Senin, 17 Oktober 2016

Simbol SUNDAYANA dalam simbol iluminati!!.


Kearifan lokal Makhluk Mistik
(dimensi lain/Extra Teritorial/Alien).

(Matrik,  ExtraTeritorial, Alien, Transtravel, Telepati, Teleportasi, dll  istilah baru dalam ilmu pengetahuan(science).  Sesungguhnya dalam kutur budaya global  Tatar Sunda NusantaRA itu adalah hal yang biasa, lumrah!, karena sesungguhnya peradababan Sunda NusantaRA  yang adi luhung terbias dan di kaburkan. Merampas  kecerdasan dan kebijaksanaan, antara lain, termasuk kualitas kemanusiaan itu sendiri. Selanjutnya, bagian dari cuci otak untuk mendapatkan orang-orang untuk menerima cerita tentang ‘agama”,yang secara signifikan kisah matahari-itu adalah "mitos" tampaknya  seperti cerita bodoh tanpa dasar dalam kenyataan. pemrograman mental atau "meme" telah ditampilkan berlimpah. Pada  kenyataannya mitos bukan  fantasi belaka atau halusinasi.  Cerita Mitos  yang dirancang untuk menyampaikan informasi penting dari generasi ke generasi. Hal ini lebih mudah untuk mengingat "eksploitasi" dari matahari, bulan dan bintang, misalnya, ketika mereka dipersonifikasikan dan mengatakan dalam sebuah cerita menyenangkan.
Cerita mitos (lebih dari 50.000 tahun lalu) Sangkuriang, anak Dayang Sumbi  dan SI(rius)TUMANG adalah personifikasi komunikasi sederhana untuk di ceritakan secara turun temurun. SIrius di sebut sebagai bintang Anjing(BIG DOG STAR).Nyai Dayang Sumbi anak Sang PRABU "HYANG", yang memiliki suami SI(rius)TUMANG  Personifikasi yang di gambarkan sebagai  seekor anjing adalah sebenarnya Alien dari rasi Bintang Sirius. Jadi bukan turunan "ANJING", yang benar adalah turunan dari mahluk planet "BINTANG"Anjing atau Sirius!.
Ajaran Sunda atau Sundayana berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari  yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Mitos secara global ajaran Sundayana di seluruh dunia. (bukti-bukti; Situs Gunung Padang, Situs Batu Jaya dll).
Matahari telah menjadi sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa. Tanpa matahari segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sundayana berkiblat kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan kemanunggalan yang ada di langit, dan kiblat agama Sundayana itu bukan diciptakan oleh manusia.
Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu menampak.
Hanya ketika pengetahuan, atau gnosis, telah menghilangkan hilangan bahwa manusia mulai percaya entitas ini menjadi orang-orang nyata -dan gnosis itu sangat efektif didorong dari bawah tanah oleh agama terorganisir, sehingga mitos itu hilang dari generasi ke generasi.  .
Secara pasti  menghancurkan peradaban manusia dari ajaran luhung umat manusia secara global.
Kebudayaan agung atau kearifan lokal  mengalami keruntuhan setelah datangnya paramissionaris Barat yang membawa misi Gold(annunaki),  Glory dan Gospel. Tujuan utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan) sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa.
Propaganda yang mereka beritakan tentang perilaku biadab agama Matahari dan kelak dipercaya oleh masyarakat dunia adalah bahwa; “suku terasing penyembah matahari itu pemakan manusia”, hal ini mirip dengan yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah lainnya di Indonesia.

Simbol SUNDAYANA dalam simbol iluminati!!.
Sekarang di era iluminti dan globalisasi simbol Sundayana digunakan??..
Simbol RA(matahari)  dan  Mandala Gunungan/pyramid di pakai sebagai simbol iluminati???. Peradaban dalam mitos yang mereka “bunuh” (dengan ajaran GOLD/GLORY?) dan mengambil alih simbol mitos. Maksudnya???. Jelas sekali, meraih empati dan simpati, dengan "meme" yang menyesatkan?.
Pengetahuan ilmiah atau science sekarang mengakui keunggulan peradaban manusia dalam mitos yang  jauh lebih maju dan unggul  dari peradaban yang ada saat ini.
Jadi Sunda NusantaRA adalah bangsa Matahari dari bintang SIRIUS, berbeda dengan turunan Adamus yang(maaf) di ciptakan dari tanah liat sebagai hibrid alien Annunaki sebagai budak tambang emas. .
Kenapa bangsa Sunda NusantaRA kaya dan makmur??, karena emas yang di dapat adalah untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri berbeda dengan turunan Annunaki yang harus menyetorkan emas nya kepada penjajahnya yaitu Annunaki/Enlil(Bloodline Annunaki).

Adamus yang diciptakan Annunaki sebagai budak untuk berkerja di tambang emas.(di Papua di temukan tambang emas purbakala di desa Paniai, Nabire). Jadi secara gamblang menjelaskan bahwa manusia Sunda NusantaRA bukan keturunan dari Adamus. Karena manusia Sunda NusantaRA telah ada di bumi sebelum Adamus di ciptakan oleh Annunaki(Annunaki datang ke bumi 6000 tahun lalu berdasarkan Tablet Sumeria)..

Leluhur Sunda NusantaRA tinggal dan bersemayam di  bumi Para-HYANG-an,  dari dimensi Cahaya, makanya bisa nga"HYANG".. Mereka tidak di lahirkan, mereka turun/datang ke bumi secara “HYANG”.
Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma/doktrin agama/ajaran tertentu (kesadaran “kulit”). Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi negatif. Walau bermakna sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit. Itulah manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.
Selama puluhan tahun, kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism, westernisme dan agamisme.
Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit, irasional, dan primitive.
Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan(meme) secara negative dari kalangan kaum tertentu sebagai paham sesat dan sumber kemusrikan. Rasanya Pandangan itu tidak objektif !
Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah. Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri, kepentingan rezim, dan kepentingan egoisme (keakuan).
Penilaian juga rentan terkontaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan, diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan, ela-elu, iilueun, tuturut munding, dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah mistis yang sesungguhnya. Untuk itu, perlulah kiranya saya ingin berbagi kepada semua saUDARA, mengenai makna yang sejatinya akan istilah mistis, yang sekarang lebih di kenal dengan istilah dimensi lain..
Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana, selalu hati-hati terutama dalam menilai seseorang atau suatu kelompok, golongan dan cara pandang masyarakat tertentu.
Jika perilaku hidup dan pola pikir kita tidak eling dan waspada, kita akan melebur ke dalam roda “wolak-waliking jaman” di mana orang salah akan berlagak selalu benar.
Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh. Emas dianggap Loyang (besi). Besi dikira emas. Burung bangau dianggap dandang (alat menanak nasi). Yang asli dianggap palsu, yang palsu dibilang asli. Semua serba salah kaprah, kacau-balau, chaos, dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan. Eksistensi Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi tertinggi kesadaran manusia(extra dimensional/extra teritorial), di mana ragam perbedaan (“kulit”) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan. Kesadaran tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikir nya. Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni eksistensi kesadaran batin.
Meskipun demikian, eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin (bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (raga). Artinya, mistik bukanlah sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama manusa dan makhluk lainnya. Apakah anda ingin menjadi seorang agamis, yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama/ajaran berupa penampilan fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya atau atribut tertentu. Ataukah sebaliknya anda ingin menjadi seorang praktisi (penghayat) akan teori-teori tersebut sehingga tidak hanya sekedar berbicara. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk memilih, masing-masing akan membawa dampak yang berbeda-beda. Dalam menjabarkan istilah mistik, saya sangat sepakat dengan guru besar Filsafat UGM Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa cirri-ciri mistikisme adalah sbb ;
1. Mistisisme adalah persoalan praktek.
2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.
3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.
4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.
5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Jika kita cermati dari kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional.
Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami noumena atau eksistensi di luar diri (gaib/extra dimensi) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi di alam gaib/extra teritorial.

Sebagai contoh ;
Kenapa simpanan uang di Bank tidak ada yang hilang di curi makhluk pesugihan ? Atau perhiasan emas di toko emas tidak bisa hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan ?
Secara logis-rasional, makhluk pesugihan yang sering mencuri uang atau perhiasan di rumah-rumah penduduk seharusnya bisa mencuri uang dan perhiasan di kedua tempat tersebut. Namun kenyataannya kedua jenis harta kekayaan tersebut tidak bisa dicuri oleh makluk gaib sejenis pesugihan manapun. Hal ini jarang sekali terfikirkan atau buat apa dipikirkan !
Agama/Ajaran sebagai sarana menggapai tataran spiritual. Spiritual adalah kesadaran tinggi akan nilai-nilai transenden atau “ketuhanan”. Mistisisme adalah wujud kesadaran dalam laku perbuatan konkrit. Dengan adanya kesadaran yang cukup memadai akan bagaimana sesungguhnya yang terjadi di alam gaib/dimensi yang lebih tinggi. Hal itu membuka pola pikir kita sehingga mampu memahami noumena kegaiban secara logis. Hal ini menjadikan para pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya sekedar yakin, tetapi dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana “rumus-rumus halus” akan bekerja, antara pengetahuan spiritual dengan tindakan nyata seiring dan seirama. Bagaikan lirik dengan syairnya. Aransemen dengan nada-nada musiknya. Sastra dengan gendhingnya. Sinergis dan harmonis antara pengetahuan spiritual dengan perbuatannya. Menjadikan para pelaku spiritual justru terkesan lebih santun dan memiliki sense on humanity yang tinggi, memiliki kepekaan social, solidaritas dan toleransi, kepedulian lingkungan social dan alam yang sangat mendalam. Perilaku-perilaku yang menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang orang-orang bergaya “suci” (kesadaran symbolic) yang terkadang perilakunya lepas kendali, sewenang-wenang dan beringas, emosional dan reaksional(ciri keturunan Annunaki).
Karena merasa diri menjadi sangat kuat telah menjadi orang yang memegang hak istimewa (privilege) di hadapan Sang Maha. Penjelasan singkat mengenai arti harfiah dan maknawiah tentang mistik, dapat diambil benang merah bahwa “mistik local” adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa. Atau disebut jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual, adalah perilaku didasari oleh welas asih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup local namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaksioner, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik apa itu nilai-nilai dalam falsafah hidup budaya lokal . Mistik lokal merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap masyarakat, bangsa dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sekedar contoh, misalnya mistik Islam, dikenal dengan tradisi tasawuf, orang-orang yang mendalami disebut orang-orang zuhud, dan para sufistik. Mistik Budha atau Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, Tengrism dan masih terdapat ratusan bahkan ribuan lagi banyaknya mistik-mistik di dunia ini. Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan dengan agama/ajaran, sebab mistik tidak mempersoalkan apa latar belakang ajaran, agama, budaya orang yang ingin menghayati. Hal itu tidak menimbulkan resiko terjadinya benturan nilai-nilai, karena dalam tradisi mistik yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu mengambil sisi maknawiahnya yang bersifat hakekat atau esensial.
Orang Jawa, Hindu, Kristen dan Budha, bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan akan membuat batasan-batasan tegas kepada para penghayat mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudis, pencitraan(meme) secara subyektif, dan punishment yang berdasarkan kepentingan. Jangankan terhadap lintas budaya dan agama, kita ambil contoh sederhana saja misalnya, sebagian umat Islam melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah mistik Islam. Pelarangan dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga pelarangan seringkali bekerja secara efektif membelenggu dinamika kesadaran umat, yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.

Tentang kearifan mistik local
1. Kepercayaan/ajaran lokal tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama yang ada. Karena bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi nusantara. “Kitab Suci” nya adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan elmu titen, indera yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.

 2. Di samping nilai-nilai kearifan local yang adiluhung, menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local. Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup.
Jika definisikan, mistik kepercayaan/ajaran lokal merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan local yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat mudah menerima anasir asing yang positif. Nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdor, kalau nilai agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah lokal. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.
 3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra.
Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada sang pencipta. Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya. Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.
4. Istilah ritual seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan buang-buang waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma. Tuduhan sepihak, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih kesuksesan termasuk keselamatan. (mereka lupa, bahwa sebenarnya agama merekapun melakukan ritual/sembahyang dengan tatacara nya pun adalah bentuk dari ritual, yang dilanjutkan dengan uang persembahan atau kolekte/ ).
Dalam masyarakat Sunda NusantaRA ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan setan. Bagi masyarakat Sunda NusantaRA sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran primitif dan tidak masuk akal.
5. Sesaji merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kososong berbunyi nyaring, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji. Misalnya; doa yang beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial. Ilmu “Kesaktian” Sejati Kesimpulan dari semua itu, merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan kehendak “Tuhan” (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah kepada YME. Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati mistik lokal. Muara dari perjalanan spiritual pelaku mistik tersebut, tidak lain untuk menemukan “lautan” rahmatNya, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Meraih nibbana menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul wujud. Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara manusia sebagai mahluk dengan “Tuhan” sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis. Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energiNya, menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau diistilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.

Sesotya adalah ungkapan yang mengandikan sang pencipta bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia, yang “bersemayam” di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada “being” di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan rapal wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu manembah dalam setiap perbuatannya. Cirikhas orang yang kesaktiannya berkat manembah (kesaktian sejati) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar