mengandung unsur:
a.melindungi kasucian dan kemurnian suka manusa
b.melindungi kemurnian mandala/tempat  tinggal
c.melindungi tradisi

Hukuman atau sanksi  pelanggaran adalah hukuman pengasingan, yang di sebut  “Panyapuan”.
Konsep Daur Hirup Sukma atau roh manusia berasal dari Kahiyangan, kalau hidup di Buana Panca Tengah selesai,  sukma kembali ke Kahiyangan (ngahiyang). Waktu sukma turun dari Kahiyangan ke Buana Panca Tengah, kondisinya rahayu, bagus/bersih/suci, berusaha tetap bagus/bersih/suci seperti itu saat kembali.
Bila kotor karena banyak melanggar  buyut/pamali, akan masuk ke naraka.
Bagus atau jelek nya sukma waktu kembali tergantung pada amal perbuatan di Buana Panca Tengah saat hidup bersama-sama dalam tugas hidup masing2. Dalam raga ada  tugas, sukma dibekali 10 indra.

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
Kontak mereka dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes.
Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna,1993).
Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten.
Di bidang pertanian penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. 
Perdagangan  pada waktu  lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Disamping itu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki syair-syair atau pantun-pantun. Syair ataupun pantun tersebut menggunakan bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam lisan sehari-hari Baduy tapi mengandung pituah, perintah, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno. Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat mempertahankan adat mereka serta memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa.

Mantra

Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu. 
Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. “Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong” (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). 
Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :
Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapun
Meunag Ahung tujuh kali
Ahung deui
Ahung deui
Ahung malungga
Ahung malingga
Ahung mangdegdeg
Ahung mangandeg
Ahung manglindu asih
Ka Ambu aing Sira mangambung
Ka Bapa aing Sira mangumbang
Pangjungjungkeun panglawungkeun
Ku Ambu aing sira manglaung
Ku Bapa aing sira mangumpang
Pangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing saba
Ka luhur ka mega beureum
Ka mega hideung
Ka mega si karambangan
Ka mega si kareumbingan
Ka mega si karenten
Ka mega si kalambatan
Ka mega si kaleumbitan
Ka mega ssi antrawela
Ka kocapna
Ka ucapna
Ka Puncakning ibun
Ka guru putra hiyang bayu
Ka nu weang nyukcruk ibun
Ahung…….
Tingkatan mantra yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. Dalam tradisi Adat Sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:
Weweg sampeg, Mandala pageuh
Mangka tetep mangka langgeng
Mangka langgeng tunggal tineung
Datang hiji datang dua
Datang tilu nungku nungku
Datang opat ngawun ngawun
Datang lima lingga emas
Datang genep nguren nguren
Datang tujuh lilimbungan
Puluhan tanpa wilangan
Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:
Calik calik nu geulis
Nyai Sri calik di dieu
Unggah ka pasaran lega
Geusan sia gagayahan
Geusan sia gagayahan
Di gedong manik mandala pageuh
Lemut teuing ku buruanana
Lesang teuing ku bojana
Nu geulis ranggeuy mirikiniknik
Bar ngampar ku samak metruk
Gasan bujang kasangna bagus
Gasan Nyai tes netepan
Ngajepret palisir bodas
Mantra dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada saat ziarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya yang cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya. Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu ziarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.
Pikukuh, adalah Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).

Arca domas

Objek terpenting dalam kaitannya dengan sistem religi Orang Baduy adalah Sasaka Domas. Objek itu sangatlah bersifat rahasia dan sakral, karena merupakan objek pemujaan paling suci bagi Orang Baduy. Bahkan Orang Baduy sendiri hanya setahun sekali yaitu pada bulan Kalima (upacara muja) dan orang terpilih oleh puun saja yang boleh ke sana. Tempat pemujaan itu merupakan sebuah bukit yang membentuk punden berundak sebanyak tujuh tingkatan, makin ke selatan undak-undakan tersebut makin tinggi dan suci.
Dinding tiap-tiap undakan terdapat hambaro (benteng) yang terdiri atas susunan batu tegak (menhir) dari batu kali. Pada bagian puncak punden terdapat menhir dan arca batu. Arca batu inilah yang dikenal dengan sebutan Sasaka Domas (kata ?domas? berarti keramat/suci). Sasaka Domas digambarkan menyerupai bentuk manusia yang sedang bertapa. Arca ini terbuat dari batu andesit dengan pengerjaan dan bentuk yang sangat sederhana (seperti arca tipe polinesia atau arca megalitik). Sasaka Domas ini terletak di tengah hutan yang sangat lebat tidak jauh dari mata air hulu sungai Ciujung. Kompleks Sasaka Domas ini meliputi areal sekitar 0,5 hektar dengan suhu yang sangat lembab, sehingga batu-batu yang ada di sana semuanya berwarna hijau ditumbuhi lumut.
Objek religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi Masyarakat Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.

Kalau boleh dikatakan Kanekes atau Baduy merupakan :Kaum berdikari yang seharusnya menjadi contoh Indonesia.
CINTA warisan nenek moyang dan alam, berdikari dan jauh daripada hidup moden. Begitulah kaum Baduy di Banten, wilayah baru di Indonesia (sejak dipisahkan secara rasmi daripada wilayah Jawa Barat pada 2000).
Banten juga terkenal sebagai wilayah ‘seribu pendekar’ kerana pernah mempunyai para wira yang hebat. Suku Baduy terdapat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Mereka telah menarik perhatian luas pelancong ke Indonesia. Hukum adat mereka melarang masyarakat Baduy berhubungan dengan dunia luar termasuk hal-hal yang berbau kemodenan. Jika ada yang melanggar peraturan ini, orang itu akan disingkirkan.
Baduy Dalam sangat ketat menghormati warisan nenek moyang dan mereka sangat patuh terhadap peraturan agar tidak berhubung secara aktif dengan luar dan kalau ada yang melanggar hukum, mereka akan disingkirkan. Baduy Luar pula sudah mula berinteraksi dengan budaya luar dan kemodenan.
Untuk menegakkan peraturan adat ini, suku Baduy Dalam mempunyai upacara tahunan yang disebut Pun Sapun yang memuja alam.
Setelah upacara, ia dilanjutkan dengan pemeriksaan dari rumah ke rumah untuk memastikan bahawa tiada keluarga yang mempunyai barang-barang dari luar seperti televisyen, radio atau barangan yang menandakan kemodenan. Jika ditemui, anggota Baduy Dalam akan dikenakan tekanan menurut peraturan adat termasuk disingkirkan.
Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar akan jelas terpapar pada pakaian berdasarkan status sosial, tingkat umur dan peranan. Umumnya, Baduy Dalam berpakaian putih atau cerah dan Baduy Luar berpakaian hitam atau gelap.
Masyarakat Baduy sangat patuh kepada pemimpin adat mereka yang digelar Puun.Puun mempunyai tugas untuk melestarikan hukum adat dan mengatur tatacara kehidupan suku. Apa pun yang dikatakan ketua adat akan dipatuhi oleh anggota masyarakat Baduy. Puun juga memerhati peredaran bintang untuk mengatur penanggalan (kalendar Baduy) yang berfungsi, terutamanya, untuk mengetahui masa bercucuk tanam. Ciri lain yang menonjol daripada suku Baduy ialah pola hidupnya yang sangat sederhana dan tidak mengharapkan bantuan daripada luar.
Masyarakat ini sangat berdikari dengan berladang. Mereka menanam pelbagai jenis tanaman, termasuk kapas. Aktiviti berdagang dilakukan secara tukar ganti (barter).Untuk keperluan seperti pakaian, mereka menenun kain sendiri (pekerjaan utama kaum wanitanya). Suku Baduy sangat kreatif dalam menghasilkan tenunan dan kerja tangan seperti Koja dan Jarog (beg yang diperbuat daripada kulit kayu).
Selain patuh kepada ketua adat atau Puun, mereka juga masih menghargai ketua pemerintah setempat di luar seperti camat (penghulu) atau bupati (pegawai daerah). Bukti hormat jelas terpapar pada upacara tahunan, Seba kepada Bapak gede. Upacara ini ditanda dengan penyerahan (ufti) hasil tuaian masyarakat Baduy kepada camat Leuwidamar dan Bupati Lebak.
Suku Baduy sangat menghargai alamnya. Mereka menjaga, melindungi dan melestarikan tanaman dan pohon serta hutan di sekitar mereka dengan sangat ketat. Bahkan, mereka mempunyai larangan yang sangat ketat untuk tidak memasuki ‘hutan larangan’ yang dikatakan terdapat di daerah di beberapa hulu sungai di Banten.
Arca Domas yang biasa disembah di hutan larangan. Kononnya, arca itu diperbuat daripada emas tulen. Apakah arca ini merupakan dongeng atau betul-betul ada. Yang pasti, tiada seorang pun dapat sampai ke tempat ini tanpa izin Puun.
Baduy menyambut Ngalaksa yang dikatakan serupa dengan Hari Raya Puasa (atau Lebaran menurut Muslim Indonesia) sebagai tanda rasa syukur kepada Tuhan. Ia disambut setelah masyarakat Baduy berpuasa tiga bulan atau Kawalu. Ketika Kawalu, Baduy Luar atau Baduy Dalam dilarang keras terhubung dengan masyarakat luar. Masyarakat Baduy patuh kepada pemimpin. 
Ketika krisis ekonomi melanda kenaikan harga makanan, Baduy dapat dijadikan contoh dari segi daya berdikari dan kreativitas.
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!

Ahuuung !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar