Sumber: https://boedaksatepak.wordpress.com dan lainnya.
Kearifan lokal Makhluk Mistik
(dimensi lain/Extra Teritorial/Alien).
(Matrik, ExtraTeritorial, Alien, Transtravel, Telepati,
Teleportasi, dll istilah baru dalam ilmu
pengetahuan(science). Sesungguhnya dalam
kutur budaya global Tatar Sunda
NusantaRA itu adalah hal yang biasa, lumrah!, karena sesungguhnya peradababan
Sunda NusantaRA yang adi luhung terbias dan
di kaburkan. Merampas kecerdasan dan
kebijaksanaan, antara lain, termasuk kualitas kemanusiaan itu sendiri.
Selanjutnya, bagian dari cuci otak untuk mendapatkan orang-orang untuk menerima
cerita tentang ‘agama”,yang secara signifikan kisah matahari-itu adalah
"mitos" tampaknya seperti
cerita bodoh tanpa dasar dalam kenyataan. pemrograman mental atau
"meme" telah ditampilkan berlimpah. Pada kenyataannya mitos bukan fantasi belaka atau halusinasi. Cerita Mitos
yang dirancang untuk menyampaikan informasi penting dari generasi ke
generasi. Hal ini lebih mudah untuk mengingat "eksploitasi" dari
matahari, bulan dan bintang, misalnya, ketika mereka dipersonifikasikan dan
mengatakan dalam sebuah cerita menyenangkan.
Cerita mitos (lebih dari 50.000 tahun lalu) Sangkuriang, anak Dayang Sumbi dan SI(rius)TUMANG adalah personifikasi komunikasi sederhana untuk di ceritakan secara turun temurun. SIrius di sebut sebagai bintang Anjing(BIG DOG STAR).Nyai Dayang Sumbi anak Sang PRABU "HYANG", yang memiliki suami SI(rius)TUMANG Personifikasi yang di gambarkan sebagai seekor anjing adalah sebenarnya Alien dari rasi Bintang Sirius. Jadi bukan turunan "ANJING", yang benar adalah turunan dari mahluk planet "BINTANG"Anjing atau Sirius!.
Ajaran Sunda atau Sundayana berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Cerita mitos (lebih dari 50.000 tahun lalu) Sangkuriang, anak Dayang Sumbi dan SI(rius)TUMANG adalah personifikasi komunikasi sederhana untuk di ceritakan secara turun temurun. SIrius di sebut sebagai bintang Anjing(BIG DOG STAR).Nyai Dayang Sumbi anak Sang PRABU "HYANG", yang memiliki suami SI(rius)TUMANG Personifikasi yang di gambarkan sebagai seekor anjing adalah sebenarnya Alien dari rasi Bintang Sirius. Jadi bukan turunan "ANJING", yang benar adalah turunan dari mahluk planet "BINTANG"Anjing atau Sirius!.
Ajaran Sunda atau Sundayana berlandas kepada sifat bijak-bajik Matahari yang menerangi dan membagikan cahaya terhadap segala mahluk di penjuru Bumi tanpa pilih kasih dan tanpa membeda-bedakan.
Mitos secara global ajaran
Sundayana di seluruh dunia. (bukti-bukti; Situs Gunung Padang, Situs Batu Jaya
dll).
Matahari telah menjadi
sumber utama yang mengawali kehidupan penuh suka cita, dan tanpa. Tanpa matahari
segalanya hanyalah kegelapan. Oleh sebab itulah para penganut ajaran Sundayana
berkiblat kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal) sebagai simbol ketunggalan dan
kemanunggalan yang ada di langit, dan kiblat agama Sundayana itu bukan
diciptakan oleh manusia.
Sundayana menyebar ke
seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan
di Australia tidak terlalu menampak.
Hanya ketika pengetahuan,
atau gnosis, telah menghilangkan hilangan bahwa manusia mulai percaya entitas
ini menjadi orang-orang nyata -dan gnosis itu sangat efektif didorong dari
bawah tanah oleh agama terorganisir, sehingga mitos itu hilang dari generasi ke
generasi. .
Secara pasti menghancurkan
peradaban manusia dari ajaran luhung umat manusia secara global.
Kebudayaan agung atau kearifan lokal
mengalami
keruntuhan setelah datangnya paramissionaris Barat yang membawa misi
Gold(annunaki), Glory dan Gospel. Tujuan
utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan)
sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah
mereka bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa.
Propaganda yang mereka
beritakan tentang perilaku biadab agama Matahari dan kelak dipercaya oleh
masyarakat dunia adalah bahwa; “suku terasing penyembah matahari itu pemakan
manusia”, hal ini mirip dengan yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah
lainnya di Indonesia.
Simbol SUNDAYANA
dalam simbol iluminati!!.
Sekarang di era iluminti
dan globalisasi simbol Sundayana digunakan??..
Simbol RA(matahari) dan Mandala Gunungan/pyramid di pakai sebagai
simbol iluminati???. Peradaban dalam mitos yang mereka “bunuh” (dengan ajaran GOLD/GLORY?) dan mengambil
alih simbol mitos. Maksudnya???. Jelas sekali, meraih empati dan simpati, dengan "meme" yang menyesatkan?.
Pengetahuan ilmiah atau
science sekarang mengakui keunggulan peradaban manusia dalam mitos yang jauh lebih maju dan
unggul dari peradaban yang ada saat ini.
Jadi Sunda NusantaRA adalah bangsa Matahari dari bintang SIRIUS, berbeda dengan turunan Adamus yang(maaf) di ciptakan dari tanah liat sebagai hibrid alien Annunaki sebagai budak tambang emas. .
Kenapa bangsa Sunda NusantaRA kaya dan makmur??, karena emas yang di dapat adalah untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri berbeda dengan turunan Annunaki yang harus menyetorkan emas nya kepada penjajahnya yaitu Annunaki/Enlil(Bloodline Annunaki).
Kenapa bangsa Sunda NusantaRA kaya dan makmur??, karena emas yang di dapat adalah untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri berbeda dengan turunan Annunaki yang harus menyetorkan emas nya kepada penjajahnya yaitu Annunaki/Enlil(Bloodline Annunaki).
Adamus yang diciptakan
Annunaki sebagai budak untuk berkerja di tambang emas.(di Papua di temukan
tambang emas purbakala di desa Paniai, Nabire). Jadi secara gamblang
menjelaskan bahwa manusia Sunda NusantaRA bukan keturunan dari Adamus. Karena
manusia Sunda NusantaRA telah ada di bumi sebelum Adamus di ciptakan oleh
Annunaki(Annunaki datang ke bumi 6000 tahun lalu berdasarkan Tablet Sumeria)..
Leluhur Sunda NusantaRA tinggal dan bersemayam di bumi Para-HYANG-an, dari dimensi Cahaya, makanya bisa nga"HYANG".. Mereka tidak di lahirkan, mereka turun/datang ke bumi secara “HYANG”.
Bagi sebagian masyarakat
yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan
sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada
simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih
sangat terkotak oleh dogma/doktrin agama/ajaran tertentu (kesadaran “kulit”).
Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi
negatif. Walau bermakna sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang
digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir
yang sempit dan hipokrit. Itulah manusia yang tanpa sadar masih dipelihara
hingga akhir hayat.
Selama puluhan tahun,
kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum
modernism, westernisme dan agamisme.
Mistik dikonotasikan
sebagai pemahaman yang sempit, irasional, dan primitive.
Bahkan kaum mistisisme
mendapat pencitraan(meme) secara negative dari kalangan kaum tertentu sebagai
paham sesat dan sumber kemusrikan. Rasanya Pandangan itu tidak objektif !
Tentu saja penilaian itu
mengabaikan kaidah ilmiah. Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan
kepentingan kelompoknya sendiri, kepentingan rezim, dan kepentingan egoisme
(keakuan).
Penilaian juga rentan terkontaminasi
oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan, diikuti oleh
pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan, ela-elu, iilueun,
tuturut munding, dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah mistis yang
sesungguhnya. Untuk itu, perlulah kiranya saya ingin berbagi kepada semua
saUDARA, mengenai makna yang sejatinya akan istilah mistis,
yang sekarang lebih di kenal dengan istilah dimensi lain..
Dengan harapan membangun
sikap arif dan bijaksana, selalu hati-hati terutama dalam menilai seseorang
atau suatu kelompok, golongan dan cara pandang masyarakat tertentu.
Jika perilaku hidup dan
pola pikir kita tidak eling dan waspada, kita akan melebur ke dalam roda
“wolak-waliking jaman” di mana orang salah akan berlagak selalu benar.
Orang bodoh menuduh orang
lain yang bodoh. Emas dianggap Loyang (besi). Besi dikira emas. Burung bangau
dianggap dandang (alat menanak nasi). Yang asli dianggap palsu, yang palsu
dibilang asli. Semua serba salah kaprah, kacau-balau, chaos, dan hidup penuh
dengan kepalsuan-kepalsuan. Eksistensi Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi
tertinggi kesadaran manusia(extra dimensional/extra teritorial), di mana ragam
perbedaan (“kulit”) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak
hal ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan.
Kesadaran tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi
perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikir nya.
Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni
eksistensi kesadaran batin.
Meskipun demikian,
eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin
(bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (raga). Artinya, mistik bukanlah
sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin
ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama manusa
dan makhluk lainnya. Apakah anda ingin menjadi seorang agamis, yang hanya
terpaku pada simbol-simbol agama/ajaran berupa penampilan fisik, jenis pakaian,
cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya atau atribut tertentu.
Ataukah sebaliknya anda ingin menjadi seorang praktisi (penghayat) akan
teori-teori tersebut sehingga tidak hanya sekedar berbicara. Hal itu menjadi
hak setiap orang untuk memilih, masing-masing akan membawa dampak yang
berbeda-beda. Dalam menjabarkan istilah mistik, saya sangat sepakat dengan guru
besar Filsafat UGM Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa cirri-ciri mistikisme
adalah sbb ;
1. Mistisisme adalah
persoalan praktek.
2. Secara keseluruhan,
mistisisme adalah aktifitas spiritual.
3. Jalan dan metode
mistisisme adalah cinta kasih sayang.
4. Mistisisme menghasilkan
pengalaman psikologis yang nyata.
5. Mistisisme sejati tidak
mementingkan diri sendiri.
Jika kita cermati dari
kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda
dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional.
Sebaliknya mistik merupakan
tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan
dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman
spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi
antara logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami noumena
atau eksistensi di luar diri (gaib/extra dimensi) sebagai kenyataan yang logis
atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga
memahami rumus-rumus yang terjadi di alam gaib/extra teritorial.
Sebagai contoh ;
Kenapa simpanan uang di
Bank tidak ada yang hilang di curi makhluk pesugihan ? Atau perhiasan emas di
toko emas tidak bisa hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan ?
Secara logis-rasional,
makhluk pesugihan yang sering mencuri uang atau perhiasan di rumah-rumah
penduduk seharusnya bisa mencuri uang dan perhiasan di kedua tempat tersebut.
Namun kenyataannya kedua jenis harta kekayaan tersebut tidak bisa dicuri oleh
makluk gaib sejenis pesugihan manapun. Hal ini jarang sekali terfikirkan atau
buat apa dipikirkan !
Agama/Ajaran sebagai sarana
menggapai tataran spiritual. Spiritual adalah kesadaran tinggi akan nilai-nilai
transenden atau “ketuhanan”. Mistisisme adalah wujud kesadaran dalam laku
perbuatan konkrit. Dengan adanya kesadaran yang cukup memadai akan bagaimana
sesungguhnya yang terjadi di alam gaib/dimensi yang lebih tinggi. Hal itu
membuka pola pikir kita sehingga mampu memahami noumena kegaiban secara logis.
Hal ini menjadikan para pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya
sekedar yakin, tetapi dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana
“rumus-rumus halus” akan bekerja, antara pengetahuan spiritual dengan tindakan
nyata seiring dan seirama. Bagaikan lirik dengan syairnya. Aransemen dengan
nada-nada musiknya. Sastra dengan gendhingnya. Sinergis dan harmonis antara
pengetahuan spiritual dengan perbuatannya. Menjadikan para pelaku spiritual
justru terkesan lebih santun dan memiliki sense on
humanity yang tinggi,
memiliki kepekaan social, solidaritas dan toleransi, kepedulian lingkungan
social dan alam yang sangat mendalam. Perilaku-perilaku yang menunjukkan sikap
arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang orang-orang bergaya “suci” (kesadaran symbolic) yang terkadang perilakunya lepas kendali, sewenang-wenang
dan beringas, emosional dan reaksional(ciri keturunan Annunaki).
Karena merasa diri menjadi
sangat kuat telah menjadi orang yang memegang hak istimewa (privilege) di
hadapan Sang Maha. Penjelasan singkat mengenai arti harfiah dan maknawiah
tentang mistik, dapat diambil benang merah bahwa “mistik local” adalah laku
spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa. Atau disebut
jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual, adalah perilaku
didasari oleh welas asih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku
menghayati falsafah hidup local namun perangainya masih mudah terbawa api
emosi, angkara murka, reaksioner, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum
memahami secara baik apa itu nilai-nilai dalam falsafah hidup budaya lokal .
Mistik lokal merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap
masyarakat, bangsa dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi mistik yang
dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sekedar contoh, misalnya mistik Islam,
dikenal dengan tradisi tasawuf, orang-orang yang mendalami disebut orang-orang
zuhud, dan para sufistik. Mistik Budha atau Budhisme, mistik Hindu atau
Hinduisme, Tengrism dan masih terdapat ratusan bahkan ribuan lagi banyaknya
mistik-mistik di dunia ini. Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan dengan
agama/ajaran, sebab mistik tidak mempersoalkan apa latar belakang ajaran,
agama, budaya orang yang ingin menghayati. Hal itu tidak menimbulkan resiko
terjadinya benturan nilai-nilai, karena dalam tradisi mistik yang sesungguhnya,
keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu mengambil sisi maknawiahnya yang
bersifat hakekat atau esensial.
Orang Jawa, Hindu, Kristen
dan Budha, bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat
Islam bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan
kekuasaan akan membuat batasan-batasan tegas kepada para penghayat mistik
dengan mistik itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudis, pencitraan(meme)
secara subyektif, dan punishment yang berdasarkan kepentingan. Jangankan
terhadap lintas budaya dan agama, kita ambil contoh sederhana saja misalnya,
sebagian umat Islam melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah
mistik Islam. Pelarangan dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga pelarangan
seringkali bekerja secara efektif membelenggu dinamika kesadaran umat, yang
terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian
spiritualnya.
Tentang kearifan mistik
local
1. Kepercayaan/ajaran lokal
tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama
yang ada. Karena bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun
temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai
agama yang pernah ada di bumi nusantara. “Kitab Suci” nya adalah hidup itu
sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari,
kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya bukan dengan
ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung
turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan elmu titen,
indera yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin.
Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah
rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.
2. Di samping nilai-nilai kearifan local yang
adiluhung, menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas sebagai
bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local. Keuntungannya justru
terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup.
Jika definisikan, mistik kepercayaan/ajaran
lokal merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan local yang terjadi
sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan
monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai dan toleransi, serta
dasar spiritual cinta kasih sayang membuat mudah menerima anasir asing yang
positif. Nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu
berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya
Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah
kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami
penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdor, kalau nilai
agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan
mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada
usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan
mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah lokal. Seperti kekuatan
misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan
sendirinya seperti panggilan darah.
3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat
falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa
berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme.
Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra.
Namun hakekat dari ritual
adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku
untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya
mendekatkan diri kepada yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo
rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud
permohonan doa kepada sang pencipta. Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan
bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan
menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya,
mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci. Dibuatlah ketan,
kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan
atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang
permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan
gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud
tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya.
Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak
saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap
harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai,
hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai
alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.
4. Istilah ritual
seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi
basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan
buang-buang waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual
dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma. Tuduhan
sepihak, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu
memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual
adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran,
tradisi dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam,
Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual
keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi
agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat
medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih
kesuksesan termasuk keselamatan. (mereka lupa, bahwa sebenarnya agama merekapun
melakukan ritual/sembahyang dengan tatacara nya pun adalah bentuk dari ritual,
yang dilanjutkan dengan uang persembahan atau kolekte/ ).
Dalam masyarakat Sunda
NusantaRA ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan
perilaku mistik. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa
sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji
mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji
sebagai pakan setan. Bagi masyarakat Sunda NusantaRA sangat mengenal bahwa
“setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan
secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk
ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif
dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada
makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada
derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh
sebagai masyarakat engan kesadaran primitif dan tidak masuk akal.
5. Sesaji merupakan bahasa
yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal.
Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus
menghindari tabiat buruk tong kososong berbunyi nyaring, tetapi enggan
menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup
diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam
berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam
sesaji. Misalnya; doa yang beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati
yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada
Hyang Widhi atau Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng
nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur
merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa.
Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam
kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur
merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat
dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah
cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan
kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu
persatu maknanya secara esensial. Ilmu “Kesaktian” Sejati Kesimpulan dari semua
itu, merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku
mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan
kehendak “Tuhan” (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah
kepada YME. Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati
mistik lokal. Muara dari perjalanan spiritual pelaku mistik tersebut, tidak
lain untuk menemukan “lautan” rahmatNya, berupa manunggaling kawula kalawan
Gusti, atau sifat roroning atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke
alam sunya ruri. Meraih nibbana menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul
wujud. Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan
batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena
antara manusia sebagai mahluk dengan “Tuhan” sebagai Sang Pencipta terjadi
titik temu yang harmonis. Batin manusia selalu tersambung dengan getaran
energiNya, menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau
diistilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.
Sesotya adalah ungkapan
yang mengandikan sang pencipta bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata”
yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia,
yang “bersemayam” di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada “being”
di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia
yang sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan
hanya dengan rapal wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun
kesaktian itu diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing
embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu manembah dalam setiap
perbuatannya. Cirikhas orang yang kesaktiannya berkat manembah (kesaktian
sejati) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan
sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi),
tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan
dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara
konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar