Jumat, 14 Oktober 2016

Pakuan Pajajaran


Negri  Galih Pakuan terkenal sebagai negri yang makmur, murah sandang dan pangan.
Raja Sang Permana di Kusuma bijaksana dan adil “palamarta”.
Sang Raja di damingi oleh dua permaisuri yaitu Perimaisuri Naganingrum dan Dewi Pangrenyep.
Mama Léngsér sebagai  sesepuh karaton, dan  mentri yang di kenal sebagai  Arya Kebonan.

Suatu hari Sang Raja sedang tidur,  datanglah  Mentri Arya Kebonan. Dan berguman,”Enak jadi Raja, hidup penuh dengan kesenangan, bagaimana kalau saya jadi Raja saja”.

Kangjeng Raja mendengar ucapan itu, “Kamu ingin jadi Raja?”.
Arya Kebonan kaget dan malu.
Sang Raja bersabda lagi, “Ucapanmu saya dengar, bila engkau ngin jadi Raja, dan mampu melaksanakannya akan kami coba”.
Sekarang KAMI akan betapa, Negri Galih Pakuan dan segala isinya akan KAMI pasrahkan. Tapi ingat harus adil “palamarta”, serta jangan menganggu Permaisuri.
“Apakah kamu sanggup?”.
Arya Kebonan bingung dan langsung menyembah, mohon maaf.
“Kalau saya di terima sebagai wakil Raja, saya terima”.
 “Syukur kalau kamu sanggup,” sabda  Sang Raja,
“Selama KAMI tapa, kamu yang mewakili dan namamu  sekarang adalah Radén Galuh Barma Wijaya Kusuma.”

Sang  Raja betapa di  Gunung Padang, dan selanjutnya di kenal sebagai Ajar Sukaresi.
Tapi tak ada orang yang tahu bahwa beliau adalah Raja Galih Pakuan.
Yang tahu semua ini hanya Arya Kebonan jeung Mama Léngsér.

Raja baru, Radén Galuh Barma Wijaya Kusuma, duduk di ursi kerajaan dan langsung memerintah kepada Mama Léngsér,“Hé Léngsér, kamu harus memukul bedug, dan beritakan bahwa  Kangjeng Raja,
Sang Permana di Kusuma  sekarang menyembah dengan kakinya, “
“Hé Léngsér, kenapa menyembah dengan kaki kepada Raja?”
Jawab Mama  Léngsér, “Ih, saya tidak suka hati, Raja Sepuh muda kebamli dan tampan tiada tandingnya.”
Kata  Raja, “Syukur kalau begitu.”

.
Abdi-abdi negri Galih Pakuan percaya, bisa saja Sang Raja Permana di Kusuma sakti mandraguna.
Pada suatu hari kedua Permaisuri menceritakan mimpi kejatuhan bulan, dan sudah di ramal oleh Ajar Sukaresi. Keduanya akan memiliki putra.
Mendengar itu Sang Raja ingin mencoba kesaktian Ajar Sukaresi.

Kedua permaisuri di dandani seperti orang hamil, yang satu di suruh mengunakan kuali dan yang satu mengandung bokor emas.
Ajar Sukaresi  di panggil dari  Gunung Padang.
Ki Ajar di cobai oleh  Sang Raja, “Coba Ki Ajar sebutkan, kedua Permaisuri ini mengandung atau tidak”.
Jawab  Ki Ajar, “Iya, sedang mengandung.”
“Anak laki-aki atau anak perempuan?”
“Iya, putranya dua-duanya laki-laki.”

Sang Raja marah dan di perintahkan untuk memperlihatkan  Bokor dan kuali.
Maksudnya adalah untuk menunjukan bahwa  Ki Ajar bohong.
Bokor emas ditendang,  jatuh di Pulo Sumatra,  makanya di Sumatra banyak  emas.
Kuali di tendang dan jatuh dei desa yang di sebut kota “kawali”/ kuali sampai saat ini.
Sang Raja sangat marah dan mencabut kerisnya di taruh di leher Ki Ajar, tapi keris lbengkok.

Ki Ajar  memperlihatkan raganya saja, sukma nya keluar dari raga yang tanpa daya. Ingin memuaskan diri Sang Raja raga Ki Ajar ditendang dan jatuh di  Gunung Padang dan berubah menjadi ular yang dikenal sebagai Nagawiru.

Diceritakan bahwa kedua Permaisuri itu benar-benar mengandung,  dan melahirkan Putra laki-laki yang di beri nama Aria Banga.
Kira-kira selisih sebulan Sang Raja mendatangi Permaisuri Naga¬ningrum, karena sudah sepuluh bulan mengandung.
Permaisuri  sedang menangis, dan  Sang Raja memanjakannya.

Tak lama kemudian  Sang Raja bangun, karena mendengar ,”Hé Raja dolim!”.
Engkau telah menyiksa Ki Ajar Sukaresi, yang tidak bersalah dan berdosa.
Karena itu engkau akan menerima balasannya.
Sang Raja menyangka, permaisuri Naganingrum yang bicara, tak tahunya suara itu dari perut Permaisuri Naganingrum.
Sang Raja memanggil ahli nujum, katanya anak permaisuri Naganingrum bengis, dan akan menghancurkan negri.
Saat itu juga Naganingrum di usir ari istana.
Permaisuri  Déwi Pangrenyep diperintahkan  oleh Sang Raja, kalau permaisuri melahirkan, anaknya harus di hanyutkan di sungai.

Itakanlah bahwa permaisuri Naganingrum akan melahirkan dan mencari paraji dan tidak menemukan seorangpun.
Permaisuri Déwi Pangrenyep,menyuruh semua paraji pergi dan ia sendiri yang datang pura-pura hendak menolong.
Permaisuri  Naganingrum langsung diurus, telinganya di tutup kapas, matanya di tutup malam dan kedua  tangannya di ikat.
Permaisuri Naganingrum kagét, “Kenapa Nyai kenapa menyiksa seperti ini, kakak tidak dapat mendengar apa-apa dan tak dapat melihat apa-apa”.
“Maklum saja Kakak,” jawab permaisuri Déwi Pangrenyep,
“Beginilah kalau mau melahirkan.”

Permaisuri Naganingrum melahirkan seorang putra yang tampan, tali ari-arinya  di poong oleh permaisuri Déwi Pangrenyep.  Bayinya di taruh dalam “kan-daga”, serta di taruh satu telur ayam,  di tutup rapat dan di hanyutkan di sungai Citanduy.
Ditunjukanlah kepada  Sang Raja, bahwa permaisuri Naganingrum melahirkan anak anjing.
Sang Raja sangat marah,  dan menitahkan mama   Léngsér membunuh permaisuri Naganingrum.
Mama Léngsér berpikir panjang .

Kandaga berisi bayi mengalir si dungai Citanduy, dan nyangkut di tepian sungai di tempat  Aki Balangantrang dan Nini Balangantrang yang bermimpi memangku bulan.
Nini sangat senang bakal menerima kebahagiaan.

Kandaga di ambil oleh  Aki, di bawa ke Geger Sunten.
Bayi yang baru berumur tujuh hari seperti bayi berumur tujuh bulan.
Umur tjuh bulan seperti berumur yujuh tahun, malah akhirnya beranjak remaja.
Aki dan Nini sangat menyayanginya, dan belum di beri nama.

Suatu hari Nini-Aki Balangantrang ke hutan mengajak anak laki-lakinya.
Melihat burung meloncat-loncat di pohon, anak itu bertanya, “Aki, burung apa itu namanya?”.
“Itu burung Ciung,” jawab Aki.
Tak lama kemudian, melihat binatang mengerayang.
 “Kalau itu, binatang apa namanya, Ki?”
“Itu namanya wanara,” Jawab Aki.
“Bagaimana Ki, kalau nama saya adalah Ciung Wanara?”
“Wah, bagus sekali nama nya,” kata Aki.
Sejak saat itu namanya Ciung Wanara.

Suatu hari Ciung Wanara terbang di awang-¬awang  melihat  karaton Galih Pakuan.
Kebetulan Aria Banga sedang bermain, di asuh  oleh paramenak.
Ciung Wanara miris hatinya melihat Aria Banga begitu di banggakan. Sedangkan dirinya sangat sengsara hidup di desa kecil.
 Turun lagi ke bumi, di depan  Aki Balangantrang.
Ciung Wanara téh sasauran, ingin memiliki ayam adu.
 “Di sini tidak ada ayam adu, itu saja telur yang ada dalam kandaga bawa ke Gunung Padang, minta di erami pada Nagawiru.”
Ciung Wanara  langsung pergi ke Gunung Padang.

Sesmpainya dari  Gunung Padang, sambil membawa ayam jago Ciung Wanara menceritakan bahwa Ciung Wanara tidak dipercaya  sebagai anak Nini-Aki Balangantrang.
Aki Balangantrang bermimpi, bahwa Ciung Wanara sebenarnya anak  
Sang Per¬mana di Kusuma dari peraisuri  Naganingrum.

“Kalau begitu,” kata  Ciung Wanara,
“Saya akan pergi ke kota Galih Pakuan,dan mengadu ayam di sana.
Ayam ini akan di adu dengan ayam raja”.
Aki  dan Nini Balangantrang bingung.
Sebelum pergi Ciung Wanara, dipeluk dan didoakan olehNini dan  Aki.
bari padangadoakeun sing lulus banglus.

Ciung Wanara terbang dan berganti rupa menjadi anak hitam jelek dengan perut buncit.
Ayam nya juga jelekayam tidak seperti adu.
Saat di tanya dan anak siapa Ciung Wanara menjawab seenak nya saja.
 “Saya anak Inu, istrinya bapa.
Desa saya yang di kelilingi pohonn dan rumahnya menghadap halaman dan di pinggir halaman belakang.
Saat di tanya nama, saya bukan tekukur.”
Di alun-alun,  menjadi  Ciung Wanara.

Sang Raja memerintahkan Mama Léngsér  mencari anak itu dan merasa bahwa anak iu hnaya waruga nya saja dan batinnya merasa bahwa itu adalah tuannya Sang Permana di Kusuma.
Ciung Wanara dihadapkan kepada Raja.
 “Saya  Gusti Ciung Wanara, anak Aki Bala¬ngantrang  dari Geger Sunten”.
Saya ke sini mau mengadu ayam, inuk ayam bertelur setahun di dalam kandaga dan sebelum menetas hanyut dulu”.
Kata Sang Raja, “Hayam kami si Jelug,makannya juga sehari “satanggungan””.
Ayam kamu pasti kalah.
Apa taruhan mu?”
Seru Ciung Wanara,“Kalau Ayam saya kalah, saya meyerahkan diri, sebaliknya bila milik Gusti kalah, saya mnta separuh negri”.

Sang Raja merasa kan menang, karena si Jelug belum pernah kalah.
Hanya satu gebrakan saja si Jelug langsung mati.
Sang Raja berkata, “Ke sini  Radén!
Ama akan membagi negri, Negri Galih Pakuan dibagi dua.
Sebelah barat bagian Ciung Wanara, belah Timur  bagian Aria Banga.”
Aria Banga di panggil dan keduanya mendapat gelar “Sang Prabu”.

Prabu Ciung Wanara  sudah bertemu ibunya permaisuri Naganingrum.
Suatu hari Ciung Wanara bersabda kepada Mama Lengser,membicarakan  sudah saat nya memenjarakan Sang Raja bersama abdinya yang jahat.
Sang Raja tidak curiga,  di iringi permaisuri Déwi Pangrenyep, melihat-lihat penjara yang sudah selesai di buat, dan mereka masuk ke dalam melihat-lihat.
Saat itu oleh  Ciung Wanara, pintu penjara di kunci.
Sang Raja dan permaisuri memanggil dan Ciung Wanara tidak menoleh.

Aria Banga melihat Ibu dan bapanya di penjara, langsung berkelahi.
Aria Banga di lemparkan ke sebrang sungai sebelah Timur.

Pangéran Aria Banga ingat dan mengatakan, “Sekarang ita hentikan permusuhan, tidak baik bertarung dengan saudara, lebih baik mengurus negri, Kakak ke Timur dan saya ke Barat, Sungai ini enjadi batas nya dan kita namakan CIPAMALI.”
Pamali berantem dengan saudara.”

Setelah itu, Ciung Wanara kembali ke negrinya, sedangkan penjara itu di terjang dan jatuh di desa yang sekarang di sebut  Kandangwesi  sampai sekarang.
Dayeuh Galih Pakuan dipindahkan ke sebelah Barat dan di kenal dengan nama 
Pakuan Pajajaran.
Ciung Wanara menjadi raja di dampingi ibunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar