Sumber : https://ncepborneo.wordpress.com dan lainnya.
“SUNDAYANA vs GOSPEL”
OR
“SIRIAN VS ANNUNAKI”
lebih dari 1 miliar Sirians telah menjelma
ke bumi saat ini!
Sirians yang menjelma di Asia, Mesir,
Amerika Selatan dibangun dan berkembang dari kerajaan kuno.
![]() |
| Sirian dipersonifikasikan "SI(rius)TUMANG/" dalam Mitos Dayang Sumbi dan Sangkuriang. . |
Kesalah-kaprahan dalam
memahami “Sunda” sebagai nama sebuah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang tinggal
di pulau Jawa bagian Barat telah berakibat fatal dan tragis, menghancurkan peradaban
manusia dari ajaran luhung umat manusia secara global. Ajaran Sunda atau
Sundayana berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap
segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Matahari telah menjadi
sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa
Matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sunda berkiblat kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit, dan kiblat agama Sunda itu bukan diciptakan oleh manusia.
Matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sunda berkiblat kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit, dan kiblat agama Sunda itu bukan diciptakan oleh manusia.
Sundayana menyebar ke
seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan
di Australia tidak terlalu menampak.
![]() |
| Sirius, Feminim Ilahi, Ibu Bumi |
![]() |
| Artefak ribuan tahun lalu. |
Sekitar abad ke XV
kebudayaan agung bangsa Amerika latin mengalami keruntuhan setelah datangnya
paramissionaris Barat yang membawa misi
Gold(annunaki), Glory dan Gospel. Tujuan
utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan)
sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka
bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa. Merampas kecerdasan dan kebijaksanaan, antara lain, termasuk kualitas kemanusiaan itu sendiri. Selanjutnya, bagian dari cuci otak untuk mendapatkan orang-orang untuk menerima cerita tentang Yesus Kristus,yang secara signifikan kisah matahari-itu adalah "mitos" tampaknya seperti cerita bodoh tanpa dasar dalam kenyataan. pemrograman mental atau "meme" telah ditampilkan berlimpah, tetapi kenyataannya adalah bahwa mitos bukan fantasi belaka atau halusinasi. Cerita Mitos yang dirancang untuk menyampaikan informasi penting dari generasi ke generasi. Hal ini lebih mudah untuk mengingat "eksploitasi" dari matahari, bulan dan bintang, misalnya, ketika mereka dipersonifikasikan dan mengatakan dalam sebuah cerita menyenangkan daripada ketika disajikan dalam disertasi kering. Hanya ketika pengetahuan, atau gnosis, telah kehilangan bahwa manusia mulai percaya entitas ini menjadi orang-orang nyata -dan gnosis itu sangat efektif didorong dari bawah tanah oleh agama terorganisir, sehingga mitos itu hilang dari generasi ke generasi.
Propaganda yang mereka
beritakan tentang perilaku biadab agama Matahari dan kelak dipercaya oleh
masyarakat dunia adalah bahwa; “suku terasing penyembah matahari itu pemakan
manusia”, hal ini mirip dengan yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah
lainnya di Indonesia.
Dibalik propaganda
tersebut maksud sesungguhnya
kedatangan para ‘penyebar agama’ itu adalah perampokan kekayaan alam dan
perluasan wilayah jajahan (imperialisme), sebab mustahil bangsa
yang sudah “beragama” harus ‘diagamakan’ kembali dengan ajaran
yang tidak berlandas kepada nilai-nilai kebijakan dan kearifan lokalnya.
Tatar SUNDA adalah
jagat/bumi yang mendapat cahaya Matahari dengan ajaran “SUNDAYANA”.
Tatar “SUNDA” sama sekali bukan daerah kecil yang terletak di Jawa Barat.
Pada jaman dahulu luas Tatar Sunda sama dengan luas Bumi atau boleh jadi hampir sama dengan luas keberadaan ajaran Sunda (Matahari).
Ajaran Sunda dalam silib-siloka “Panah Chakra”
“Ajaran Sunda” di dalam cerita pewayangan
dilambangkan dengan Jamparing Panah Chakra, yaitu ‘raja segala
senjata’ milik Sang Hyang Wisnu yang dapat mengalahkan sifat jahat dan
angkara-murka, tidak ada yang dapat lolos dari bidikan JamparingPanah
Chakra. Maksudnya adalah;
– Jamparing = Jampe Kuring
– Panah = Manah = Hati (Rasa Welas-Asih)
– Chakra atau Cakra =
Titik Pusaran yang bersinar/ Roda Penggerak Kehidupan (‘matahari’).
– Secara simbolik gendewa (gondewa)/busur merupakan bentuk bibir yang sedang
tersenyum (?).
Panah Chakra di Jawa Barat biasa
disebut sebagai“Jamparing Asih” maksudnya adalah “Ajian Manah nu
Welas Asih” (ajian hati yang lembut penuh dengan cinta-kasih). Dengan
demikian maksud utama dari Jamparing Panah Chakra atau Jamparing
Asih itu ialah “ucapan yang keluar dari hati yang welas asih dapat
menggerakan roda kehidupan yang bersinar”.
![]() |
| Ibu Lemah Cai, Ibu Bumi, Ibu Pertiwi |
Keberadaan Panca Dewa kelak disilib-silokakan
(diperlambangkan) ke dalam kisah “pewayangan” dengan tokoh-tokoh baru melalui
kisah Ramayana(Ajaran Rama) serta kisah Mahabharata pada tahun
+/-1500 SM; Yudis-ti-Ra, Bi-Ma, Ra-ju-Na, Na-ku-La, dan Sa-Dewa. Kelima
cahaya itu kelak dikenal dengan sebutan “Pandawa” singkatan dari
“Panca Dewa” (Lima Cahaya) yang merupakan perlambangan atas sifat-sifat kesatria
negara. Istilah “wayang” itu sendiri memiliki arti “bayang-bayang”, maksudnya
adalah perumpamaan dari kelima cahaya tersebut di atas.
Selama ini
cerita wayang selalu dianggap ciptaan bangsa India, hal tersebut ternyata salah, karena Alengka dalam cerita Ramayana adalah yang sekarang disebut Majalengka, di JawaBarat, dan bukti lain-lainnya pasti akan menyusul .
Artinya kemungkinan terbesar adalah bangsa
India telah berjasa melakukan pencatatan tentang kejadian besar yang pernah ada
di Bumi Nusantara melalui kisah pewayangan dalam cerita
epos Ramayana dan Mahabharata. Logika sederhananya adalah; India dikenal sebagai
bangsa Chandra (Chandra Gupta) sedangkan Nusantara dikenal sebagai
bangsa Matahari (Ra-Hyang), dalam hal ini tentu
Matahari lebih unggul dan lebih utama ketimbang Bulan. India diterangi atau
dipengaruhi oleh ajaran dan kebudayaan Nusantara.
Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa
bukti (jejak) peninggalan yang maha agung itu di Bumi Nusantara telah banyak
dilupakan, diselewengkan hingga dimusnahkan oleh bangsa Indonesia sendiri
sehingga pada saat ini kita sulit untuk membuktikannya melalui “kebenaran
ilmiah”.
Berkaitan dengan persoalan “Pancawarna”,
bagi orang-orang yang lupa kepada “jati diri” (sebagai bangsa Matahari) di
masyarakat Jawa-Barat dikenal peribahasa “teu inget ka Purwa
Daksina…!” artinya adalah “lupa kepada Merah-Putih” (lupa akan kebangsaan/
tidak tahu diri/ tidak ingat kepada jati diri sebagai bangsa NusantaRA penganut
ajaran Sunda).
Banyak orang Jawa Barat mengaku dirinya
sebagai orang “Sunda”, mereka mengagungkan “Sunda” sebagai genetika biologis
dan budayanya yang membanggakan, bahkan secara nyata perilaku diri mereka yang
lembut telah menunjukan kesundaannya(sopan-santun dan berbudhi), namun
unik dan anehnya mereka ‘tidak mengakui’ bahwa itu semua adalah hasil didikan Agama Sunda yang telah mereka warisi dari para leluhurnya
secara turun-temurun, seolah telah menjadi genetika religi pada diri
manusia Nusantara.
Masyarakat Jawa Barat tidak menyadari (tidak
mengetahui) bahwa perilaku lembut penuh tata-krama sopan-santun dan berbudhi
itu terjadi akibat adanya “ajaran” (agama Sunda) yang mengalir di dalam darah
mereka dan bergerak tanpa disadari (refleks). Untuk mengatakan kejadian
tersebut para leluhur menyebutnya sebagai;
“nyumput buni di nu caang” (tersembunyi
ditempat yang terang) artinya adalah; mentalitas, pikiran, perilaku, seni, kebudayaan,
filosofi dll. yang mereka lakukan sesungguhnya adalah hasil didikan agama Sunda
tetapi si pelaku sendiri tidak mengetahuinya.
Inti pola dasar ajaran Sunda adalah “berbuat
baik dan benar yang dilandasi oleh kelembutan rasa welas-asih”. Pola
dasar tersebut diterapkan melalui Tri-Dharma (Tiga Kebaikan) yaitu
sebagai pemandu ‘ukuran’ nilai atas keagungan diri seseorang/ derajat manusia
diukur berdasarkan dharma (kebaikan) :
- Dharma Bakti, ialah seseorang yang telah
menjalankan budhi kebaikan terhadap diri, keluarga serta di lingkungan
kecil tempat ia hidup, manusianya bergelar “Manusia Utama”.
- Dharma Suci, ialah seseorang yang telah
menjalankan budhi kebaikan terhadap bangsa dan negara, manusianya bergelar
“Manusia Unggul Paripurna” (menjadi idola).
- Dharma Agung, ialah seseorang yang telah
menjalankan budhi kebaikan terhadap segala peri kehidupan baik yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, yang tercium, yang tersentuh dan
tidak tersentuh, segala kebaikan yang tidak terbatasi oleh ruang dan
waktu, manusianya bergelar “Manusia Adi Luhung” (Batara Guru)
Nilai-nilai yang terkandung di
dalam Tri-Dharma ini kelak menjadi pokok ajaran
“Budhi-Dharma” (Buddha)yang mengutamakan budhi kebaikan sebagai bukti dan
bakti rasa welas-asih terhadap segala kehidupan untuk mencapai
kebahagiaan, atau pembebasan diri dari kesengsaraan.
Ajaran ini kelak dilanjutkan dan dikembangkan
oleh salah seorang tokoh Mahaguru Rasi Shakyamuni – Sidharta Gautama
(‘Sang Budha’), seorang putra mahkota kerajaan Kapilawastu di Nepal –
India.
Pembentukan Tri-Dharma Sunda
dilakukan melalui tahapan yang berbeda sesuai dengan tingkatan umurnya (?)
yaitu :
- Dharma Rasa, ialah mendidik diri untuk
dapat memahami “rasa” (kelembutan) di dalam segala hal, sehingga mampu
menghadirkan keadaan“ngarasa jeung rumasa” (menyadari rasa dan
memahami perasaan). Dengan demikian dalam diri seseorang kelak muncul
sifat menghormati, menghargai, dan kepedulian terhadap sesama serta
kemampuan merasakan yang dirasakan oleh orang lain (pihak lain), hal ini
merupakan pola dasar pembentukan sifat “welas-asih” dan
manusianya kelak disebut “Dewa-Sa”.
- Dharma Raga, adalah mendidik diri dalam bakti
nyata (bukti) atau mempraktekan sifat rasa di dalam hidup sehari-hari
(*bukan teori) sehingga kelak keberadaan/ kehadiran diri dapat diterima
dengan senang hati (bahagia) oleh semua pihak dalam keadaan “ngaraga
jeung ngawaruga”(menjelma dan menghadirkan). Hal ini merupakan pola dasar
pembentukan perilaku manusia yang dilandasi oleh kesadaran rasa dan
pikiran. Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini
disebut “Dewa-Ta”.
- Dharma Raja, adalah mendidik diri untuk
menghadirkan “Jati Diri” sebagai manusia “welas-asih” yang
seutuhnya dalam segala perilaku kehidupan “memberi tanpa diberi”
atau memberi tanpa menerima (tidak ada pamrih). Tingkatan ini
merupakan pencapaian derajat manusia paling terhormat yang patut dijadikan
suri-teladan bagi semua pihak serta layak disebut (dijadikan) pemimpin.
Ajaran
Sunda berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang menerangi dan
membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan
tanpa membeda-bedakan.
Matahari telah menjadi sumber utama yang
mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa Matahari segalanya hanyalah
kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sunda berkiblat kepada
Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang
ada di langit, dan kiblat agama Sunda itu bukan diciptakan oleh
manusia.
Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di
wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu
menampak. Oleh masyarakat Barat melalui masing-masing kecerdasan kode berbahasa
mereka ajaran Matahari ini diabadikan dalam sebutan SUNDAY (hari
Matahari), berasal dari kata “Sundayana” dan bangsa Indonesia lebih mengenal Sunday itu
sebagai hari Minggu.
Di wilayah Amerika kebudayaan suku Indian,
Maya dan Aztec pun tidak terlepas dari pemujaan kepada Matahari, demikian pula
di wilayah Afrika dan Asia, singkatnya hampir seluruh bangsa di dunia mengikuti
ajaran leluhur bangsa Galuh Agung (Sunda Nusantara) yang berlandaskan kepada
tata-perilaku berbudhi dengan rasa “welas-asih” (cinta-kasih).
Jejak keberadaan ajaran agama Sunda yang
kemudian berkembang hingga saat ini terekam dalam kebudayaan masyarakat Roma
(kerajaan Romawi) yang menetapkan tanggal 25 Desember sebagai “Hari
Matahari” (Sunday) yaitu hari pemujaan kepada Matahari (Sunda) dan
kini masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai hari “Natal”.
Oleh bangsa Barat (Eropa dan Amerika)
istilahSundayana ‘dirobah’ menjadi Sunday sedangkan di Nusantara
dikenal dengan sebutan “Surya” (*Bangsa Arya ?) yang berasal dari tiga suku
kata yaitu Su-Ra-Yana, bangsa Nusantara memperingatinya dalam upacara
“Sura” (Suro) yang intinya bertujuan untuk mengungkapkan rasa menerima-kasih
serta ungkapan rasa syukur atas “kesuburan” negara yang telah memberikan
kehidupan dalam segala bentuk yang menghidupkan; baik berupa makanan, udara,
air, api (kehangatan), tanah, dan lain sebagainya.
Pengertian Surayana pada hakikatnya
sama saja dengan Sundayana sebab mengandung maksud dan makna yang
sama.
–
SU = Sejati
–
RA = Sinar/ Maha Cahaya/ Matahari
–
YANA = way of life/ ajaran/ ageman/ agama
Maka arti “Surayana” adalah sama
dengan “Agama Matahari yang Sejati” dan dikemudian hari bangsa
Indonesia mengenal dan mengabadikannya dengan sebutan “Sang Surya” untuk
mengganti istilah “Matahari”.
Perobahan istilah “Sunda”
Sekilas gambaran di atas boleh jadi hanya
bersifat ngatuk (mencocok-cocokan), namun mustahil jika kemiripan penanda (sebutan
dan objek) itu terjadi dengan sendirinya tanpa sebab, selain itu terjadi pula
kemiripan pada nilai-nilai yang bersifat prinsip dan mustahil pula jika tidak
ada yang memulai dan mengajarkannya. Tentu “tidak mungkin ada akibat jika tanpa
sebab” (hukum aksi-reaksi), dalam pepatah leluhur bangsa Nusantara menyebutkan
“tidak ada asap jika tidak ada api” atau “mustahil ada ranting jika tidak ada
dahan” maka segalanya pasti ada yang memulai dan mengajarkan.
5000 tahun sebelum penanggalan Masehi di Asia
dalam sejarah peradaban bangsa Mesir kuno menerangkan
(menggambarkan) tentang keberadaan ajaran Matahari dari bangsa NusantaRA,
mereka menyebutnya sebagai “RA” yang artinya adalah Sinar/ Astra/ Matahari/
Sunda.
“RA” digambarkan dalam bentuk “mata” (dijadikan simbol iluminati)
dan diposisikan sebagai “Penguasa Tertinggi”
dari seluruh ‘dewa-dewa’ bangsa Mesir kuno yang lainnya, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa bangsa Mesir kuno-pun menganut dan mengakui Sundayana (Agama Matahari) yang dibawa dan diajarkan oleh
leluhur bangsa NusantaRA. (situs Gunung Padang dan Situs Batu Jaya, Karawang membuktikan
bahwa pyramid Gunung Padang dan Batu Jaya lebih tua dari pyramid di Mesir).
Disisi lain bangsa Indonesia saat ini mengenal
bentuk dan istilah “mata” (eye) yang mirip dengan gambaran “AMON-RA”
bangsa Mesir kuno, sebutan “amon”mengingatkan kita kepada
istilah “panon” yang berarti “mata” yang terdapat pada
kata “Sang Hyang Manon”yaitu penamaan lain bagi Matahari di masyarakat
Jawa Barat jaman dahulu (*apakah kata Amon dan Manon memiliki
makna yang sama?)
Selain di Asia (Mesir) bangsa Indian di
Amerika-pun sangat memuja Matahari (sebagai simbol leluhur, dan mereka menyebut
dirinya sebagai bangsa “kulit merah”) bahkan masyarakat Inca, Aztec dan Maya di
daerah Amerika latin membangun kuil pemujaan yang khusus ditujukan
bagi Matahari, hingga mereka menggunakan pola penghitungan waktu yang berlandas
pada peredaran Matahari, mirip dengan di Nusantara (pola
penanggalan Saka = Pilar Utama = Inti / Pusat Peredaran = Matahari).
![]() |
|
terletak di Amaruca
|
Secara filosofis, pola bentuk ‘bangunan’
menuju puncak meruncing (gunungan) itu merupakan perlambangan para Hyang(digunakan
sebagai simbol iluminati), yang ditinggikan atau diluhurkan, hal inipun
merupakan silib-siloka tentang perjalanan manusia dari “ada” menuju “tiada”
(langit), dari jelmamenjadi manusia utama hingga kelak menuju puncak
kualitas manusia adiluhung (maha agung).
Demikian pula yang dilakukan oleh suku Maya di
Mexico pada jaman dahulu, mereka secara khusus membangun tempat pemujaan
(kuil/pura) kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal).
Pada jaman dahulu hampir seluruh bangsa di
benua Amerika (penduduk asli) memuja kepada Matahari, dan hebatnya hampir semua
bangsa menunjukan hasil kebudayaan yang tinggi. Kemajuan peradaban dalam bidang
arsitektur, cara berpakaian, sistem komunikasi (baik bentuk lisan, tulisan,
gaya bahasa, serta gambar), adab upacara, dll.
Kemajuan dalam bidang pertanian dan peternakan
tentu saja yang menjadi yang paling utama, sebab hal tersebut menunjukan
kemakmuran masyarakat, artinya mereka dapat hidup sejahtera tentram dan damai
dalam kebersamaan hingga kelak mampu melahirkan keindahan dan keagungan dalam
berkehidupan (berbudaya).
Dalam pandangan penganut agama Sunda (bangsa NusantaRA)
yang dimaksud dengan “peradaban sebuah bangsa (negara)” tidak diukur
berdasarkan nilai-nilai material yang semu dan dibuat-buat oleh manusia seperti
bangunan megah, emas serta batu permata dan lain sebagainya melainkan
terciptanya keselarasan hidup bersama alam (keabadian).
Prinsip tersebut tentu saja sangat
bertolak-belakang dengan negara-negara lain yang kualitas geografisnya tidak
sebaik milik bangsa beriklim tropis seperti di Nusantara dan negara tropis
lainnya.
Leluhur NusantaRa mengajarkan tentang prinsip
kejayaan dan kekayaan sebuah negara sebagai berikut :
“Gunung
kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka
bagja rahayu sakabeh rahayatna”
(Gunung
harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, maka
tentram damai sentausa semua rakyatnya)
“Gunung
teu meunang dirempag, leuweung teu meunang dirusak”
(Gunung
tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak)
Kuil (tempat peribadatan) pemujaan Matahari
hampir seluruhnya dibangun berdasarkan pola bentuk “gunungan” dengan landasan
segi empat yang memuncak menuju satu titik. Boleh jadi hal tersebut berkaitan
erat dengan salah satu pokok ajaran Sunda dalam mencapai puncak kualitas bangsa
(negara) seperti Matahari yang bersinar terang, atau sering disebut
sebagai “Opat Ka Lima Pancer” yaitu; empat unsur inti alam (Api,
Udara, Air, Tanah) yang memancar menjadi “gunung” sebagai sumber kehidupan
mahluk.
Menilik bentuk-bentuk simbolik serta orientasi
pemujaannya maka dapat dipastikan bahwa piramida di wilayah Mesir-pun
sesungguhnya merupakan kuil Matahari (Sundapura). Walaupun sebagian ahli
sejarah mengatakan bahwa piramid itu adalah kuburan para raja namun perlu
dipahami bahwa raja-raja Mesir kuno dipercaya sebagai; Keturunan
Matahari/ Utusan Matahari/ Titisan Matahari/ ataupun Putra Matahari, dengan
demikian mereka setara dengan “Putra Sunda”(Utusan Sang Hyang Tunggal).
Untuk sementara istilah “Putra Sunda” bagi
para raja Mesir kuno dan yang lainnya tentu masih terdengar janggal
dan aneh sebab selama ini sebutan “Sunda” selalu dianggap sebagai suku, ras
maupun wilayah kecil yang ada di pulo Jawa bagian barat saja, istilah “Sunda”
seolah tidak pernah terpahami oleh bangsa Indonesia pun oleh masyarakat Jawa
Barat sendiri.
Tidak diketahui waktunya secara tepat, Sang
Narayana Galuh Hyang Agung (Galunggung) mengembangkan dan mengokohkan
ajaran Sunda di Jepang, dengan demikian RA atau Matahari begitu kental dengan
kehidupan masyarakat Jepang, mereka membangun tempat pemujaan bagi Matahari
yang disebut sebagai Kuil Nara (Na-Ra / Api-Matahari) dan masyarakat
Jepang dikenal sebagai pemuja DewiAmate-Ra-Su Omikami yang
digambarkan sebagai wanita bersinar (Astra / Aster / Astro / Astral /
Austra).
Tidak hanya itu, penguasa tertinggi “Kaisar
Jepang” pun dipercaya sebagai titisan Matahari atau Putra
Matahari (Tenno) dengan kata lain para kaisar Jepang-pun bisa disebut
sebagai “Putra Sunda” (Anak/ Utusan/ Titisan Matahari) dan hingga saat ini
mereka mempergunakan Matahari sebagai lambang kebangsaan dan kenegaraan yang
dihormati oleh masyarakat dunia.
Dikemudian hari Jepang dikenal sebagai negeri
“Matahari Terbit” hal ini disebabkan karena Jepang mengikuti jejak ajaran
leluhur bangsa Nusantara, hingga pada tahun 1945 ketika pasukan Jepang masuk ke
Indonesia dengan misi “Cahaya Asia” mereka menyebut Indonesia sebagai “Saudara Tua” untuk kedok
politiknya.
Secara mendasar ajaran para leluhur bangsa NusantaRA
dapat diterima di seluruh bangsa (negara) karena mengandung tiga pokok ajaran yang
bersifat universal (logis dan realistis), tanpa tekanan dan paksaan yaitu :
- Pembentukan nilai-nilai pribadi manusia
(seseorang) sebagai landasan pokok pembangunan kualitas keberadaban sebuah
bangsa (masyarakat) yang didasari oleh nilai-nilai welas-asih (cinta-kasih).
- Pembangunan kualitas sebuah bangsa menuju
kehidupan bernegara yang adil-makmur-sejahtera dan beradab melalui segala
sumber daya bumi (alam/ lingkungan) di wilayah masing-masing yang dikelola
secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
- Pemeliharaan kualitas alam secara selaras yang
kelak menjadi pokok kekayaan atau sumber daya utama bagi kehidupan yang
akan datang pada sebuah bangsa, dan kelak berlangsung dari generasi ke
generasi (berkelanjutan).
Demikian ajaran Sunda (Sundayana/ Surayana/
Agama Matahari) menyebar ke seluruh penjuru Bumi dibawa oleh para Guru Hyang
memberikan warna dalam peradaban masyarakat dunia yang diserap dan diungkapkan
(diterjemahkan) melalui berbagai bentuk tanda berdasarkan pola kecerdasan masing-masing
bangsanya.
Ajaran Sunda menyesuaikan diri dengan letak
geografis dan watak masyarakatnya secara selaras (harmonis) maka itu sebabnya
bentuk bangunan suci (tempat pemujaan) tidak menunjukan kesamaan disetiap
negara, tergantung kepada potensi alamnya. Namun demikian pola dasar bangunan
dan filosofinya memiliki kandungan makna yang sama, merujuk kepada bentuk
gunungan.
Di Indonesia sendiri simbol “RA” (Matahari/
Sunda) sebagai ‘penguasa’ tertinggi pada jaman dahulu secara nyata
teraplikasikan pada berbagai sisi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal
itu diungkapkan dalam bentuk (rupa) serta penamaan yang berkaitan dengan
istilah “RA” (Matahari) sebagai sesuatu yang sifat agung maupun baik, seperti;
- Konsep wilayah disebut “Naga-Ra/ Nega-Ra”
- Lambang negara disebut “Bende-Ra”
- Maharaja Nusantara bergelar “Ra-Hyang”
- Keluarga Kerajaan bergelar “Ra-Keyan dan
Ra-Ha-Dian (Raden)”.
- Konsep ketata-negaraan disebut “Ra-si, Ra-tu,
Ra-ma”
- Penduduknya disebut “Ra-Hayat” (rakyat).
- Nama wilayah disebut “Dirganta-Ra, Swarganta-Ra,
Dwipanta-Ra, Nusanta-Ra, Indonesia (?) memang seharusnya NusantaRA” dll.
Kemaharajaan (Keratuan/ Keraton) Nusantara
yang terakhir, “Majapahit” kependekan dari Maharaja-Pura-Hita (Tempat
Suci Maharaja yang Makmur-Sejahtera) dikenal sebagai pusat
pemerintahan “Naga-Ra” yang terletak di Kadiri – Jawa Timur sekitar abad XIII
masih mempergunakan bentuk lambang Matahari, sedangkan dalam panji-panji
kenegaraan lainnya mereka mempergunakan warna “merah dan
putih”(Purwa-Daksina) yang serupa dengan pataka (‘bendera’) Indonesia saat
ini.
![]() |
| Bende – Ra Majapahit |
Tidak terlepas dari keberadaan ajaran Sunda
(Matahari) dimasa lalu yang kini masih melekat diberbagai bangsa sebagai
lambang kenegaraan ataupun hal-hal lainnya yang telah berobah menjadi legenda
dan mithos, tampaknya bukti terkuat tentang cikal-bakal (awal) keberadaan
ajaran Matahari atau agama “Sunda” itu masih tersisa dengan langgeng di Bumi
Nusantara yang kini telah beralih nama menjadi Indonesia.
Di Jawa Kulon (Barat) sebagai
wilayah suci tertua(Mandala Hyang) tempat bersemayamnya Leluhur Bangsa
Matahari (Pa-Ra-Hyang) hingga saat ini masih menyisakan penandanya
sebagai pusat ajaran Sunda (Matahari), yaitu dengan ditetapkannya
kata “Tji” (Ci)yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah seperti; Ci
Beureum (Cahaya Merah), Ci Hideung (Cahaya Hitam),Ci Bodas (Cahaya
Putih), Ci Mandiri (Cahaya Mandiri), Mitos Sangkurinag - Dayang Sumbi(sirian), Lutung Kasarung dan lain sebagainya. Namun
sayang banyak ilmuwan Nusantara khususnya dari Jawa Barat malah menyatakan
bahwa “Ci” adalah “cai” yang diartikan sebagai “air”, padahal
jelas-jelas untuk benda cair itu masyarakat Jawa Barat jaman dulu secara khusus
menyebutnya sebagai “Banyu” dan sebagian lagi menyebutnya
sebagai “Tirta” (*belum diketahui perbedaan diantara keduanya).
Sebutan “Ci” yang kelak diartikan sebagai
“air”(cai/nyai) sesungguhnya berarti “cahaya/ kemilau” yang terpantul di
permukaan banyu (tirta) akibat pancaran “sinar” (kemilau).
Masalah “penamaan/ sebutan” seperti ini oleh banyak orang sering dianggap
sepele, namun secara prinsip berdampak besar terhadap “penghapusan” jejak
perjalanan sejarah para leluhur bangsa Galuh Agung(Sunda NusantaRA), pendiri agama Sunda
(Matahari).
Untuk membuktikannya
kita perlu memahami peninggalan sejarah dibeberapa negara yang secara prinsip
hampir tidak ada bedanya dengan yang ada di pulau Jawa, Indonesia.
Ajaran Sundayana atau
Surayana sangat kental dengan kehidupan masyarakat daerah Timur-Tengah (Israel)
tepatnya di daerah “Galillea”.
Pada mulanya kedatangan
ajaran Sunda tentu saja ditentang oleh masyarakat lokal (Israel – Palestina),
kejadian tersebut diabadikan dalam cerita David (Nabi Daud) melawan Goliath
yang dikalahkan oleh sebuah “batu”, dan batu yang dimaksud adalah “lingga/
menhir atau batu satangtung”.
Penganut ajaran Sunda (Matahari) pada umumnya dilambangkan,berupa; Batu Menhir (Lingga), Matahari, Simbol Ayam ataupun burung dan Terdapat simbol Sapi atau Kerbau atau sejenisnya.
Penganut ajaran Sunda (Matahari) pada umumnya dilambangkan,berupa; Batu Menhir (Lingga), Matahari, Simbol Ayam ataupun burung dan Terdapat simbol Sapi atau Kerbau atau sejenisnya.
MENHIR / LINGGA / BATU SATANGTUNG
1. Menhir (Lingga)
![]() |
| Watu Rombang, Flores. |
Bentuk menhir (lingga) di
beberapa negara yang tidak memiliki batu alam utuh dan besar pada umumnya
digantikan oleh ‘tugu batu’ buatan seperti yang terdapat di Mekah dan Vatican.
Lingga sebagai batu
kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang” (Hukum Leluhur).
Maksud perlambangan
Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat/ puseur (inti) pemerintahan
disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya
masing-masing (Yoni).
Dari tempat Lingga
(wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan
dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat
dengan ketata-negaraan bangsa-bangsa dalam ajaran Sunda, dimana Matahari
menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit.
Fakta yang dapat kita
temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola
ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (‘Maharaja’) dan
Rasi (raja-raja kecil/ karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai
Tri-Tangtu atau Tri-Su-La-Naga-Ra.
Umumnya sebuah Lingga
diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat
sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala/dolmen tersebar
hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan
batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.
Mandala (tempat suci)
secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas
kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)
Ke-Mandala-an merupakan
rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri
terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi
terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut
sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos”/astral (keberadaan yang
pernah ada dan selalu ada).
2. LAMBANG AYAM / HAYAM
Ayam atau Hayam
merupakan perlambangan dimulainya sebuah kehidupan. Dalam hal ini keberadaan
sosok ayam sangat erat kaitannya dengan kehadiran Matahari. Ayam adalah siloka (symbol)
para pendahulu yang memulai kehidupan (leluhur) dan bangsa Nusantara menyebut
para leluhur sebagai “Hyang.
Masyarakat Nusanta-Ra
penganut ajaran Sunda meyakini bahwa segala mahluk berawal dari “ketiadaan” yang secara mendasar
merupakan inti keabadian atau kalanggengan yang bersifat ketunggalan dan
kemanunggalan.
Berasal dari satu dan
menjadi pemersatu atas segala ciptaan atau “keberadaan”, maka seluruh manusia
beserta mahluk lainnya adalah saudara (sa-UDARA/se-UDARA).
Sebutan “Tuhan” bagi
bangsa Nusanta-Ra sama sekali bukan Allah (bhs. Arab) ataupun God (bhs.
Inggris) yang dikenal oleh masyarakat modern pada saat ini, sebab istilah
“Tuhan” itu berasal dari kata “Sang-TUHA-an”, kelak bangsa Indonesia
mengenalnya dengan istilah TUHAN yang selalu diartikan sebagai Yang Maha
Pencipta. Sebutan “tuhan” digunakan juga dalam kata TUAN (Yang Dipertuan) untuk
menghormati seseorang yang dituakan.
– TUHA atau TUA ataupun
TUAN artinya sama dengan “Sesepuh”. Dengan demikian yang dimaksud dengan
istilah “Tuhan” oleh bangsa Indonesia pada saat ini adalah para sepuh
(pini-sepuh) atau “yang disepuhkan” (sosok yang dihormati), dalam bahasa rakyat
Jawa Barat sering disebut sebagai “kokolot” atau “nu dipikolot”. Semua tunduk
patuh kepada seseorang yang memangku jabatan “nu dipikolot”.
Sebutan “Tuha” ataupun
“Tua” kemudian digunakan juga oleh berbagai bangsa di seluruh dunia dengan cara
penyebutan dan penulisan yang sesuai dengan pola serta gaya bahasa
masing-masing bangsa.
Perbedaan waktu, tempat
dan gaya bicara tentu mengakibatkan terjadinya perobahan dalam pengucapan atau
terjadi proses evolusi kata serta pemaknaannya.
– “Tuha / Tua / Tuan” di
bagian Bumi Timur disebut : To (Jepang dan Tahiti), Thi, Thian dan Tao (China),
The (India), Tau (Arab dan Timur Tengah). Di Bumi bagian Barat disebut : Teo,
Thei (Theis).
Masyarakat Mesir Kuno
melambangkannya dengan bentuk “T” yang artinya To atau Te atau Teo (Tua /
Tuha).
Tidak diketahui sejak
kapan Bangsa Nusantara mengenal kata “Tuha/Tua”, namun diduga istilah tersebut
sudah ada semenjak pulo Jawa masih bersatu dengan pulo Sumatra yaitu ditandai
dengan adanya gunung Kara Ka Tuha yang artinya “Petunjuk bagi para Leluhur
atau Kokolot atau Sesepuh” gunung tersebut sekarang dikenal sebagai “Krakatau”.
Selain itu di Jawa Barat (Bandung Selatan) masih terdapat pegunungan Pa
Tuha yang artinya “Tempat para Kokolot atau Sesepuh”.
Persoalan tentang Sang
Maha Pencipta dalam landas pemikiran bangsa NusantaRa penganut ajaran Sunda
sudah tentu “ADA”, namun mereka tidak berani memberikan “nama” sehingga mereka
menyebutnya dengan ungkapan “Anu Maha Kawasa” (Yang Maha Kuasa).
Kenapa demikian…? mari
kita pahami bersama agar tidak terjadi salah pengertian yang pada akhirnya
menjadi tuduhan bahwa agama Sunda adalah penyembah Batu dan Matahari atau pun
atheis.
Segala yang “ada”
berasal dari “ketiadaan” dan kelak akan kembali kepada “ketiadaan” atau nisbi,
di dunia ini tidak satupun yang tidak datang dari ‘sana’. Ketiadaan-lah yang
merajai segala yang “ada”, dari datang dan kembali. Yang Maha Abadi lagi Maha
Sempurna hanyalah “Ketiadaan”.
Segala yang “ada” akan terkena hukum “perobahan dan perbedaan” dengan segala kekurangannya. Terjebak dalam hukum ruang dan waktu (“keberadaan”) atau tiga dimensi, adalah tanda “kelemahan”.
Segala yang “ada” akan terkena hukum “perobahan dan perbedaan” dengan segala kekurangannya. Terjebak dalam hukum ruang dan waktu (“keberadaan”) atau tiga dimensi, adalah tanda “kelemahan”.
Maka Yang Maha Tiada
tidak selayaknya “ada” di dalam “keberadaan”.(pada dimensi lain/extra teritorial/ET).
Tidak satupun manusia
yang dapat menciptakan “ketiadaan” bahkan membayangkannya-pun mustahil.
“Ketiadaan” atau nisbi adalah segala
atas segala yang tidak terdefinisikan. Dan sekarang di definisikan sebagai mahluk astral atau mahluk dari dimensi lain(ET).
Yang Maha Tiada(ada dalam dimensi lain dan istilah sekarang adalah alien) adalah Maha Suci yang tidak terikat oleh hukum tiga dmensi; dzat – sifat – nama maupun bentuk.
Rahasia terbesar bagi
segala “keberadaan” adalah “ketiadaan” itu sendiri.
Bangsa Nusantara
penganut ajaran Sunda mengistilahkan “ketiadaan” itu sebagai Suwung, demikian
mereka menyebutkan “yang maha tidak ada” atau ketiadaan yang absolut atau nisbi
(*dalam istilah Arabnya disebut “Yang Maha Gaib” , sekarang di itilah kan dengan dimensi lain.atau Extra Teritorial ET/alien).
Bila kita mempertanyakan
hal tersebut di atas kepada para pini-sepuh umumnya mereka menjawab; “…aing oge teu
nyaho… jug we teang jeung tanyakeun ku sia ka jelema anu geus pernah panggih
jeung nu suwung…” (artinya, …saya juga tidak tahu… silahkan cari dan
tanyakan oleh mu kepada orang yang pernah bertemu dengan ketiadaan…).
Bagi orang-orang yang
merasa penasaran untuk mencari Allah / God ada sebuah pepatah yang cukup
bijaksana yaitu: “…teang tapak heulang
di awang-awang… teang tapak meri dina leuwi… jeung teang tapak sireum dina batu…” (artinya, …carilah jejak elang di
angkasa… carilah jejak itik di sungai… dan carilah jejak semut di batu…).
Agama Sunda tidak mengajarkan untuk berbakti
dan mengabdi kepada “ketiadaan”.
Kenapa demikian…?, manusia sebagai sosok yang
“ada” tidak semata-mata dihadirkan dari “ketiadaan” jika bukan untuk berbakti
dan mengabdikan diri kepada segala yang “ada”, tanpa tugas itu maka sia-sialah
seorang manusia didatangkan ke muka Bumi.
Karena prinsip “penciptaan” seperti tersebut
di atas maka yang selayaknya disembah bukanlah “ketiadaan” yang telah
menciptakan dirinya menjadi “ada” melainkan segala sesuatu yang telah menjadikan
dirinya hidup mengabdi dan berbakti kepada segala kehidupan.
Oleh sebab itu, segala yang “hidup” harus
dicintai dan dihormati dengan setinggi-tingginya agar tercipta dan terlaksana
sebuah “kemanunggalan hidup” di dalam kehidupan dan itulah yang disebut sebagai
Sang Hyang Tunggal. (Ibu Ratu Prabu Galuh,”menghargai semua mahluk ciptaan Yang
Maha Kuasa”).
Menyembah adalah “tunduk dan hormat” yang
maknanya setara dengan “saling menghormati dan menghargai” dalam posisi dan
tugasnya masing-masing sebagai utusan yang dihadirkan oleh Yang Maha Kuasa.
Pohon akan dan harus menjadi pohon yang
sebenar-benarnya.
Bunga akan dan harus menjadi bunga yang sebenar-benarnya.
Burung akan dan harus menjadi burung yang sebenar-benarnya.
Harimau akan dan harus menjadi Harimau yang sebenar-benarnya.
Bunga akan dan harus menjadi bunga yang sebenar-benarnya.
Burung akan dan harus menjadi burung yang sebenar-benarnya.
Harimau akan dan harus menjadi Harimau yang sebenar-benarnya.
Matahari harus menjadi Matahari dan Bulan
harus menjadi Bulan.
Angkasa, Udara, Angin, Api, Air, dan Tanah akan dan harus menjalankan fungsi dan tugas dengan sebaik-baiknya,semua saling menghormati dan menghargai sesuai dengan kodrat yang di berikan Sang Maha Pencipta.
Angkasa, Udara, Angin, Api, Air, dan Tanah akan dan harus menjalankan fungsi dan tugas dengan sebaik-baiknya,semua saling menghormati dan menghargai sesuai dengan kodrat yang di berikan Sang Maha Pencipta.
Manusia NusantaRA penganut ajaran Sunda sangat
menyadari dan menghayati “keberadaan” alam semesta beserta segala fungsi dan
gunanya, dan itu semua tidak terlepas dari kesadaran diri tentang tata-cara
berkehidupan yang saling memberi dan menerima sebagai sebuah sistem daya hidup
yang terpadu (manunggal).
Maka dari itu “menghormati” alam dengan segala
kekuatannya/kodrati (tugas dan fungsi) adalah bagian dari cara berkehidupan
bangsa NusantaRa yang biasanya diungkapkan melalui pujian kepada masing-masing
‘penguasa’ (kekuatan dalam fungsi dan tugas).
Secara langsung ataupun tidak, ajaran tersebut
sangat menentukan sikap masyarakat NusantaRA terhadap hidup berbangsa dan
bernegara, bahwa mereka begitu menghormati dan menghargai segala sistem dan
sub-sistem yang menunjang pembentukan kualitas hidup di jagat kehidupan.
Kaula lain nyembah ka Beusi tapi muja ka Rasi
Kaula lain nyembah ka Batu tapi muja ka Ratu
Kaula lain nyembah ka Dewa tapi muja ka Rama
Kaula lain beunang ku hayang lain kudu ku embung… tapi kitu anu sakuduna hirup di nagara (di dunya).
Kaula lain nyembah ka Batu tapi muja ka Ratu
Kaula lain nyembah ka Dewa tapi muja ka Rama
Kaula lain beunang ku hayang lain kudu ku embung… tapi kitu anu sakuduna hirup di nagara (di dunya).
(artinya)
Saya bukan menyembah Besi tetapi memuja Rasi (Datu)
Saya bukan menyembah Batu tetapi memuja Ratu (Maharaja)
Saya bukan menyembah Dewa tetapi memuja Rama
Saya bukan terkena oleh keinginan ataupun ketidak-inginan…tapi begitulah seharusnya hidup di negara (di dunia).
Saya bukan menyembah Besi tetapi memuja Rasi (Datu)
Saya bukan menyembah Batu tetapi memuja Ratu (Maharaja)
Saya bukan menyembah Dewa tetapi memuja Rama
Saya bukan terkena oleh keinginan ataupun ketidak-inginan…tapi begitulah seharusnya hidup di negara (di dunia).
Hidup dalam kemanunggalan (kesatuan dalam
kebersamaan) saling menghormati dan menghargai dalam sebuah keberaturan yang
harmonis adalah idaman (dicita-citakan) bagi segala manusia dan mahluk hidup
lainnya, itulah makna hakiki dari Sembah-Hyang (Seba Hyang atau sembahyang),
maksud dan tujuannya tidak lain demi mengabdikan dan membaktikan diri terhadap
“kemanunggalan dalam semesta kehidupan” (Sang Hyang Tunggal).
Hung,,, Ahuuung !
Menjalani kehidupan yang dibangun berdasarkan
ilmu/pengetahuan yang di ajarkan adat
dan budaya lelehur. Contoh dan nasihat
leluhur tua yang tergambar dalam karakter manusia NusantaRa, yang dapat memenuhi
kebutuhan jiwa dan raga.
Menata kehidupan dan membawa diri, tidak dapat sekehendak pribadi.
Harus taat pada aturan, “tata, titi, duduga, peryoga”;
• Tata (aturan langkah)
• Titi (tahapan léngkah)
• Duduga (sawangan), (Wiwaha Yuda na Raga).
• Peryoga
• Duduga (sawangan), (Wiwaha Yuda na Raga).
• Peryoga
Mengolah jiwa, bisa
dilakukan dengan mendengarkan getaran suara alam (Rahyang Sora Pagendingan) berupa
alat-alat seni Buhun (tradisi).
– Evolusi Bumi / jagat(planet
bumi)
– Manusa Sunda
– Kayakinan/ageman/ajaran Sunda
– Budaya jeung per-adab-an (civilization) Sunda
– Pakumbuhan (ka-masyarakat-an) Sunda
– kaNAGARAan Sunda
– kaRATUan (kaRAJAan) sunda.
– Manusa Sunda
– Kayakinan/ageman/ajaran Sunda
– Budaya jeung per-adab-an (civilization) Sunda
– Pakumbuhan (ka-masyarakat-an) Sunda
– kaNAGARAan Sunda
– kaRATUan (kaRAJAan) sunda.
Alur sejarah:
- · Era PURWANING SUNDA BIHARI(1-2 juta tahun lalu), BATARA CIKAL berhubungsn dengan “Mandala ParaHyang” (dimensi lain/alien”).
- · Era PURWAYUGA SUNDA BIHARI.
- · Era PARAHIYANGAN PERBANGKARA(lebih dari50.000 tahun lalu), MAHARAJA-RESI, MAHAPRABU-RESI. Parahiyangan Purbakala (purbangkara = purba-kala), dalam mitologi Sunda dongeng legenda “Dayang Sumbi dan Sangkuriang”. Maharaja-Resi Parahiyangan zaman itu adalah “RATU SUNGGING PERBANGKARA”. (zaman Pra-Sejarah).
- · Era PARAHIYANGAN SANGKURIANG(lebih dari 10.000 tahun lalu), mitos Talaga Bandung, atau “Sumur Bandung” atau“Leuwi Sipatahunan”.
- Era SUMUR BANDUNG
- · Era DWIPANTARA
- · Era Galunggung (lebih dari 2000 tahun lalu),MAHAPRABU-RESI, GALUH HYANG GUNG, PRABURESI, Pada jaman SUNDASeMBAWA pembawa misi ajaran SUNDAYANA.
- · Era SALAKANAGARA sampai pada TARUMANAGARA
Berdasarkan “Sastrajenrahayuningrat” istilah
“Sunda” dibentuk oleh tiga suku kata yaitu SU-NA-DA yang artinya adalah
“matahari” ;
–
SU = Sejati/ Abadi
–
NA = Api
–
DA = Besar/ Gede/ Luas/ Agung
Dalam kesatuan kalimat “Sunda” mengandung arti
“Sejati-Api-Besar” atau “Api Besar yang Sejati atau bisa juga berarti
Api Agung yang Abadi”. Maksud dan maknanya adalah matahari atau “Sang
Surya” (Panon Poe/ Mata Poe/ Sang Hyang Manon). Sedangkan kata “Sastrajenrahayuningrat” (Su-Astra-Ajian-Ra-Hayu-ning-Ratu) memiliki
arti sebagai berikut;
–
Su = Sejati/ Abadi
–
Astra = Sinar/ Penerang
–
Ajian = Ajaran
–
Ra = Matahari (Sunda)
–
Hayu = Selamat/ Baik/ Indah
–
ning = dari
–
Ratu = Penguasa (Maharaja)
Dengan demikian “Sastrajenrahayuningrat” jika
diartikan secara bebas adalah “Sinar Sejati Ajaran Matahari – Kebaikan dari
Sang Ratu” atau “Penerangyang Abadi Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang
Maharaja” atau boleh jadi maksudnya ialah “Sinar Ajaran Matahari
Abadi atas Kebaikan dari Sang Penguasa/ Ratu/ Maharaja Nusantara”,
dst.
“Sunda” sama sekali bukan nama etnis/ ras/ suku yang tinggal di pulo Jawa bagian barat dan bukan juga nama daerah, karena sesungguhnya “Sunda” adalah nama ajaran atau agama tertua di muka Bumi, keberadaannya jauh sebelum ada jenis agama apapun yang dikenal pada saat sekarang.
Agama “Sunda” merupakan cikal-bakal ajaran
tentang “cara hidup sebagai manusia beradab hingga mencapai puncak kemanusiaan
yang tertinggi (adi-luhung). Selain itu agama Sunda juga yang mengawali
lahirnya sistem pemerintahan dengan pola karatuan (kerajaan) yang
pertama di dunia, terkenal dengan konsep
SI(rius)TUMANG (Rasi-Ratu-Rama-Hyang) dengan perlambangan “Bintang Anjing” (Rasi bintang Sirius).
Ajaran/ agama Sunda (Matahari) pada mulanya
disampaikan oleh Sang Sri Rama Mahaguru Ratu Rasi Prabhu Shindu La-Hyang
(Sang Hyang Tamblegmeneng) putra dari Sang Hyang Watu Gunung Ratu
Agung Manikmaya yang lebih dikenal sebagai Aji Tirem (Aki
Tirem) atau Aji Saka Purwawisesa.
Ajaran Sunda lebih dikenal dengan
sebutan Sundayana(yana = way of life, aliran, ajaran, agama)
artinya adalah “ajaran Sunda atau agama Matahari” yang dianut
oleh bangsa NusantaRA, khususnya di Jawa Barat.
Sundayana disampaikan secara
turun-temurun dan menyebar ke seluruh dunia melalui para Guru Agung (Guru
Besar/ Batara Guru), masyarakat Jawa-Barat lebih mengenalnya dengan
sebutan Sang Guru Hyang atau “Sangkuriang” dan sebagian lagi memanggilnya
dengan sebutan “Guriang” yang artinya “Guru Hyang”.
Landasan inti ajaran Sunda
adalah “welas-asih” atau cinta-kasih, dalam bahasa Arab-nya
disebut “rahman-rahim”, inti ajaran inilah yang kelak berkembang menjadi
pokok ajaran seluruh agama yang ada sekarang, sebab adanya rasa welas-asih ini
yang menjadikan seseorang layak disebut sebagai manusia. Artinya, dalam pandangan
agama Sunda (bangsa NusantaRA) jika seseorang tidak memiliki
rasa welas-asih maka ia tidak layak untuk disebut manusia, pun tidak layak
disebut binatang, lebih tepatnya sering disebut
sebagai Duruwiksa (Buta) mahluk biadab.
Agar pemahaman ke depan tidak menjadi rancu
dan membingungkan dalam memahami istilah “Sinar (Astra/ Ra/ Matahari), Cahaya
(Dewa) dan Terang” maka perlu dijelaskan sebagai berikut;
Sundayana terbagi dalam tiga bidang
ajaran dalam satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah (Kemanunggalan) yaitu;
- Tata-Salira/ Kemanunggalan Diri; berisi
tentang pembentukan kualitas manusia yaitu, meleburkan diri dalam
“ketunggalan” agar menjadi “diri sendiri” (si Swa) yang beradab,
merdeka dan berdaulat atau menjadi seseorang yang tidak tergantung kepada
apapun dan siapapun selain kepada diri sendiri.
- Tata-Naga-Ra/ Kemanunggalan Negeri; yaitu
memanunggalkan masyarakat/ bangsa (negara) dalam berkehidupan di Bumi secara
beradab, merdeka dan berdaulat. Pembangunan negara yang mandiri, tidak
menjajah dan tidak dijajah.
- Tata-Buana/ Kemanunggalan Bumi; ialah
kebijakan universal (kesemestaan) untuk memanunggalkan Bumi
dengan segala isinya dalam semesta kehidupan agar tercipta kedamaian hidup
di Buana.
Sesuai dengan bentuk dan dasar pemikiran
ajaran Matahari sebagai sumber cahaya maka tata perlambangan wilayah di sekitar
Jawa-Barat banyak yang mempergunakan sebutan “Ci” yang artinya
“Cahaya”, dalam bahasa India disebut sebagai deva/ dewa (cahaya)
yaitu pancaran (gelombang) yang lahir dari Matahari berupa warna-warna.
Terdapat lima warna cahaya utama (Pancawarna) yang menjadi landasan
filosofi kehidupan bangsa Galuh penganut ajaran Sunda:
- Cahaya Putih di timur disebut Purwa, tempat
Hyang Iswara.
- Cahaya Merah di selatan disebut Daksina,
tempat Hyang Brahma.
- Cahaya Kuning di barat disebut Pasima,
tempat Hyang Mahadewa.
- Cahaya Hitam di utara disebut Utara,
tempat Hyang Wisnu.
- Segala Warna Cahaya di pusat
disebut Madya, tempat Hyang Siwa.
Lima kualitas “Cahaya” tersebut sesungguhnya
merupakan nilai “waktu” dalam hitungan “wuku”. Kelima wuku (wuku
lima) tidak ada yang buruk dan semuanya baik, namun selama ini Sang Hyang Siwa
(pelebur segala cahaya/ warna) telah disalah-artikan menjadi “dewa perusak”,
padahal arti kata “pelebur” itu adalah “pemersatu” atau yang meleburkan atau
memanunggalkan. Jadi, sama sekali tidak terdapat ‘dewa’ yang bersifat merusak
dan menghancurkan.
Salam Nusanta-Ra














Tidak ada komentar:
Posting Komentar